Penatalaksanaan Parkinson
Tujuan utama penatalaksanaan penyakit Parkinson adalah menangani gejala motorik dan nonmotorik sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien. Penatalaksanaan yang efektif meliputi kombinasi farmakologis dan nonfarmakologis untuk memaksimalkan luaran klinis. Hingga saat ini, belum ditemukan terapi untuk memperlambat progresivitas penyakit Parkinson atau memberi efek neuroprotektif.[5,7]
Terapi Farmakologis Gejala Motorik
Sebelum memulai terapi, dokter perlu berdiskusi dengan pasien dan keluarga mengenai kondisi klinis pasien (gejala-gejala yang dirasakan, komorbid, risiko polifarmasi), kebutuhan dan gaya hidup pasien, serta potensi manfaat dan kerugian masing-masing pilihan terapi. Levodopa merupakan obat yang paling banyak digunakan pada penyakit Parkinson. Obat lain yang bisa digunakan adalah agonis dopamin seperti pramipexole, inhibitor MAO-B seperti selegiline, inhibitor CMOT seperti entacapone, dan amantadine.[14]
Tabel 1. Potensi Manfaat dan Kerugian Agonis Dopamin, Inhibitor MAO-B, Inhibitor COMT, dan Amantadin
Agonis Dopamin | Inhibitor MAO-B | Inhibitor COMT | Amantadin | |
Perbaikan gejala motorik | Ya | Ya | Ya | Belum terbukti |
Perbaikan aktivitas sehari-hari | Ya | Ya | Ya | Belum terbukti |
Risiko efek samping | Sedang | Rendah | Cukup besar | Belum terbukti |
Risiko halusinasi | Lebih berisiko | Rendah | Rendah | Belum terbukti |
Contoh | Pramipexole, ropinirole, rotigotine | Selegiline, rasagiline | Entacapone, tolcapone, opicapone |
Sumber: dr. Krisandryka Wijaya, Alomedika, 2022.[14]
Pemilihan Terapi pada Penyakit Parkinson
Terapi lini pertama untuk pasien Parkinson tahap awal dengan gejala motorik yang mengganggu kualitas hidup adalah levodopa. Pada pasien Parkinson tahap awal dengan gejala motorik yang tidak mempengaruhi kualitas hidup, pilihan obat yang dapat diberikan adalah agonis dopamin, levodopa, atau inhibitor MAO-B. Agonis dopamin turunan ergot tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertama Parkinson.
Pada pasien yang mengalami diskinesia atau fluktuasi gejala motorik, namun sudah mendapat terapi levodopa dengan optimal, dapat diberikan agonis dopamin, inhibitor MAO-B, atau inhibitor COMT sebagai terapi adjuvan. Agonis dopamin turunan ergot, seperti lisuride, tidak direkomendasikan, kecuali jika gejala tetap tidak terkontrol dengan terapi levodopa dan terapi adjuvan lainnya. Amantadin dapat dipertimbangkan jika diskinesia tidak membaik dengan terapi lainnya.[3,14]
Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi:
- Obat-obat antiparkinson tidak boleh dihentikan tiba-tiba untuk menghindari risiko akinesia akut atau sindrom neuroleptik maligna.
- Pada pasien yang dirawat di rumah sakit atau panti jompo, perlu diingat agar obat diberikan sesuai jadwal (jika perlu, pasien boleh menyimpan obat sendiri).
- Penggantian jadwal obat hanya boleh dilakukan setelah berdiskusi dengan dokter spesialis.
- Edukasi pasien dan keluarga, baik secara lisan maupun tulisan, mengenai risiko pemberian obat. Agonis dopamin dapat meningkatkan risiko gangguan kontrol impuls, tidur berlebih, dan onset tidur mendadak, sedangkan semua terapi Parkinson dapat meningkatkan risiko gejala psikotik, seperti halusinasi dan delusi.[14]
Levodopa
Pada penyakit Parkinson, levodopa dapat digunakan bersama carbidopa. Dosis awal yang diberikan adalah levodopa 100 mg dengan carbidopa 25 mg, diberikan per oral 3 kali sehari dalam bentuk kombinasi.[7]
Agonis Dopamin
Saat ini, agonis dopamin yang disukai dalam penanganan Parkinson adalah golongan non-ergot, seperti pramipexole 0,125 mg, per oral, 3 kali sehari, dititrasi setiap minggu. Pilihan lain adalah ropinirole 0,25 mg, per oral, 3 kali sehari, dititrasi setiap minggu. Sediaan transdermal rotigotine 2 mg setiap 24 jam juga bisa menjadi alternatif.[7]
Monoamin Oksidase B Inhibitor (MAO-B Inhibitor)
MAO-B inhibitor yang dapat dipilih adalah selegiline 5 mg 2 kali sehari per oral; rasagiline 1 mg sekali sehari di pagi; ataupun safinamide 50 mg per oral sekali sehari.[7]
Catechol-O- Methyltransferase Inhibitor (COMT Inhibitor)
Pilihan COMT inhibitor pada Parkinson adalah entacapone 200 mg diberikan bersama setiap dosis levodopa; opicapone 50 mg diberikan malam hari; serta tolcapone 100 mg 3 kali sehari.[7]
Terapi Farmakologi Gejala Non-Motorik
Pasien Parkinson dengan daytime sleepiness atau onset tidur mendadak dianjurkan agar tidak mengemudi dan melakukan pekerjaan berisiko. Dokter spesialis dapat menyesuaikan terapi untuk mengurangi risiko tersebut.[14]
Daytime Sleepiness
Modafinil dapat dipertimbangkan sebagai terapi excessive daytime sleepiness pada pasien Parkinson, hanya jika etiologi fisik dan farmakologis yang reversibel sudah disingkirkan. Pasien Parkinson yang mendapat modafinil harus dievaluasi setiap 12 bulan.[14]
Gangguan Perilaku Tidur
Pada pasien Parkinson dengan gangguan perilaku tidur fase REM, dapat diberikan clonazepam atau melatonin. Levodopa atau agonis dopamin oral dapat dipertimbangkan untuk pasien Parkinson dengan akinesia nokturnal, dan jika kedua obat tersebut tidak efektif, dapat dipertimbangkan pemberian rotigotine.[14]
Hipotensi Ortostatik
Jika pasien Parkinson mengalami hipotensi ortostatik, dokter perlu meninjau ulang riwayat pengobatan. Hipotensi ortostatik dapat disebabkan oleh obat antihipertensi, dopaminergik, antikolinergik, dan antidepresan. Midodrine dapat dipertimbangkan untuk pasien Parkinson dan hipotensi ortostatik setelah mempertimbangkan kontraindikasi dan kebutuhan monitoring. Jika midodrine tidak efektif, tidak dapat ditoleransi, atau merupakan kontraindikasi, pertimbangkan pemberian fludrocortisone setelah mempertimbangkan risiko kardiovaskular dan interaksi obat.[8,14]
Hipotensi ortostatik juga dapat diatasi dengan menghindari faktor-faktor pemicu seperti makan dalam jumlah besar, alkohol, serta obat-obatan, meningkatkan asupan garam pada hipotensi ortostatik simptomatik.[8]
Gejala Psikotik
Pada kunjungan pasien, dokter perlu menanyakan pada pasien dan keluarga mengenai adanya gejala psikotik (halusinasi atau delusi). Dokter dapat mengurangi dosis obat-obat antiparkinson yang dapat memicu halusinasi atau delusi setelah mempertimbangkan keparahan penyakit dan risiko efek withdrawal.[14]
Quetiapine dapat diberikan untuk menangani halusinasi dan delusi pada pasien Parkinson tanpa gangguan kognitif. Jika terapi standar tidak efektif, dapat dipertimbangkan pemberian clozapine. Clozapine juga dapat dipertimbangkan sebagai manajemen delirium hiperaktif pada pasien parkinson apabila terapi medikamentosa diperlukan. Olanzapine tidak direkomendasikan. Obat-obatan antipsikotik lainnya, seperti fenotiazin dan butyrophenones dapat memperburuk gejala motorik Parkinson. Halusinasi dan delusi tidak perlu diterapi selama masih dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien dan keluarga.[8,14]
Dementia
Untuk pasien yang mengalami dementia Parkinson, obat yang dapat diberikan adalah inhibitor kolinesterase atau memantine jika kolinesterase tidak dapat ditoleransi atau merupakan kontraindikasi.[14]
Terapi Nonfarmakologi
Pasien Parkinson tahap awal sebaiknya direkomendasikan untuk melakukan fisioterapi, khususnya yang mengalami gangguan keseimbangan atau fungsi motorik, juga terapi okupasi untuk pasien yang mengalami kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien juga dianjurkan untuk melakukan terapi wicara, khususnya jika mengalami masalah komunikasi, menelan, atau masalah saliva.[8,14]
Nutrisi dalam diet pasien Parkinson juga perlu diperhatikan. Diet redistribusi protein, di mana mayoritas protein dikonsumsi pada makan berat terakhir dalam sehari, dapat diterapkan untuk pasien Parkinson yang mengalami fluktuasi gejala motorik dan sudah mengonsumsi levodopa. Pasien juga dianjurkan untuk mengonsumsi suplemen vitamin D.[14]
Pembedahan
Terapi pembedahan merupakan tata laksana terakhir pada Parkinson yang sudah pada tahap lanjut yang tidak dapat terkontrol dengan obat.
Operasi Neuroablatif Lesi
Operasi neurabalatif lesi adalah prosedur tindakan untuk mendestruksi area pada otak yang mempengaruhi gejala dari penyakit Parkinson.
Destruksi dilakukan dengan termokoagulasi menggunakan generator radiofrekuensi pada target spesifik di otak. Terdapat 3 macam tindakan dari operasi neurabalatif lesi yaitu :
- Thalomotomi: Destruksi dilakukan pada thalamus yaitu ventralis intermedius (VIM) untuk mengurangi tremor
- Pallidotomi: Destruksi dilakukan pada globus pallidus interna (GPi) untuk mengurangi gejala kardinal pada Parkinson dan diskinesia.
- Subthalamotomi: Destruksi dilakukan pada bagian Subthalamic Nucleus (STN), yang bertujuan mengurangi gejala kardinal, dan fluktuasi motorik serta diskinesia.
Operasi neuroablatif lesi tidak boleh dilakukan pada kedua sisi sekaligus karena komplikasi akan meningkat, seperti gangguan bicara, menelan dan kognisi. Tindakan ini kini sudah banyak ditinggalkan karena munculnya tindakan deep brain stimulation yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan prosedur ini.[3,14]
Deep Brain Stimulation
Prosedur bedah ini dilakukan dengan melakukan implantasi satu atau lebih dari elektroda pada area spesifik di otak, seperti subthalamic nucleus (STN), globus pallidus interna (GPi), dan thalamus. Hal ini bertujuan untuk mengubah atau menghilangkan pola abnormal dari sinyal saraf pada area yang dilakukan implantasi tersebut.
Indikasi deep brain stimulation pada STN dan GPi adalah :
- Komplikasi motorik yang refraktori dengan terapi medis
- Tidak ada komorbiditas yang signifikan
- Tidak ada gangguan kejiwaan yang signifikan
- Responsif terhadap levodopa
Stimulasi pada kedua area tersebut dapat memperbaiki keluhan akibat gejala kardinal dan dyskinesia pada Parkinson. Stimulasi pada GPi juga memberikan manfaat lain seperti memperbaiki fungsi bicara dan menelan.
Indikasi dari deep brain stimulation pada thalamus yaitu untuk pasien dengan tremor yang sangat parah, namun hal ini jarang untuk dilakukan. Prosedur operasi ini merupakan pilihan utama dibanding prosedur bedah lainnya karena terbukti lebih superior. Deep brain stimulation memiliki beberapa keuntungan seperti tidak merusak jaringan otak, reversibel, dapat disesuaikan dengan progresivitas penyakit, dan dapat dilakukan bilateral secara bersamaan tanpa peningkatan efek samping.[3,14]
Penulisan pertama oleh: dr. Catherine Ranatan