Diagnosis Penyakit Kawasaki
Diagnosis penyakit Kawasaki didapat dari klinis demam >5 hari, disertai ruam kulit, konjungtivitis, mukositis oral, limfadenopati leher, dan aneurisma pembuluh darah koroner, terutama pada anak berusia <5 tahun. Pemeriksaan penunjang dapat bermanfaat pada kasus yang atipikal atau inkomplit.[4,17,18]
Kriteria Diagnosis Penyakit Kawasaki
Menurut American College of Rheumatology, kriteria diagnosis untuk penyakit Kawasaki adalah demam minimal 5 hari yang tidak dapat dijelaskan, disertai 4 dari 5 manifestasi klinis berikut:
Konjungtivitis (injeksi konjungtiva) bilateral tanpa eksudat
- Bibir eritema dan pecah-pecah, strawberry tongue, dan/atau eritema mukosa oral/faringeal
- Eritema dan edema pada tangan atau kaki pada fase akut, dan/atau deskuamasi periungual pada fase subakut
- Eritroderma difus makulopapular, atau ruam menyerupai eritema multiforme
Limfadenopati servikal dengan minimal 1 nodus berdiameter >1,5 cm, dan biasanya unilateral[4,17,18]
Selain itu, dikenal pula istilah penyakit Kawasaki inkomplit, yaitu demam berkelanjutan pada bayi atau anak disertai munculnya <4 manifestasi klinis di atas, tetapi ditemukan:
- Penanda laboratorium yang jelas, yaitu peningkatan nilai LED atau CRP, transaminase, dan adanya leukosit esterase pada urinalisis dengan leukosit negatif, atau
- Adanya dilatasi arteri koroner pada temuan echocardiography[4,17,18]
Menurut panduan American Heart Association (AHA) terbaru, jika pasien memiliki 4 atau lebih kriteria diagnostik utama, dapat ditegakkan diagnosis pada hari ke–4. Jika pasien memiliki penyakit arteri koroner, diagnosis dapat ditegakkan jika memenuhi 3 dari 5 kriteria diagnostik utama.[4,17,18]
Manifestasi Klinis Berdasarkan Waktu
Manifestasi klinis penyakit Kawasaki juga bisa dibedakan berdasarkan waktu, dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut, dan konvalesen.
Fase 1: Akut Febril
Fase ini dimulai dengan demam yang terjadi tiba-tiba, kadang didahului gejala infeksi saluran pernapasan atas atau pencernaan, dan berlangsung selama 7–14 hari. Demam umumnya melonjak tinggi, remiten, dan suhu tertinggi dapat mencapai 39–40°C atau lebih tinggi. Demam tersebut tidak responsif terhadap antipiretik, dan berlangsung hingga 3–4 minggu jika tidak diobati. Jika diobati dengan imunoglobulin intravena (IVIG), demam akan turun dalam 36 jam.[4,17,18]
Selain demam, gejala klinis lain dapat meliputi berbagai sistem organ, seperti:
- Sistem neurologi, berupa iritabilitas, meningitis aseptik
- Sistem indera, yaitu uveitis anterior dan otitis media
- Kardiovaskular, yaitu miokarditis dan perikarditis
- Urogenital, yaitu orchitis, meatitis, vulvitis, uretritis
- Eritema atau deskuamasi perianal
- Lainnya, seperti pneumonitis, serta disfungsi hati, ginjal, atau pencernaan[4,17,18]
Fase 2: Subakut
Fase ini dimulai ketika demam telah hilang dan berlangsung sampai minggu ke–4 atau ke–6. Fase ini ditandai dengan deskuamasi periungual, trombositosis, dan terbentuknya aneurisma arteri koroner. Pada fase ini, risiko terjadinya kematian mendadak adalah yang tertinggi.
Arthralgia atau arthritis terjadi pada 20–40% pasien dan biasanya terjadi pada sendi-sendi besar yang menopang berat badan. Gejala klinis lainnya adalah iritabilitas persisten, anoreksia, dan injeksi konjungtiva.[4,17,18]
Fase 3: Konvalesen
Fase konvalesen ditandai dengan hilangnya semua gejala-gejala klinis, dan terjadi dalam 3 bulan setelah awitan. Garis Beau terlihat jelas setelah 1–2 bulan sejak awitan demam.[4,17,18]
Anamnesis
Pada anamnesis, manifestasi utama penyakit Kawasaki adalah demam di atas 38°C (bila diukur di rumah) dengan penyebab yang tidak dapat dijelaskan dan berkelanjutan (prolonged fever) selama >5 hari. Demam ini biasanya tidak responsif terhadap obat antipiretik seperti paracetamol dan ibuprofen. Namun, anak afebris yang memiliki gejala klinis konsisten dengan penyakit Kawasaki juga perlu dipertimbangkan.
Anamnesis pada penyakit Kawasaki juga meliputi gejala tambahannya, seperti kemerahan pada mata, bibir pecah-pecah dan kemerahan, limfadenopati servikal, serta ruam. Riwayat infeksi saluran napas atas maupun gastrointestinal sebelumnya juga perlu ditanyakan. Selain itu, riwayat keluarga dengan penyakit Kawasaki juga perlu diidentifikasi.[4,17,18]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik penyakit Kawasaki, tanda klinis yang ditemukan akan sesuai dengan inflamasi yang terjadi pada arteri, utamanya arteri ukuran sedang. Pada kasus penyakit Kawasaki klasik, demam di atas 39°C berlangsung lebih dari 5 hari dan disertai setidaknya 4 gejala kriteria diagnostik utama, yaitu:
Konjungtivitis yang ditandai dengan injeksi konjungtiva dengan gambaran bilateral noneksudatif. Tanda ini umumnya muncul dalam beberapa hari setelah awitan demam, tidak nyeri, disertai fotofobia, dan tidak mengenai limbus
- Mukositis oral, dengan gambaran bibir eritema, pecah-pecah, berdarah atau berkerak, “lidah stroberi” (“strawberry tongue”)
- Ruam polimorfik, biasanya muncul pada awal perjalanan penyakit. Eritema dengan deskuamasi disertai lesi kulit makular, morbiliform, atau targetoid pada batang tubuh dan ekstremitas. Lesi bulosa, vesikular, dan petekie jarang ditemukan pada penyakit Kawasaki
- Perubahan pada ekstremitas yang umumnya muncul terakhir. Pada anak-anak, seringkali muncul edema pitting pada dorsum tangan dan kaki, serta eritema difus pada telapak tangan dan kaki. Pada fase konvalesen, akan terlihat deskuamasi pada regio periungual tangan dan kaki, serta garis Beau (garis putih melintang pada kuku)
Limfadenopati servikal terutama muncul pada anak di bawah 1 tahun. Biasanya melibatkan nodus servikal anterior di atas otot sternokleidomastoideus; bersifat akut, unilateral, dan nonpurulen[4,5,17,18]
Temuan berdasarkan sistem organ dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 1.
Tabel 1. Manifestasi Klinis Penyakit Kawasaki
Sistem Organ | Umum Ditemukan | Tidak Umum Ditemukan | Temuan yang Menandakan Diagnosis Lain |
Integumen | Ruam targetoid, urtikaria, morbiliform, livedo reticularis | Ruam psoriasiform | Ruam pustular, vesikular |
Respirasi | Efusi pleura | Infiltrat interstitial, nodul | |
Saluran kemih | Uretritis, piuria | Hematuria, proteinuria, orchitis | |
Neurologi | Iritabilitas, letargi, uveitis anterior, tuli sensorineural | Kejang, stroke, kelumpuhan saraf pusat | |
Sistem pencernaan | Diare, muntah, hidrops vesica fellea, hepatomegali | Perdarahan intestinal, ruptur viskus | |
Sistem hematologi | Anemia, trombositosis, leukositosis | Trombositopenia, koagulopati, sindrom hemofagositik | Limfositosis (kecuali fase konvalesen) |
Sistem retikuloendotelial | Limfadenopati servikal anterior | Limfadenopati aksilar dan servikal posterior | Limfadenopati difus, splenomegali |
Mukosa | Mukositis, glossitis, konjungtivitis | Lesi oral diskret, konjungtivitis eksudatif | |
Sistem muskuloskeletal | Edema pada ekstremitas, arthritis | Fenomena Raynaud | |
Sistem kardiovaskular | Takikardia, ritme gallop, miokarditis, perikarditis | Aneurisma arteri koroner, dilatasi aorta, valvulitis |
Sumber: dr. William Sumoro, 2021[5]
Diagnosis Banding
Penyakit Kawasaki memiliki diagnosis banding yang luas, tetapi paling sering salah didiagnosis dengan infeksi Streptococcus sp dan Staphylococcus sp; infeksi virus seperti campak dan scarlet fever; atau reaksi obat seperti sindrom Stevens Johnson.[5,18]
Pada pasien anak yang menderita COVID-19, multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) juga bisa menyerupai penyakit Kawasaki. Tabel 2 akan memaparkan beberapa diagnosis banding penyakit Kawasaki dan bagaimana cara membedakannya.[19]
Tabel 2. Diagnosis Banding Penyakit Kawasaki
Penyakit Kawasaki | Sindroma Stevens Johnson | Demam Scarlet | Toxic Shock Syndrome | Systemic Juvenile Rheumatoid Arthritis | |
Usia | Umumnya < 5 tahun | Usia berapapun | Umumnya 2-8 tahun | Umumnya >10 tahun | 2–5 tahun |
Mata | Konjungtivitis noneksudatif | Konjungtivitis eksudatif, keratitis | Normal | Konjungtivitis | Normal |
Mukosa oral | Eritema difus, strawberry tongue | Eritema, ulserasi, pseudomembran | Faringitis, lidah stroberi | Eritematosa | Normal |
Ekstremitas | Eritema, edema, deskuamasi periungual | Normal | Deskuamasi | Bengkak pada tangan dan kaki | Arthritis |
Ruam | Eritematosa, polimorfik, targetoid, atau purpura | Lesi target | Sandpaper rash, tanda Pastia, pallor sirkumoral | Eritroderma | Transien, merah muda salmon |
Limfadenopati servikal | Setidaknya 1 nodus limfa berukuran ≥1,5 cm | Normal | Bengkak dan nyeri | Normal | Adenopati difus |
Laboratorium | Inflamasi sistemik, anemia, transaminitis, trombositosis | Berhubungan dengan infeksi virus herpes | Kultur tenggorokan positif | Trombositope-nia | Inflamasi sistemik, anemia |
Sumber: dr. William Sumoro, 2021[19]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat diindikasikan pada penyakit Kawasaki atipikal atau inkomplit, di mana pasien sudah dicurigai tetapi belum memenuhi kriteria penyakit Kawasaki. Pada kasus penyakit Kawasaki klasik, penegakan diagnosis dilakukan secara klinis, namun tetap perlu dilakukan echocardiography untuk mendeteksi aneurisma koroner.[4,17]
Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, uji fungsi hati, parameter inflamasi (C-reactive protein/CRP dan laju endap darah/LED), serta urinalisis.
Peningkatan hitung leukosit, trombosit, transaminase (SGPT dan SGOT), CRP, dan LED dapat mengarahkan diagnosis ke penyakit Kawasaki. Selain itu, anemia dan piuria juga dapat terjadi pada penyakit Kawasaki.
Pemeriksaan untuk alternatif diagnosis lain juga disarankan, misalnya pemeriksaan viral rapid adenovirus, tes serologis leptospirosis, pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR), dan kultur darah.[18]
Elektrokardiografi dan Echocardiography
EKG mengidentifikasi adanya aritmia, iskemia, miokarditis, vaskulitis arteri koroner, ataupun ektasia. Selain itu, pemeriksaan EKG juga digunakan untuk mendokumentasikan fungsi biventrikular.[5]
Pemeriksaan echocardiography sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang dicurigai mengalami penyakit Kawasaki. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat komplikasi kardiak, seperti dilatasi maupun aneurisma arteri koroner. Diameter arteri koroner awal digunakan sebagai faktor penentu risiko tinggi aneurisma koroner dan sebagai penilaian diperlukannya terapi imunoglobulin intravena. Pemeriksaan ini diulangi setiap 6–8 minggu.[18]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli