Diagnosis Dislokasi Temporomandibular Joint (TMJ)
Diagnosis dislokasi temporomandibular joint/TMJ atau dislokasi mandibula umumnya jelas dengan rahang yang tetap terbuka, nyeri preaurikular, dan terpalpasinya kondilus mandibula. Hal utama yang harus diidentifikasi pada dislokasi TMJ adalah patensi jalan napas dan apakah ada cedera lain yang menyertai dislokasi. Pemeriksaan penunjang, seperti CT scan maxillofacial maupun foto polos, dilakukan bila klinis tidak jelas atau ingin mengeksklusi fraktur/cedera lainnya.[1,3,4,6,12]
Klasifikasi Dislokasi TMJ
Dislokasi temporomandibular joint (TMJ) dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi subluksasi dan luksasi. Dislokasi TMJ yang reducible atau subluksasi biasanya dapat kembali ke posisi normal/reduksi secara spontan. Dislokasi TMJ irreducible atau luksasi tidak dapat kembali secara spontan. Dislokasi TMJ irreducible kemudian dibagi lebih lanjut menjadi akut dan kronis.
Berdasarkan onsetnya, dislokasi TMJ dibagi menjadi akut dan kronis. Dislokasi TMJ akut biasanya terjadi karena trauma atau gerakan membuka rahang yang ekstrim. Dislokasi TMJ akut bersifat isolated dan umumnya dapat ditata laksana dengan reduksi manual, dengan atau tanpa anestesi atau muscle relaxants. Sementara itu, dislokasi TMJ dikatakan kronis (prolonged) bila sudah melebihi 72 jam.[3,4,6,7]
Dislokasi TMJ akut maupun kronis yang terjadi berulang disebut dislokasi TMJ rekuren (recurrent dislocation). Dislokasi TMJ rekuren biasanya disebabkan karena hipermobilitas dari sendi, fossa mandibula yang terlalu rendah, atau joint capsule laxity.[3,4,6]
Anamnesis
Gejala kardinal dari dislokasi temporomandibular joint (TMJ) adalah kemampuan oklusi yang terganggu atau kesulitan untuk menutup mulut dan mengatupkan rahang. Keluhan dapat disertai rasa nyeri, terutama di preaurikular. Kesulitan menutup mulut juga dapat diikuti dengan keluhan bicara yang tidak jelas dan air liur yang terus keluar (drooling).[1,4,6]
Anamnesis pasien dengan dislokasi TMJ juga harus meliputi riwayat trauma. Apabila pasien memiliki riwayat trauma, mekanisme terjadinya trauma perlu ditanyakan. Pasien dengan dislokasi TMJ ke superior sering disertai dengan fraktur fossa glenoid dan dislokasi kondilus mandibula ke bagian medial basis cranii. Pasien perlu ditanyakan mengenai gangguan terkait saraf kranial VII dan VIII, dan defisit neurologis lainnya.[1–3,6]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada dislokasi TMJ diawali dengan identifikasi patensi jalan napas dan adanya jejas/cedera bagian lain, terutama area maxillofacial yang menyertai. Pada beberapa kondisi, dislokasi TMJ dapat disertai dengan fraktur/cedera maxillofacial yang dapat mengancam nyawa.
Pemeriksaan fisik dislokasi TMJ dilanjutkan dengan inspeksi, serta pemeriksaan fungsional terhadap gerakan aktif dan gerakan terbatas rahang. Gerakan tersebut antara lain gerakan menutup rahang, deviasi mandibula, dan gerakan protrusi dari dagu.[1,4,6,12]
Inspeksi
Pada inspeksi dapat diidentifikasi rahang yang tetap terbuka, protrusi, dan sulit digerakkan. Keadaan ini dapat disertai deviasi mandibula menjauhi area yang terkena, terutama pada dislokasi TMJ satu sisi. Pada dislokasi bilateral, rahang dapat membuka dengan tetap sejajar midline tanpa deviasi. Selain itu, dapat terlihat kemerahan dan edema di area preaurikular.[1,4,6,12]
Palpasi
Pada palpasi, dapat teraba indentasi pada bagian TMJ yang mengalami dislokasi. Processus condylaris (kondilus mandibula) yang normalnya tidak teraba dapat terapa pada dislokasi TMJ. Pada dislokasi TMJ superior dapat teraba indentasi pada area preaurikular dan temporal.
Palpasi juga dilakukan pada otot mastikasi. Selain itu, palpasi juga dilakukan dengan mendeteksi kekosongan (emptiness) dari soket TMJ atau struktur tulang dari kondilus.[1,4,6]
Pemeriksaan Fisik Lainnya
Dislokasi TMJ ke arah superior pada beberapa kondisi dapat disertai fraktur dan kelainan saraf kranial VII dan VII. Pada kondisi ini, perlu dilakukan pemeriksaan saraf kranial, serta identifikasi kondisi berbahaya lainnya, seperti kebocoran cairan serebrospinal (CSF), dan defisit neurologis yang berhubungan dengan kelainan intrakranial.[12]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang dapat menjadi penyebab maupun kelainan penyerta dari dislokasi TMJ adalah fraktur maxillofacial dan infeksi.
Fraktur
Fraktur mandibula atau fraktur kondilus adalah salah satu penyebab dislokasi TMJ yang dapat juga terjadi bersamaan dengan dislokasi TMJ. Hal ini perlu dievaluasi pada pasien yang mengalami keluhan serupa dislokasi TMJ dengan riwayat trauma sebelum awitan gejala, seperti trauma kendaraan bermotor, olahraga dengan kontak fisik, ataupun jatuh.[1,6]
Infeksi
Beberapa infeksi seperti epiglotitis, abses retrofaringeal, atau abses peritonsilar juga memiliki ciri klinis yang dapat menyerupai dislokasi TMJ, antara lain air liur menetes (drooling), trismus, dan nyeri tenggorokan atau leher. Infeksi daerah maxillofacial ini dapat dibedakan dengan dislokasi TMJ dengan tanda infeksi dan inflamasi yang lebih jelas, seperti eritema, tanda sekret purulen, dan adanya undulasi saat palpasi, yang tidak didapatkan pada dislokasi TMJ.[1,6]
Diagnosis Banding Lain
Pada pasien yang tidak dapat membuka mulut secara normal, disfungsi TMJ, acute closed locking TMJ meniscus, atau reaksi distonik (seperti tetanus) juga dapat didiagnosis banding dengan dislokasi TMJ. Akan tetapi, dislokasi TMJ dapat dibedakan dari kondisi-kondisi ini dengan klinis yang khas, yaitu membukanya rahang secara tetap dan sulit digerakkan, nyeri preaurikular, serta terpalpasinya kondilus mandibula yang tergeser/terlepas dari fossa glenoid.[1,6,12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang hanya direkomendasikan bila klinis belum jelas atau terdapat cedera/fraktur/kecurigaan kondisi patologis lainnya. Pemeriksaan penunjang dapat meliputi CT scan maxillofacial dan foto polos. Pemeriksaan CT scan maxillofacial lebih direkomendasikan daripada foto polos karena superioritasnya dalam mengidentifikasi fraktur. Akan tetapi, bila tidak tersedia, foto polos dapat dipilih.
Pencitraan
Evaluasi dislokasi TMJ dapat memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti radiografi panoramik atau orthopantomography (OPG), CT scan maxillofacial, dan cone beam computed tomography (CBCT). Pemeriksaan ini utamanya bertujuan untuk mengevaluasi kondisi patologis lainnya, seperti fraktur, dan integritas TMJ. Pada pasien pediatrik, radiografi panoramik adalah modalitas pilihan karena tingkat paparan radiasi yang lebih kecil.
MRI umumnya tidak diperlukan untuk evaluasi dislokasi TMJ, tetapi dapat dipertimbangkan pada dislokasi TMJ kronis atau yang mengalami komplikasi, seperti nekrosis iskemik, osteomyelitis, dan pseudoarthrosis. MRI juga dapat dipertimbangkan jika diperlukan evaluasi kapsul sendi TMJ dan ligamen di sekitarnya. Tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi dislokasi TMJ.[1,6]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli