Etiologi Kernikterus
Etiologi kernikterus atau ensefalopati bilirubin yang dikenal pula dengan bilirubin induced encephalopathy (BIE) meliputi keadaan yang menyebabkan peningkatan kadar bilirubin indirek dalam darah. Etiologi ini secara garis besar dapat dibagi menjadi peningkatan produksi dan penurunan ekskresi bilirubin indirek.
Peningkatan Produksi Bilirubin
Beberapa kondisi atau penyakit yang dapat meningkatkan produksi bilirubin, antara lain hemolisis, polisitemia, dan trauma lahir.
Hemolisis
Pada keadaan hemolisis, pemecahan eritrosit melepas heme dan globin. Heme dikonversikan menjadi biliverdin, kemudian menjadi bilirubin indirek. Normalnya bilirubin indirek dikonjugasikan menjadi bilirubin direk di hepar. Akan tetapi, bila produksi bilirubin indirek berlebihan seperti pada keadaan hemolitik, kecepatan produksi melampaui kemampuan tubuh untuk mengikat bilirubin, sehingga didapatkan peningkatan kadar bilirubin indirek dalam darah.
Penyakit hemolitik dapat dibagi menjadi yang dimediasi oleh sistem imun seperti inkompatibilitas ABO dan rhesus; serta yang tidak dimediasi oleh sistem imun, seperti kelainan enzim sel darah merah, defek membran sel darah merah, dan hemoglobinopati.[1,5,6]
Polisitemia
Pada polisitemia, dapat dijumpai peningkatan jumlah eritrosit. Pada keadaan ini, peningkatan produksi bilirubin indirek terjadi karena turnover eritrosit yang meningkat oleh jumlah yang banyak.[1]
Trauma Lahir
Trauma lahir, seperti cephalohematoma atau adanya memar yang signifikan dapat menyebabkan peningkatan produksi bilirubin dalam darah. Hal ini karena, sel darah merah yang berada di luar pembuluh darah memiliki waktu hidup yang lebih pendek sehingga dikatabolisme dengan cepat oleh makrofag jaringan menjadi bilirubin. Peningkatan bilirubin didapatkan dalam waktu 48–72 jam setelah terjadi ekstravasasi darah.[1,4]
Penurunan Ekskresi Bilirubin
Penurunan ekskresi atau klirens bilirubin indirek terjadi karena gangguan konjugasinya. Keadaan klinis yang berhubungan dengan kernikterus pada penurunan ekskresi bilirubin indirek antara lain sindrom Crigler-Najjar dan sindrom Gilbert.[1,5]
Sindrom Crigler-Najjar
Sindrom Crigler-Najjar merupakan penyakit kongenital berupa kelainan ekspresi uridin-difosfat-glukuronosiltransferase (UGT1A1) yang diperlukan dalam proses pengikatan bilirubin dalam darah.
Sindrom Crigler-Najjar tipe 1 merupakan penyakit yang ditandai dengan tidak adanya aktivitas UGT1A1. Kondisi ini berisiko tinggi untuk mengalami ensefalopati bilirubin, serta sekuele gangguan saraf dan perkembangan.[1,5]
Berbeda dengan sindrom Crigler-Najjar tipe 1, sindrom Crigler-Najjar tipe 2 masih memiliki aktivitas UGT1A1, tetapi fungsinya menurun kurang dari 10–20% dari fungsi normal. Maka dari itu, tipe 2 ini biasanya ringan dan jarang terjadi ensefalopati bilirubin.[1,5]
Sindrom Gilbert
Sindrom Gilbert merupakan kelainan yang disebabkan oleh mutasi pada bagian promotor gen uridin-difosfat-glukuronosiltransferase (UGT1A1), sehingga kerja UGT pada hepar menurun hingga 50%.
Pada sindrom Gilbert dapat ditemukan lebih dari 95% bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah. Sindrom Gilbert sendiri tidak menyebabkan kernikterus. Sindrom ini bisa memperburuk hiperbilirubinemia akibat penyebab lain, misalnya hemolisis.[5]
Faktor Risiko
Faktor risiko kernikterus dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang menyebabkan neurotoksisitas dan faktor risiko mayor yang menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia indirek berat.
Faktor risiko neurotoksisitas antara lain penyakit hemolitik, defisiensi defisiensi glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD), asfiksia, sepsis, asidosis, instabilitas suhu, dan albumin <3 g/dl. Pada asfiksia, asidosis, dan sepsis terjadi displaced bilirubin dan melemahnya sawar darah otak, sehingga neurotoksisitas lebih mudah terjadi. Selain itu, bilirubin dalam otak dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi.[3-5]
Faktor risiko hiperbilirubinemia indirek berat antara lain prematuritas, ASI eksklusif, inkompabilitas darah, penyakit hemolitik, keturunan Asia timur, sefalhematoma atau memar yang signifikan, riwayat saudara sebelumnya mendapatkan fototerapi, dan kadar bilirubin sebelum keluar dari rumah sakit berada pada zona risiko tinggi (>95% pada kurva nomogram Bhutani).[5]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli