Penatalaksanaan Distosia
Penatalaksanaan distosia atau partus macet tergantung pada etiologi. Tata laksana yang dapat dilakukan adalah penggunaan oxytocin, rotasi manual, persalinan vaginal operatif, simfisiotomi, dan sectio caesarea.[3,6]
Rekomendasi Umum
American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) dan National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) merekomendasikan evaluasi terhadap ibu dan janin harus terus dilakukan secara berkala selama kala 2 persalinan. NICE merekomendasikan evaluasi dilakukan setiap 15–30 menit. Dukungan terhadap ibu harus senantiasa diberikan oleh keluarga pasien dan tenaga kesehatan.[3,6]
Amniotomi
ACOG dan NICE merekomendasikan amniotomi untuk mempercepat persalinan pada kondisi ketuban yang belum pecah. NICE merekomendasikan amniotomi dilakukan setelah 1 jam kala 2 pada pasien nulipara, dan setelah 30 menit kala 2 pada pasien multipara.[3,6]
Tata Laksana untuk Gangguan Kontraksi
Pasien dengan kontraksi uterus yang tidak adekuat dapat diberikan oxytocin pada awal kala 2 persalinan. NICE hanya merekomendasikan oxytocin untuk penanganan distosia pada pasien nulipara dengan kontraksi yang tidak adekuat. Pasien multipara dengan distosia perlu perhatian khusus sebelum memberikan oxytocin karena dapat terdapat risiko ruptur uteri.[6,16]
Sebelum memberikan oxytocin, harus dipastikan bahwa tidak ada disproporsi sefalopelvik, insisi uterus, malpresentasi, abnormalitas denyut jantung janin, dan tidak ada hambatan pada jalan lahir. Pada kasus kelahiran per vaginam pasca operasi caesar (Vaginal Birth After Cesarean section / VBAC) dapat dilakukan Trial Of Labor After Cesarean Section (TOLAC).[3,4]
Dosis oxytocin intravena yang diberikan berbeda-beda antara setiap individu, karena setiap individu menunjukkan respon klinis yang berbeda sehingga dosis perlu dititrasi. Target pemberian oxytocin adalah tercapainya kontraksi adekuat dengan frekuensi 3–5 kali dalam 10 menit, dan kekuatan kontraksi 200 Montevideo unit dalam 10 menit.[3,4]
Tabel 1. Dosis Oxytocin
Kelompok Dosis | Dosis Awal | Peningkatan | Dosis Maksimal |
Dosis rendah | 0,5–1 mU/menit | 1 mU setiap 30–40 menit | 20 mU/menit |
1–2 mU/menit | 2 mU setiap 15 menit | 40 mU/menit | |
Dosis tinggi | 4,5 mU/menit | 4,5 mU setiap 15–30 menit | 40 mU/menit |
6 mU/menit | 6 mU setiap 15 menit | 40 mU/menit | |
7 mU/menit | 7 mU setiap 15 menit | 40 mU/menit |
Sumber: Shofa, 2019.[3]
Pemberian oxytocin dihentikan apabila ditemukan takisistol uterus yang ditandai dengan frekuensi kontraksi >5 kali dalam 10 menit, durasi per kontraksi >2 menit, atau jarak antara kontraksi <1 menit. Jika pemberian oxytocin tidak membantu kemajuan persalinan, pertimbangkan persalinan dengan instrumen atau sectio caesarea.[3]
Tata Laksana Abnormalitas Janin
Abnormalitas pada janin yang dapat ditemukan adalah malposisi kepala janin. Malposisi yang sering ditemukan adalah oksipitoposterior. Pada kondisi ini, oksipital janin akan menghadap ke tulang belakang ibu dan muka janin menghadap ke simfisis. Malposisi ini dapat ditata laksana dengan melakukan rotasi manual. Rotasi ini bertujuan untuk mengembalikan posisi janin ke oksipitoanterior.[17]
Selain menggunakan rotasi manual, ada beberapa posisi dan pergerakan yang dapat dilakukan oleh ibu, yaitu posisi knee-chest, hands-and-knees, pelvic rocking, side-lying, atau duduk asimetris. Jika rotasi manual dan perubahan posisi gagal dilakukan, maka persalinan dengan instrumen atau sectio caesarea dapat dipertimbangkan.[6]
Tata Laksana Abnormalitas Jalan Lahir
Abnormalitas jalan lahir yang dapat ditemukan adalah disproporsi sefalopelvik, serta adanya obstruksi pada jalan lahir (biasanya disebabkan oleh kandung kemih yang penuh atau ada keganasan). Kandung kemih yang penuh dapat menghambat kemajuan persalinan, untuk itu kandung kemih perlu dikosongkan terlebih dahulu. Kateter uretra dapat dipasang jika ibu tidak dapat mengosongkan kandung kemih.
Pada kondisi disproporsi dan adanya obstruksi jalan lahir, persalinan melalui sectio caesarea dapat dipertimbangkan.[2,6]
Persalinan dengan Instrumen dan Sectio Caesarea
Persalinan dengan instrumen dapat dijadikan salah satu alternatif tata laksana pada kasus distosia. Pemilihan instrumen yang digunakan tergantung dari kondisi klinis dan kemampuan tenaga kesehatan. Saat melakukan persalinan dengan instrumen, penggunaan anestesi direkomendasikan.
Namun, jika pasien menolak anestesi lokal pada perineum untuk memblok nervus pudendal dapat dilakukan. Jika persalinan melalui instrumen ini tidak berhasil dilakukan, sectio caesarea dapat dipertimbangkan.[3]
Sampai saat ini, tidak ada batasan durasi yang jelas untuk menentukan bahwa pasien perlu dilakukan persalinan operatif atau sectio caesarea. Keputusan untuk melakukan sectio caesarea pada kasus distosia diambil berdasarkan kondisi ibu dan janin. Pada kasus makrosomia, sectio caesarea biasanya digunakan pada janin dengan taksiran berat janin diatas 5.000 gram untuk ibu tanpa diabetes dan >4.500 gram untuk ibu dengan diabetes.[2]
Simfisiotomi
Simfisiotomi dapat dijadikan alternatif tata laksana distosia pada kondisi dengan sumber daya minimal dan sectio caesarea tidak memadai untuk dilakukan. Prosedur ini dilakukan dengan cara membagi ligamen simfisis dengan menggunakan anestesi lokal atau umum. Setelah dilakukan simfisiotomi, diameter simfisis dapat meningkat sebanyak 1 cm dan hal ini bersifat permanen.[18]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini