Diagnosis Cephalopelvic Disproportion
Diagnosis cephalopelvic disproportion (CPD) didapatkan dari adanya kurva persalinan abnormal, walaupun pada fase aktif dengan penipisan cervix 100% dan kontraksi uterus yang adekuat. Pemeriksaan pelvimetri secara klinis maupun radiologi dapat digunakan untuk membantu memprediksi CPD sebelum terjadi proses persalinan, terutama di daerah perifer dengan fasilitas SC kurang memadai.
Belum ada pemeriksaan penunjang yang menjadi standar baku emas untuk menegakkan diagnosis CPD. Pemeriksaan X-ray, CT scan, dan MRI pelvimetri belum terbukti secara akurat lebih berguna daripada pemeriksaan klinis.[20,34]
Anamnesis
Saat anamnesis pada ibu hamil, dapat ditanyakan riwayat persalinan dengan bayi makrosomia atau kontraktur pelvis pada pasien maupun keluarga pasien. Riwayat penyakit seperti diabetes gestasional perlu ditanyakan karena dapat mengakibatkan makrosomia.
Riwayat penyakit lain yang dapat mempengaruhi kondisi panggul seperti skoliosis, fraktur pelvis, dan rakitis juga harus ditanyakan karena akan menjadi pertimbangan untuk dilakukan pelvimetri radiologi. Tanyakan juga pada pasien metode persalinan sebelumnya.[1]
Pada proses kehamilan, terutama saat usia kehamilan lanjut >36 minggu, PAP yang sempit membuat janin tidak dapat turun, sehingga fundus uteri tetap tinggi dan ibu mengeluhkan sesak, sulit bernapas, rasa penuh di ulu hati, dan perut yang besar membentuk abdomen pendulum (perut gantung).[1]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik CPD dapat dilakukan saat kunjungan antenatal atau melalui pemeriksaan panggul saat inpartu. Akan tetapi, sampai saat ini gold standard CPD didapatkan pada saat fase aktif persalinan. Pemeriksaan panggul dapat dilakukan dengan cara pelvimetri klinis baik eksternal maupun internal.
Tanda Klinis Intrapartum
Tanda klinis CPD yang dapat ditemukan saat intrapartum adalah kepala janin tidak kunjung masuk PAP serta pendataran (effacement) dan dilatasi serviks yang lambat walaupun kontraksi uterus baik. American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan beberapa literatur lain menyetujui bahwa diagnosis CPD baru bisa ditegakkan (gold standard) pada saat inpartu atau percobaan persalinan.[25,34]
Jika CPD dicurigai pada saat proses persalinan, evaluasi kembali hal-hal berikut:
- Ukuran dan bentuk panggul
- Presentasi dan posisi janin
- Ada tidaknya molase atau caput succedaneum pada kepala janin
- Aktivitas janin
- Vesika urinaria dan rektum pasien terisi atau tidak
- Kualitas dan kuantitas kontraksi uterus
- Dilatasi dan pendataran serviks
- Penurunan kepala janin terhadap bidang Hodge atau terhadap spina ischiadika (sistem station)[3]
Jika terjadi hipoksia atau hipoglikemia pada janin, tanda yang dapat diamati adalah penurunan denyut jantung janin (bradikardia) dan deselerasi lambat pada cardiotocography (CTG).
Kriteria Diagnosis Cephalopelvic Disproportion (CPD):
Kriteria diagnosis CPD berdasarkan the American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan Royal Thai College of Obstetricians and Gynecologists (RTCOG) harus memenuhi 3 kondisi di bawah ini:
- Dilatasi serviks ≥3 cm (ACOG) atau ≥4 cm (RTCOG) dan pendataran serviks 100% (ACOG) atau 80% (RTCOG)
- Kontraksi uterus adekuat selama minimal 2 jam
- Kurva persalinan abnormal[26,34]
Kurva persalinan abnormal ditunjukkan dengan:
- Kurva dengan protracted dilatation, yaitu bukaan <1,2 cm per jam untuk nulipara atau <1,5 jam untuk multipara
Secondary arrest of dilatation, yang ditunjukkan dengan dilatasi cervix yang normal di awal proses persalinan, tetapi pada titik tertentu dilatasi cervix berhenti
-
Arrest of descent, yang ditunjukkan dengan penurunan kepala janin >1 jam per pelvic division
- Deselerasi memanjang, dengan durasi >3 jam untuk nulipara atau >1 jam pada multipara
- Kala II memanjang, yaitu >2 jam pada nulipara atau >1 jam untuk multipara tanpa anestesi regional[34]
Beberapa literatur menyebutkan bahwa CPD baru bisa dicurigai jika dengan penggunaan oksitosin tetap tidak ada kemajuan, persalinan dan baru bisa ditegakkan bila sudah ada perpanjangan kala I (>12 jam) atau perpanjangan kala II (>2 jam) pada ibu hamil yang mendapat oksitosin.[1]
Pemeriksaan Antropometri Antenatal
Selain ukuran panggul yang sempit, kriteria lain yang perlu dinilai pada antropometri adalah tinggi badan ≤145 cm, pertambahan berat badan ibu >15 kg (biasanya berhubungan dengan ukuran janin yang besar), dan BMI ibu >30.[17]
Saat ini penggunaan kamera 3 dimensi untuk kepentingan antropometri juga sedang dipelajari, yakni untuk menilai risiko partus macet karena cephalopelvic disproportion.
Pelvimetri Eksternal
Pemeriksaan pelvimetri eksternal dilakukan menggunakan instrumen yang disebut Berisky pelvimeter. Pada pelvimetri eksternal dilakukan pengukuran jarak antara crista iliaca, jarak antara spina iliaca anterior-superior, jarak intertrocanter, jarak diagonal transversal area Michaelis-sakrum, dan intertuberositas.
Sebuah penelitian melaporkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan paling tinggi adalah jarak diagonal transversal Michaelis-sakrum, yaitu 60,7% dan 84,1%. Namun, positive indicative value seluruh parameter pelvimetri eksternal tersebut relatif rendah yakni 12,6–35,4%.
Di daerah terpencil, di mana pelvimetri radiologi tidak tersedia, pelvimetri eksternal dapat menjadi alternatif yang murah dan mudah digunakan untuk memprediksi risiko distosia akibat CPD.[21,22]
Pelvimetri Internal
Pemeriksaan fisik lain untuk memprediksi CPD adalah melalui pelvimetri internal. Pelvimetri internal dilakukan dengan cara vaginal toucher (VT) atau pemeriksaan dalam menggunakan jari telunjuk dan tengah untuk mengevaluasi kapasitas panggul, yakni bagian pintu atas panggul (PAP), ruang tengah panggul (RTP), dan pintu bawah panggul (PBP).[23]
Pelvimetri internal berbeda dengan VT biasa yang rutin dikerjakan pada persalinan yang bertujuan mengevaluasi bukaan serviks, kantong amnion, penurunan, dan posisi janin.[23]
Menurut World Health Organisation (WHO), pelvimetri internal tidak dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada ibu hamil yang sehat dengan kemajuan persalinan yang normal. Pelvimetri internal umumnya dilakukan saat pasien mengalami inpartu. Pemeriksaan ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien dan meningkatkan risiko infeksi.
Pada pelvimetri internal dilakukan penilaian terhadap bentuk dan ukuran rongga dalam pelvis. Walaupun akurasi diagnosis dengan cara ini tidak pasti (tergantung kemahiran pemeriksa), beberapa penelitian melaporkan bahwa pelvimetri internal berguna untuk memperkirakan CPD pada pasien nulipara saat tidak ada modalitas pemeriksaan lain misalnya di daerah-daerah pedesaan.[23]
Cara Melakukan Pelvimetri Internal:
Pelvimetri internal dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran kualitatif struktur panggul dan mengidentifikasi risiko distosia pada pasien.[4,24]
Mengukur konjugata diagonalis dilakukan dengan memasukkan dua jari (jari telunjuk dan tengah) ke vagina dan meraba promontorium sakrum dengan jari tengah. Menggunakan jari telunjuk raba bagian posterior simfisis pubis. Ukuran konjugata diagonalis harus lebih besar dari 11,5 cm.[1]
Bagian tulang PBP dapat diukur menggunakan kepalan tangan, kemudian membandingkan dengan jarak antara tuberositas ischium yang teraba. Ukuran lebih besar dari 8 cm dianggap normal. Lakukan perabaan spina ischiadika apakah tajam atau mendatar. Perabaan bagian tepi pelvis menilai bentuk lurus, divergen, atau konvergen.[1]
Hasil Pemeriksaan Pelvimetri Internal yang Normal:
Hasil pemeriksaan pelvimetri internal yang normal adalah sebagai berikut:
- Bagian tepi atas tulang panggul bulat dan ketebalan simfisis pubis cukup, sejajar dengan sakrum
- Konjugata diagonalis ≥12,5 cm
- Sakrum berongga, kelengkungan cukup
- Dinding tepi panggul lurus dan spina ischiadica tumpul
- Diameter interspinarum ≥10 cm
- Lebar tonjolan sakroskiatik 2,5–3 jari
- Sudut suprapubik >90 derajat (lebar 2 jari)
- Diameter antara tuberositas >8 cm (sekepalan tangan), diameter anteroposterior PBP ≥11 cm, coccyx mobile[3]
Panggul Sempit dari Pemeriksaan Pelvimetri Internal:
Hasil pelvimetri internal yang menunjukkan adanya panggul sempit antara lain pemeriksa dapat meraba promontorium sakrum, tulang spina ischiadica yang tajam dengan diameter interspinarum yang sempit, dinding sisi pelvis yang konvergen, sakrum yang melengkung dan menonjol ke depan, dan arcus pubis yang sempit atau <90o.[4,24]
Pemeriksaan Obstetri
Pada pemeriksaan obstetri ibu nulipara, bila bagian terbawah janin tidak masuk ke PAP pada usia kehamilan >36 minggu, perlu dicurigai adanya CPD. Pada keadaan multipara penurunan janin biasanya terjadi saat proses persalinan dimulai. Pada pemeriksaan Leopold IV, penurunan kepala 2/5 menunjukkan proses engagement sudah terjadi dan kemungkinan CPD setinggi PAP dapat disingkirkan.[3,24]
Penurunan kepala dapat dinilai melalui pemeriksaan dalam dengan parameter spina ischiadika dan bagian terendah janin. Station 0 berada setinggi spina ischiadica, station +4 dan +5 menunjukkan kepala sudah mencapai dasar panggul. Pada nulipara, diagnosis CPD harus dipikirkan bila bagian terendah janin masih berada pada station yang tinggi selama kala I dan II.[3]
Manuver Mueller-Hillis atau Munro-Kerr's Head-Fitting Test:
Pemeriksaan dengan manuver Mueller-Hillis atau Munro-Kerr's head-fitting test dapat dilakukan untuk menilai kesempitan PAP pada usia kehamilan yang cukup dan kepala belum engaged. Manuver Mueller-Hillis ini dilakukan dengan mencekap bagian suboccipital janin dari dinding abdomen ibu kemudian menekan ke arah bawah PAP. Jika tidak ada kesempitan pada PAP, maka kepala dapat memasuki panggul.[1]
Munro Kerr's head-fitting test juga menguji apakah kepala janin dapat masuk ke PAP, dengan cara memberikan penekanan pada kepala janin menggunakan tangan kiri ke arah panggul (bawah) dan jari telunjuk dan tengah tangan kanan di dalam vagina merasakan penurunan kepala dan ibu jari di bagian luar simfisis pubis.
Bila kepala dapat masuk dan turun, maka kemungkinan PAP sempit dapat disingkirkan. Bila kepala terasa overlapping ke arah simfisis (teraba oleh ibu jari) maka dapat dicurigai adanya CPD.[3]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding CPD absolut adalah kelainan presentasi wajah, presentasi occiput-posterior, dan presentasi alis posterior. Membedakan presentasi tersebut dilakukan melalui pemeriksaan palpasi bagian janin pada dinding abdomen bawah dan juga pemeriksaan dalam atau vaginal toucher (VT) dengan meraba bagian terbawah janin.[1,27]
Adanya jaringan pada uterus seperti fibroid uterus atau kondisi plasenta previa juga dapat menghambat penurunan kepala janin ke panggul. Massa di luar uterus seperti tumor ovarium yang besar, bahkan impaksi feses juga dapat mengganggu proses penurunan janin saat inpartu. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi dapat digunakan untuk mendeteksi kelainan-kelainan tersebut.[1,27]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk CPD pada kurang begitu berkembang, karena tingkat akurasi yang tidak begitu baik dan mayoritas rumah sakit sudah mampu melakukan SC bila terjadi kegagalan pada percobaan persalinan (trial of labor). Diagnosis CPD sangat dibutuhkan pada saat akses ke fasilitas kesehatan dengan kemampuan melakukan SC sangat terbatas atau jaraknya jauh, seperti pada daerah pedesaan.[19]
Rekomendasi American College of Obstetricians and Gynecology (ACOG) untuk mendiagnosis CPD adalah melalui tanda klinis pada proses persalinan. Pemeriksaan penunjang pada kasus CPD tidak terbukti efektif dapat memprediksi CPD dan hasil yang negatif tidak menjamin nantinya tidak akan terjadi distosia pada proses persalinan. Belum ada konsensus resmi mengenai penggunaan CT-scan atau MRI untuk pelvimetri.[9]
Pelvimetri X-ray
Indikasi dilakukannya pemeriksaan radiologi pelvimetri antenatal adalah kecurigaan CPD dan presentasi sungsang yang menetap. Pemeriksaan pelvimetri menggunakan sinar X digunakan untuk menentukan diameter pelvis dan diameter kepala janin dan membantu untuk memutuskan metode persalinan yang tepat.[28]
Radiologi pelvimetri digunakan untuk mengevaluasi passageway dan passenger. Beberapa parameter yang didapat dari pelvimetri adalah jarak konjugata vera, diameter transversal PAP dan PBP, diameter interspinarum, dan diameter sagital dari permukaan simfisis pubis ke permukaan sakrum setinggi spinosus.
Lingkar PAP dan PBP dihitung dari ukuran diameter anteroposterior (at) pelvis dan diameter transversal (dt) menggunakan rumus (ap + dt x 1,57). Pelvimetri dengan sinar X dilakukan hingga tahun 2003, kemudian mulai digantikan dengan magnetic resonance imaging (MRI) pelvimetri pada tahun 2004.[28,29]
Coherence Tomography (CT) Pelvimetri
Computed tomography (CT) pelvimetri mulai digunakan sejak sekitar tahun 1990, menggunakan dosis radiasi yang jauh lebih rendah dibanding sinar X dan waktu pemeriksaan lebih singkat, sehingga pasien lebih nyaman saat pemeriksaan. Akan tetapi, CT pelvimetri tidak menunjukkan akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan pelvimetri x-ray.[3]
MRI Pelvimetri
Magnetic Resonance Imaging (MRI) pelvimetri digunakan sebagai pemeriksaan yang aman dan dapat diandalkan untuk menilai keadaan pelvis pasien dibandingkan teknik radiologi menggunakan sinar X. Banyak penelitian dilakukan untuk membuktikan potensi penggunaan MRI pelvimetri pada antenatal untuk memperkirakan prognosis persalinan per vaginam. Pemeriksaan MRI pelvimetri menurunkan jumlah sectio caesarea emergensi secara signifikan.
Keuntungan MRI pelvimetri adalah tidak ada paparan radiasi pengion, pengukuran lebih akurat, memperoleh gambaran keseluruhan janin, dan dapat digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan distosia akibat jaringan lunak. Akan tetapi, beberapa penelitian gagal membuktikan akurasi MRI pelvimetri untuk menentukan apakah seorang ibu hamil memerlukan tindakan SC atau tidak.[1]
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengukuran dimensi pelvis dan perkiraan taksiran berat janin menggunakan MRI pelvimetri memiliki sensitivitas yang rendah, yaitu 15–62% untuk mendeteksi CPD. Pemeriksaan MRI pelvimetri tidak akurat untuk mendeteksi apakah persalinan dapat secara per vaginam atau dengan SC.[13]
Sampai saat ini, penilaian kapasitas panggul menggunakan pelvimetri radiologi belum menunjukkan keuntungan dan manfaat yang secara signifikan lebih superior dibandingkan pelvimetri klinis.[3]
Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) digunakan untuk memperkirakan ukuran kepala janin dan taksiran berat badan janin. Fetal Pelvic Index (FPI) dapat memperhitungkan komponen lingkar kepala janin dan lingkar abdomen dari hasil USG dengan ukuran PAP dan PBP pasien dari pelvimetri. Nilai FPI yang positif berarti ukuran janin lebih besar dari ukuran pelvis, sedangkan hasil yang negatif berarti ukuran janin lebih kecil dari ukuran pelvis.[28]
Akan tetapi, hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa FPI adalah instrumen yang buruk untuk menentukan apakah persalinan memerlukan secara SC atau tidak. Sampai sekarang ini, pun belum ada pemeriksaan penunjang untuk mengukur kepala janin yang dapat secara akurat memprediksi CPD.[1,17,28]
Ultrasonografi juga dapat mendeteksi kelainan kongenital seperti hidrosefalus yang dapat menyebabkan CPD. Diameter biparietal kepala janin >12 cm menunjukkan CPD absolut.
Taksiran berat janin >4.000 gram dari hasil ultrasonografi memperkirakan janin makrosomia. Janin makrosomia umumnya memiliki ukuran kepala lebih besar dan tengkorak yang mengalami kalsifikasi lebih dibanding janin ukuran normal, sehingga lebih sulit terjadi molase/moulding yang kemudian dapat menimbulkan CPD.[7]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli