Penatalaksanaan Sindrom Tourette
Penatalaksanaan sindrom Tourette atau Tourette’s syndrome (TS) diawali dengan tata laksana nonfarmakologi, seperti habit reversal therapy dan comprehensive behavioral intervention for tics. Jika terdapat indikasi, terapi farmakologis dapat diberikan, yaitu dari obat peroral hingga injeksi toksin botulinum. Indikasi terapi farmakologis adalah untuk pasien dengan nyeri fisik, gangguan interaksi sosial, dan gangguan pada pendidikan atau pekerjaan.[4]
Nonfarmakologis
Tata laksana nonfarmakologis awal adalah memberikan edukasi dan konseling kepada pasien dan keluarga mengenai pemahaman menyeluruh kondisi pasien. Hal-hal yang harus dibahas adalah perjalanan penyakit, etiologi tic, potensi remisi setelah usia 18 tahun, serta tindakan terapi yang bisa diambil. Terapi nonfarmakologis dilakukan pada kasus TS dengan gangguan tic ringan.[8]
Habit Reversal Therapy
Habit reversal therapy (HRT) adalah terapi perilaku pertama untuk pasien TS. Terapi ini mengajarkan pasien untuk mengenali sensasi premonitorik dan waktu-waktu terjadinya tic, sehingga dapat melakukan tindakan yang bersifat kompetitif terhadap tics. Pada HRT, gejala tic diterapi satu per satu setiap minggu, dengan tujuan menurunkan frekuensi dan keparahan tic.[3,4]
Comprehensive Behavioral Intervention for Tics
Terapi perilaku digunakan untuk desensitisasi pasien dan mengendalikan tics. Terapi perilaku yang paling banyak digunakan pada TS adalah comprehensive behavioral intervention for tics (CBIT). Tujuan utama dari CBIT adalah untuk memutuskan sensasi premonitorik dengan tic, dan mengidentifikasi serta memodifikasi faktor-faktor yang bisa mencetuskan tic. Indikasi CBIT adalah kasus tic ringan hingga sedang. CBIT bisa dilakukan melalui media telekonferensi atau perantara perawat.
CBIT meliputi beberapa latihan, antara lain:
Awareness training: mengajarkan pasien untuk mengidentifikasi sensasi premonitorik dan situasi-situasi yang mencetuskan terjadinya tic, misalnya kafein, kecemasan, stress, dan aktivitas tertentu
Competing response training: mengajarkan pasien untuk melakukan tindakan kompetitif/berlawanan yang dapat mencegah terjadi tic ketika merasakan sensasi premonitorik, salah satunya adalah mengganti tic yang kurang bisa diterima secara sosial dengan gerakan yang lebih bisa diterima
- Terapi relaksasi: melatih pasien untuk meredakan kecemasan
- Manajemen kontingensi: memberikan hadiah jika pasien berhasil dalam mengendalikan tic untuk meningkatkan kontrol tic, misalnya membeli minuman kesukaan
- Pencegahan relaps: mempersiapkan pasien untuk mengaplikasikan strategi-strategi yang sudah dilatih untuk mengenali dan mengendalikan tic[4,16]
Komponen CBIT yang penting lainnya adalah dukungan sosial, karena penderita TS berisiko mengalami gangguan pada interaksi sosial, pekerjaan, dan pendidikan. Orang tua pasien dan guru disarankan untuk bertemu dan berdiskusi tentang beberapa modifikasi yang dapat membantu pasien.[4,8]
Modifikasi yang bisa dilakukan misalnya memilih tempat duduk, memberikan waktu lebih saat tes, mengurangi pekerjaan rumah, memberikan bantuan verbal dan visual seperti materi ajar secara audio dan video, menyesuaikan jadwal pelajaran, dan melakukan pertemuan dengan tenaga medis secara berkala.[4,8]
Farmakologis
Tata laksana farmakologis diberikan untuk pasien dengan gangguan yang signifikan pada pekerjaan, pendidikan, keluarga, serta yang tidak bisa diterapi optimal dengan tata laksana nonfarmakologis. Pemberian obat tidak terbatas pada kasus yang berat, tetapi juga bisa diberikan pada kasus ringan dengan hendaya yang signifikan.[3,4]
Alfa-2 Agonis
Obat alfa-2 agonis, seperti clonidine dan guanfacine, merupakan terapi yang sering digunakan sebagai lini pertama.
Dosis Clonidine:
- Dosis awal untuk pasien prapubertas: 0,025 mg diberikan 1‒2 kali/hari. Dapat ditingkatkan secara bertahap dengan menambahkan 0,025 mg, setiap 5‒14 hari, diberikan 3‒4 kali/hari, disertai monitoring tanda vital secara ketat
- Dosis awal untuk pasien remaja dan dewasa: 0,05 mg diberikan 1 kali/hari. Dapat ditingkatkan dengan menambahkan 0,05 mg, setiap 5‒14 hari, diberikan 2‒3 kali/hari, disertai monitoring tanda vital secara ketat
- Dosis terapeutik: umumnya berkisar antara 0,1−0,3 mg, terbagi menjadi 3−4 dosis setiap hari, baik pada anak maupun dewasa
- Dosis maksimal: 0,45 mg/hari[4,9]
Dosis Guanfacine:
- Usia prapubertas: dosis awal 0,25 mg, sekali sehari. Dapat ditingkatkan secara bertahap dengan menambahkan 0,25 mg setiap 5‒14 hari, diberikan 2 kali/hari
- Usia remaja dan dewasa: dosis awal 0,5 mg, sekali sehari. . Dapat ditingkatkan secara bertahap dengan menambahkan 0,5 mg
- Dosis maksimal 4 mg/hari[4,9]
Beberapa efek samping alfa-2 agonis adalah sedasi, bradikardia, nyeri kepala, dan mulut kering. Guanfacine lebih dapat ditoleransi pasien dengan efek sedasi yang lebih kurang. Clonidine juga terbukti efektif pada pasien TS dengan komorbid attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Penghentian alfa-2 agonis membutuhkan tapering off untuk menghindari rebound hypertension.[1,9,10]
Antipsikotik
Antipsikotik bekerja dengan cara menurunkan dopamine di otak, dan terbukti dapat menurunkan gejala tic. Namun, efek samping akibat blokade dopamine yang tinggi dapat menyebabkan gangguan ekstrapiramidal dan hiperprolaktinemia. Oleh karena itu, penggunaannya harus dibatasi.[1,9]
Penggunaan antipsikotik atipikal (risperidone, aripiprazole, olanzapine, quetiapine) lebih dapat dipilih karena efek sampingnya yang lebih ringan, jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal (haloperidol, pimozide). Selain itu, antipsikotik atipikal memiliki risiko efek samping kardiometabolik dan gangguan endokrin seperti diabetes mellitus dan dislipidemia, sehingga yang membutuhkan monitoring berkala.[1,9,10]
Dosis Risperidone:
- Antipsikotik atipikal untuk terapi tic yang paling banyak diteliti adalah risperidone
- Dosis awal untuk anak: 0,125‒0,25 mg, diberikan 1‒2 kali/hari. Dapat ditingkatkan setiap 5−7 hari sesuai kebutuhan hingga dosis 0,25‒4 mg/hari[4,9]
Dosis Haloperidol:
- Antipsikotik tipikal yang sering menjadi lini pertama untuk gangguan tic adalah haloperidol
- Dosis awal untuk anak: 0,125‒0,25 mg, diberikan 1‒2 kali/hari. Dapat dititrasi bertahap dengan menambahkan 0,125−0,25 mg setiap 5−7 hari
- Dosis optimal: 2−10 mg/hari[4,9]
Dosis Pimozide:
- Antipsikotik tipikal
- Dosis awal: 0,05 mg/kgBB/hari, diberikan single dose sebelum tidur. Dapat dititrasi bertahap setiap 3 hari sesuai kebutuhan
- Dosis maksimal 0,2 mg/kgBB/hari dan tidak melebihi 10 mg/hari[9]
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
SSRI, misalnya fluoxetine, sertraline, dan paroxetine, adalah terapi utama untuk komorbid gangguan obsesif kompulsif, gangguan cemas, dan gangguan mood. Golongan SSRI sendiri tidak mengurangi tic, tetapi dapat meringankan kondisi yang menyebabkan gejala tic semakin parah.[4]
Injeksi Toksin Botulinum
Toksin botulinum digunakan untuk tic motorik fokal, serta beberapa tic vokalis sederhana dan kompleks. Injeksi ini efektif untuk gejala tic yang refrakter terhadap terapi oral dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Respon terhadap toksin botulinum umumnya bertahan hingga 12‒16 minggu setelah injeksi.[10,11]
Terapi Inhibisi VMAT2
Vesicular monoamine transporter 2 (VMAT2) berfungsi dalam transfer dopamine, norepinefrin, dan serotonin dari vesikel menuju sinaps. Terapi inhibitor VMAT2 akan menurunkan transmisi neurotransmitter. Beberapa obat inhibitor VMAT2 yang digunaan dalam terapi TS adalah tetrabenazine, deutetrabenazine, dan valbenazine.[8,9]
Beberapa efek samping obat inhibitor VMAT2 adalah gejala depresi, akatisia, kenaikan berat badan, insomnia, dan parkinsonisme. Namun, tidak menyebabkan dyskinesia tardive seperti efek samping antipsikotik. Hingga saat ini masih belum ada pedoman pasti mengenai dosis inhibitor VMAT2 untuk TS.[8,9]
Tindakan Operatif
Tindakan operatif deep brain stimulation (DBS) digunakan untuk terapi tic refrakter. Tindakan ini menargetkan beberapa area di otak yang diduga terlibat dalam patofisiologi TS, misalnya globus pallidus dan thalamus. DBS menunjukkan penurunan 25−50% keparahan tic dibandingkan dengan kelompok tanpa tindakan. Hingga saat ini, DBS belum disetujui Food and Drug Administration (FDA) sebagai terapi gangguan tic maupun TS, karena besar sampel penelitian yang masih kurang.[3,10]