Penatalaksanaan Spina Bifida
Penatalaksanaan spina bifida secara umum terdiri dari 2 komponen, yaitu pembedahan dan penanganan komorbid penderita. Pembedahan dapat dilakukan pada saat bayi sudah lahir atau masih dalam kandungan. Pembedahan selama intrauter
Tindakan Operatif
Tata laksana utama neural tube defect adalah pembedahan. Pembedahan dapat dilakukan saat bayi masih di dalam kandungan atau setelah bayi lahir.
Operasi Pasca Lahir
Tindakan pembedahan merupakan tata laksana utama pada kasus spina bifida dan sebaiknya dilakukan dalam 48 jam pertama kehidupan. Penutupan lesi spina bifida dilakukan untuk melindungi sumsum tulang dan saraf serta mencegah terjadinya meningitis. Semakin dini operasi penutupan dilakukan, semakin baik proteksi terhadap organ tersebut. Tindakan operasi tidak dapat memperbaiki atau menggantikan saraf yang sudah mengalami kerusakan.[3,5,40]
Lesi spina bifida ditutup dengan menggunakan kulit dan flap dari otot atau patch sintetik yang terbuat dari gelatin, kolagen, dan sebagainya. Tindakan operasi dapat dilakukan juga saat janin masih berada dalam kandungan. Tujuan dari operasi prenatal selain mencegah kerusakan saraf adalah menghentikan kebocoran cerebrospinal fluid (CSF).
Operasi Fetus
Operasi pada fetus dapat dilaksanakan pada usia gestasi 19-25 minggu dan sangat terbatas yakni yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang terdapat pada tabel 2. Operasi yang dilakukan saat prenatal memiliki risiko, seperti kelahiran prematur, dehiscence uterus, ketuban pecah dini, dan peningkatan risiko kematian fetus maupun neonatus.[3,40]
Tabel 2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Operasi Fetus
Kriteria Inklusi | Kriteria Eksklusi | |
Faktor maternal | Faktor fetus atau kehamilan | |
Usia ibu minimal 18 tahun | Inkompetensi serviks | Kehamilan ganda |
Usia gestasi 19 minggu 0 hari hingga 25 minggu 6 hari | Riwayat kelahiran prematur | Kelainan pada fetus yang tidak berkorelasi dengan spina bifida |
Lesi terletak pada S1 atau lebih tinggi | Isoimunisasi rhesus ibu dan anak | Kifosis ≥ 30 derajat |
Karyotype normal | Obesitas | Plasenta previa |
Herniasi otak belakang yang sudah dikonfirmasi melalui pemeriksaan USG dan MRI | Diabetes pregestasional yang membutuhkan insulin | |
Kelainan uterus | ||
Mengidap HIV, hepatitis B atau C | ||
Mengalami komorbid penyakit lain yang serius | ||
Keterbatasan psikososial atau tidak mampu untuk melakukan follow-up |
Sumber: dr. Giovanni Gilberta, 2019.
Penatalaksanaan Komorbid
Penanganan komorbid penderita, terdiri dari tata laksana komorbid neurologis, urologi, muskuloskeletal, dan dermatologi.
Neurologis
Ventrikulomegali dan hidrosefalus kerap kali dijumpai sebagai penyakit penyerta penderita spina bifida. Penanganan operatif untuk menangani komorbid ini, antara lain:
- Koagulasi pleksus koroid untuk mencegah produksi cerebrospinal fluid (CSF) yang dapat memperparah kondisi hidrosefalus
- Membuat shunt ventrikuloperitoneal untuk membantu aliran CSF
- Ventrikulostomi pada ventrikel 3 untuk membantu aliran CSF dan mengurangi hidrosefalus[3,40]
Urologi
Kateterisasi intermiten, terapi medikamentosa, dan operasi merupakan tata laksana terkait komorbid saluran kemih. Tujuan tata laksana awal adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal. Seiring dengan peningkatan usia, pengendalian berkemih, buang air besar, dan fungsi seksual menjadi tujuan penatalaksanaan.
Terapi farmakologis, seperti antikolinergik, dan penggunaan kateter diberikan berdasarkan temuan klinis yang didapatkan dari pemeriksaan urodinamik yang menunjukkan adanya perburukan atau kondisi hidronefrosis. Tindakan operasi diindikasikan apabila medikamentosa tidak memberikan perbaikan dan meningkatkan kualitas hidup anak melalui independensi dan pengendalian fungsi berkemih dan fekal.[1,40]
Muskuloskeletal
Semakin tinggi lokasi lesi, semakin banyak otot yang mengalami abnormalitas sehingga semakin parah manifestasi kelemahan yang dialami oleh penderita spina bifida. Penderita seringkali mengalami ketidakseimbangan dan kelainan ortopedi, seperti displasia panggul, talipes equinovarus , dan vertical talus. Penggunaan orthosis dan tindakan operasi merupakan pilihan tata laksana kondisi ini. Operasi korektif dapat dilakukan setelah lahir dan memerlukan follow-up jangka panjang.[3,40]
Dermatologi
Kondisi pressure ulcer sering dialami oleh penderita terkait dengan penggunaan kursi roda akibat kelemahan motorik yang dialami. Untuk menghindari kejadian tersebut, perlu dilakukan perubahan posisi setiap 10-15 menit. Selain itu, gangguan sensorik pada daerah kulit juga membuat penderita mengalami luka bakar yang dapat ditata laksana tergantung kedalaman luka.
Penggunaan obat topikal, seperti basitrasin, silver sulfadiazine, dan silver nitrat dapat digunakan. Namun, perlu diperhatikan silver sulfadiazine tidak boleh digunakan pada penderita yang berusia kurang dari 2 tahun karena dapat meningkatkan risiko kernikterus.[40,41]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri