Epidemiologi Galactorrhea
Data epidemiologi mengenai galactorrhea terutama di Indonesia masih terbatas. Menurut American Family Physician (AFP), insidens galactorrhea bervariasi pada tiap populasi, namun pada wanita dengan hiperprolaktinemia persentasenya dapat mencapai 90%.
Selain itu, sebanyak kurang lebih 20-25% wanita mengalami galactorrhea pada periode tertentu kehidupannya. Pada neonatus, dilaporkan persentase kejadian witch’s milk mencapai 5%.[29,30]
Sebanyak kurang lebih 20% wanita dengan galactorrhea mengalami tumor hipofisis, angka prevalensi ini meningkat sampai dengan 34% pada wanita yang memiliki gejala tambahan berupa amenorea. Sedangkan pada pasien dengan riwayat penggunaan antipsikotik, sebanyak 15% mengalami galactorrhea dalam 7-75 hari setelah mengkonsumsi antipsikotik.[30]
Galactorrhea jarang terjadi pada wanita pasca menopause karena kurangnya kadar estrogen pada periode ini.[18]
Global
Di Amerika, sebanyak 75% pasien dengan galactorrhea dan amenorea juga memiliki kadar prolaktin yang tinggi (hiperprolaktinemia). Dari pasien dengan hiperprolaktinemia, sebanyak 30% pasien menderita tumor yang sifatnya menyekresi prolaktin.[31]
Namun, tidak semua pasien dengan galactorrhea mengalami hiperprolaktinemia. Berdasarkan sebuah studi yang yang melibatkan 60 responden, didapatkan 63% responden memiliki kadar serum prolaktin yang normal. Hasil ini didukung oleh studi lain yang dilakukan terhadap pasangan yang infertil, yaitu 28%-63% pasien memiliki kadar prolaktin yang normal dengan galactorrhea.[6,32]
Indonesia
Di Indonesia, data epidemiologi mengenai galactorrhea masih sangat terbatas. Berdasarkan studi yang dilakukan di Yogyakarta, dari 46,8% akseptor KB suntik di Indonesia, sebanyak 90% mengalami galactorrhea. Banyak teori mengenai efek samping galactorrhea pada penggunaan antipsikotik, namun belum ada data epidemiologis pendukungnya.[27,33]
Mortalitas
Galactorrhea sendiri umumnya tidak menyebabkan mortalitas. Angka mortalitas mengikuti etiologi yang mendasari, misalnya pada galactorrhea yang disebabkan oleh penyakit ginjal kronis, tumor hipofisis maupun nonhipofisis, dan cedera kepala dengan perdarahan intrakranial.[6,14,15,23]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja