Penatalaksanaan Cephalopelvic Disproportion
Penatalaksanaan terbaik untuk kondisi cephalopelvic disproportion (CPD) adalah sectio caesarea (SC) yang dapat direncanakan apabila hasil pemeriksaan kehamilan menunjukkan disproporsi kepala janin dan pelvis ibu atau terdapat tanda CPD yang jelas.
Tindakan SC dilakukan bila didapatkan janin dengan presentasi dahi atau muka. SC juga dipertimbangkan apabila CPD disertai dengan faktor lain seperti, primigravida tua, riwayat infertilitas lama, dan ibu hamil dengan penyakit jantung.
Sesuai dengan rekomendasi WHO, jumlah sectio caesarea yang dilakukan atas indikasi CPD seharusnya tidak lebih dari 5%. Peningkatan sectio caesarea melebihi angka tersebut diduga akibat adanya over-diagnosis CPD. Penentuan diagnosis CPD menggunakan kriteria diagnosis yang tepat dapat menurunkan angka SC yang tidak diperlukan.[26,34]
Percobaan Persalinan
Percobaan persalinan (trial of labor) dapat dilakukan pada kondisi CPD relatif atau hasil pemeriksaan panggul yang borderline dengan syarat his adekuat, serviks lunak, janin presentasi kepala dan kondisi janin hidup. Selama percobaan persalinan, tanda-tanda klinis CPD harus dievaluasi.
Percobaan persalinan berhasil apabila bayi lahir per vaginam serta keadaan ibu dan bayi post partum baik. Percobaan persalinan dihentikan dan diganti dengan metode SC apabila ada secondary arrest of dilatation (tidak ada penambahan dilatasi serviks setelah 2 jam pada kala I fase aktif), tanda gawat janin, dan tanda ruptur uteri.[1,24]
Sebuah penelitian menunjukkan pada 128 pasien yang menjalani percobaan persalinan per vaginam, 95 pasien akhirnya menjalani sectio caesarea (SC) elektif dan 56 pasien (58,9%) di antaranya dicurigai CPD. Pada kelompok pasien yang menjalani percobaan persalinan per vaginam didapatkan ukuran neonatus yang secara signifikan lebih kecil dibandingkan dengan kelompok SC.
Dari 128 pasien percobaan persalinan, 93 pasien (72,7%) berhasil melahirkan per vaginam. Pada pasien yang berhasil melahirkan per vaginam ditemukan ukuran PAP lebih besar dibandingkan dengan kelompok pasien SC. Ukuran neonatus juga lebih besar pada kelompok SC. Pada 35 pasien yang mengalami kegagalan pada percobaan persalinan, 18 pasien mengalami perpanjangan kala I, 15 pasien mengalami gawat janin, dan 2 pasien mengalami perpanjangan kala II.[20]
Simfisiotomi
Penatalaksanaan CPD lain adalah melalui tindakan simfisiotomi. Tindakan simfisiotomi dilakukan dengan cara memotong sebagian kartilago simfisis pubis menggunakan skalpel yang bertujuan untuk memperbesar ruang pada pelvis agar janin dapat lahir per vaginam.
Tindakan ini dilakukan dengan anestesi lokal infiltrasi. Oleh karena tingginya angka komplikasi berupa infeksi dan nyeri kronis yang ditimbulkan pasca tindakan, maka simfisiotomi sudah hampir tidak pernah dilakukan.[30]
Indikasi utama simfisiotomi adalah CPD dengan presentasi kepala. Simfisiotomi hanya dilakukan pada daerah yang tidak tersedia fasilitas SC dan pada kondisi life-saving ketika keadaan umum ibu tidak memungkinkan untuk dilakukan SC.[30]
Kraniotomi
Kraniotomi dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan pada kasus CPD bila janin sudah mati, pembukaan serviks >7 cm, ketuban sudah pecah, tidak ada kelainan pada jalan lahir, dan pemeriksa yakin tidak terdapat tanda ruptur uteri. Kraniotomi tidak dilakukan pada kasus hidrosefalus.[24]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli