Epidemiologi Ruam Popok
Data epidemiologi menunjukkan bahwa ruam popok atau diaper rash terjadi di 65% populasi anak-anak. Kejadian ruam popok dapat dimulai sejak periode neonatus, sejak bayi mulai menggunakan popok. Namun, insidensi lebih sering ditemukan pada bayi yang lebih tua, sebab frekuensi penggantian popok lebih jarang dibandingkan neonatus.
Global
Prevalensi ruam popok secara global diperkirakan antara 16–65%. Angka ini sangat bervariasi, mungkin diakibatkan karena durasi ruam popok yang relatif singkat, hanya sekitar 2–4 hari dan biasanya pasien tidak memeriksakan diri ke tenaga kesehatan. Insidensi dilaporkan paling tinggi pada bayi usia 9–12 bulan. Ruam popok akan berhenti terjadi saat anak berusia sekitar 2 tahun, yaitu setelah toilet training dilakukan.
Data epidemiologi menunjukkan ruam popok lebih sering terjadi pada bayi, terutama bayi prematur, karena sawar kulit yang masih belum matang. Bayi yang disusui dengan air susu ibu (ASI) lebih terlindung dari ruam popok. Selain itu, frekuensi mengganti popok yang lebih sering juga akan menurunkan insidensi ruam popok. Oleh sebab itu, bayi baru lahir lebih jarang mengalami ruam popok, dibandingkan bayi yang lebih tua.[1,2,11]
Indonesia
Sampai saat ini, belum ada data epidemiologi mengenai ruam popok di Indonesia.
Mortalitas
Ruam popok bisanya tidak berakibat fatal dan dapat membaik dengan sendirinya. Namun, sering menyebabkan kecemasan bagi orang tua. Namun, pada pasien dengan gangguan sistem imun, misalnya akibat human immunodeficiency virus (HIV), infeksi sekunder berupa kandidiasis atau superinfeksi bakteri, sering terjadi. Morbiditas yang ditimbulkan pada pasien berupa nyeri dan gatal pada area popok.[1,2]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra