Penatalaksanaan Ataksia
Penatalaksanaan ataksia adalah dengan terapi suportif, penghentian obat penyebab misalnya amitriptyline dan carbamazepine, tata laksana intoksikasi misalnya akohol, maupun space occupying lesion (SOL) intrakranial.[28,29]
Tata laksana ataksia adalah berdasarkan etiologi. Sebagai contoh, jika ataksia diduga disebabkan oleh phenobarbital atau lithium, penghentian obat dapat menghilangkan gejala. Pada ataksia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12, vitamin E, atau koenzim Q10 (CoQ10), suplementasi mampu mengobati pasien.[28,29]
Pada ataksia gluten, direkomendasikan diet bebas gluten selama 6 bulan. Untuk ataksia yang bersifat progresif, tata laksana penyakit yang mendasari disertai fisioterapi dan obat simptomatik dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.[28,29]
Ataksia Terkait Defisiensi
Malabsorbsi vitamin E, termasuk pada abetalipoproteinemia, dapat menyebabkan ataksia. Pasien dapat diberikan vitamin E dosis pengganti hingga 1500 mg/ hari.[2,3]
Pada pasien ataksia serebelar direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan sensitivitas gluten. Pemeriksaan antibodi TG6 merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk ataksia gluten. Pada pasien ataksia gluten diperlukan diet bebas gluten selama 6 bulan untuk eliminasi antibodi antigliadin.[15,16]
Pada pasien dengan defisiensi CoQ10 dapat diberikan suplementasi CoQ10 500–1000 mg/hari. Pasien dengan mutasi gen APTX dan mutasi pada gen AN010 juga dilaporkan berespon dengan pemberian CoQ10 200–500 mg/hari.[17,18]
Pada ataksia yang disebabkan defisiensi vitamin B12, dapat diberikan cyanocobalamin atau hydroxocobalamin oral atau parenteral. Dosis dan cara pemberian tergantung pada derajat defisiensi.[18]
Terapi Simptomatik
Pasien dengan ataksia progresif bisa mengalami berbagai gejala yang dapat dibantu dengan pengobatan, misalnya spastisitas, tremor, nyeri kronik, dan manifestasi kardiologi.
Spastisitas
Tujuan tata laksana spastisitas adalah:
- Optimalisasi mobilitas, kapasitas berdiri, dan fungsi ekstremitas atas
- Mengurangi gejala nyeri dan spasme
- Meningkatkan postur dan kemampuan aktivitas harian
- Mencegah ulserasi kulit dan terbentuknya ulkus dekubitus
- Mencegah kontraktur dan disabilitas kronik
Tata laksana spastisitas dapat dilakukan dengan fisioterapi, pencegahan pemicu spastisitas, dan terapi medikamentosa. Walaupun sebetulnya belum ada obat yang terbukti secara ilmiah bermanfaat mengatasi spastisitas pada pasien ataksia, kebanyakan klinisi menggunakan obat oral untuk spastisitas generalisata, misalnya baclofen, tizanidine, gabapentin, dan clonazepam.[19]
Tremor
Berikut adalah beberapa obat yang bisa dipilih untuk mengatasi tremor:
Propranolol, dimulai dengan dosis 20 mg/hari, dilanjutkan terapi rumatan 80-160 mg/hari
- Primidone, dimulai dengan dosis 50 mg/hari, dilanjutkan dosis rumatan 125-250 mg 2 kali sehari
Topiramate, dimulai dengan dosis 12,5 mg/hari, dilanjutkan dosis rumatan 25 mg 2 kali sehari
- Clonazepam dengan dosis 0,5 mg/hari[19]
Nyeri
Nyeri kronik sering menjadi masalah pada pasien dengan ataksia progresif. Tata laksana yang disarankan untuk mengatasi nyeri pada ataksia progresif adalah kombinasi terapi medikamentosa dengan fisioterapi. Medikamentosa yang dapat dipilih untuk nyeri neuropatik antara lain amitriptyline, nortriptyline, carbamazepine, pregabalin, dan duloxetine.[19]
Manifestasi Kardiologi pada Ataksia Friedreich
Pada ataksia Friedreich (FRDA), lebih dari 90% pasien mengalami gangguan kardiologi. Tata laksana manifestasi kardiologi bersifat simptomatik dan juga bertujuan untuk mencegah komplikasi. Pedoman tata laksana kardiomiopati hipertrofi dan gagal jantung diaplikasikan sesuai dengan fenotipe masing–masing kasus.
Walaupun belum divalidasi secara spesifik pada pasien FRDA, umumnya obat golongan penyekat beta, ACE inhibitor, spironolactone, dan loop diuretic diberikan pada pasien dengan gejala gagal jantung.
Amiodarone dan digitalis dapat bermanfaat pada atrial fibrilasi; kontrol laju juga bisa didapat dengan penyekat beta atau antagonis kalsium. Tata laksana juga bisa mencakup pemasangan pacing device atau defibrilator.[19]
Nutrisi dan Rehabilitasi Medik
Pasien ataksia dapat mengalami disfagia. Disfagia berat dapat membuat pasien menjadi malnutrisi akibat terganggunya asupan nutrisi per oral. Perlu dipertimbangkan pemasangan percutaneous endoscopic gastrostomy tube (PEG) untuk menjaga nutrisi dan hidrasi secara adekuat.[20,21]
Fisioterapi dapat meningkatkan gaya berjalan serta keseimbangan pasien dengan ataksia. Bagi pasien dengan disfungsi serebelar, latihan tugas dinamis yang menantang stabilitas, mengeksplorasi batas stabilitas, dan bertujuan untuk mengurangi beban tungkai atas, dilaporkan mampu meningkatkan gaya berjalan dan keseimbangan.[22,23]
Rehabilitasi medik pada pasien dengan ataksia meliputi strengthening, kontrol postural, mobilitas fungsional, latihan keseimbangan, kontrol dan koordinasi, stimulasi sensorik, serta mobilisasi dan stretching.[32]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli