Epidemiologi Gagal Tumbuh
Data epidemiologi menunjukkan bahwa gagal tumbuh atau faltering growth merupakan kondisi yang lebih banyak terjadi pada bayi dan anak kecil. Tidak ada kecenderungan jenis kelamin maupun etnis. Gagal tumbuh dilaporkan lebih rentan terjadi pada individu dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah, tingkat pendidikan orang tua yang lebih rendah, dan stress psikososial di lingkungan rumah.[1]
Global
Secara global, kejadian gagal tumbuh tersebar di seluruh dunia dengan angka yang bervariasi. Diperkirakan prevalensi gagal tumbuh adalah 8% pada populasi anak. Kemiskinan dan kelaparan merupakan salah satu faktor risiko yang paling terkait dengan gagal tumbuh. Hal ini masih secara luas ditemukan di seluruh dunia, utamanya di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di Amerika Serikat, insidensi gagal tumbuh tidak diketahui pasti. Namun, dilaporkan bahwa hampir 20% anak di bawah 4 tahun hidup dalam kemiskinan dan mengalami ketidakmampuan untuk mendapat asupan makanan yang cukup.[2,3]
Indonesia
Di Indonesia, prevalensi khusus anak dengan gagal tumbuh belum terdata dengan jelas. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2017 terdapat 43,2% balita di Indonesia yang mengalami defisit energi. Selain itu, juga disebutkan bahwa terdapat 31,9% balita mengalami defisit protein.[9]
Sementara itu, berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 di 34 provinsi menunjukkan angka stunting nasional turun dari 27,7% tahun 2019 menjadi 24,4% di tahun 2021. Namun, prevalensi ini masih tergolong kategori tinggi berdasarkan WHO karena >20%.[10]
Mortalitas
Mortalitas gagal tumbuh bergantung pada etiologi dan komorbiditas pasien. Kecepatan penambahan berat badan diduga berkaitan dengan angka mortalitas. Kenaikan berat badan yang buruk berkaitan dengan peningkatan risiko mortalitas di negara berkembang seperti Indonesia.
Gangguan pertumbuhan juga dapat mempengaruhi perkembangan seorang anak, terutama di 2 tahun pertama kehidupan. Gagal tumbuh dapat menyebabkan morbiditas pada anak seperti keterlambatan motorik kasar, motorik halus, dan kognitif. Hal ini nantinya dapat menyebabkan masalah emosional dan perilaku.[2,11]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini