Penatalaksanaan Menopause
Pada prinsipnya, penatalaksanaan menopause bertujuan meminimalisir gejala yang mengganggu dan mencegah komplikasi jangka panjang sehingga secara tidak langsung meningkatkan kualitas hidup. Terapi hormonal dapat dilakukan menggunakan preparat estrogen atau kombinasi estrogen dan progesteron.[1,4]
Menopausal Hormone Therapy (MHT)
Terapi hormon (menopausal hormone therapy/MHT) merupakan terapi simtomatik yang paling efektif, terutama pada wanita usia <60 tahun atau telah menopause selama <10 tahun. Pendekatan terapi dilakukan secara case per case berdasarkan usia pasien, periode menopause yang dialami, dan riwayat histerektomi, dengan mempertimbangkan juga riwayat medis, riwayat keluarga, kebiasan merokok, budaya, penggunaan kontrasepsi, serta status ekonomi.[1,3]
Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi utama MHT yaitu untuk meringankan gejala vasomotor dan sindrom genitourinari, terutama gejala sedang-berat. MHT juga dapat digunakan untuk mencegah osteoporosis dan menurunkan risiko fraktur. Meski efektif, MHT tidak diberikan secara rutin mengingat adanya efek samping dan risiko yang bervariasi.
Penggunaan MHT tidak disarankan pada kasus perdarahan vagina yang belum diketahui penyebabnya, kanker yang berkaitan dengan estrogen, kanker payudara, penyakit jantung koroner, tromboemboli aktif, kelainan koagulasi, penyakit hati, dan penyakit kandung empedu.[3,5]
Durasi Pemberian:
Waktu untuk memulai terapi didasarkan pada riwayat medis dan gejala pasien. MHT sebaiknya diberikan segera setelah muncul gejala, baik sebelum ataupun setelah menopause. Pada kegagalan ovarium (hipoestrogenisme) prematur atau menopause dini, MHT dapat dimulai dengan atau tanpa gejala.[3,4]
Durasi pemberian terapi didasarkan pada gejala yang muncul dan risiko terkait. Hingga saat ini belum ada pedoman yang jelas mengenai durasi pemberian MHT, namun MHT sebaiknya diberikan dalam jangka pendek dengan dosis efektif terendah yang masih dapat mengontrol gejala, dan disertai dengan pemantauan klinis secara periodik. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan durasi MHT yaitu:
- Efek MHT terhadap gejala vasomotor dan urogenital yang masih terjadi
- Efek MHT terhadap penurunan kepadatan tulang, pencegahan fraktur, penurunan risiko penyakit kardiovaskular dan kanker kolorektal
- Potensi risiko trombotik dan kanker payudara yang dapat meningkat seiring bertambahnya durasi penggunaan MHT[1,4]
Onset Terapi:
MHT relatif aman digunakan pada wanita usia <60 tahun yang secara umum sehat atau yang telah memulai MHT dalam 10 tahun sejak dimulainya menopause asalkan tidak muncul penyakit baru. Wanita yang memulai MHT ketika sudah lewat dari 10 tahun sejak menopause, atau berusia >60 tahun, memiliki risiko kejadian trombotik dan penyakit jantung koroner yang lebih tinggi daripada pada wanita yang memulai MHT di awal menopause.[1,4]
Penghentian Terapi:
Belum ada konsensus mengenai metode yang paling baik untuk menghentikan MHT. Tidak ada perbedaan tingkat rekurensi atau kekambuhan gejala pada penghentian MHT secara tiba-tiba atau secara bertahap.
Kekambuhan gejala vasomotor dapat terjadi pada penghentian MHT, namun gejalanya lebih ringan dibandingkan sebelum terapi. Kekambuhan gejala pada penghentian terapi progestogen lebih jarang dibandingkan kekambuhan gejala pada penghentian terapi estrogen.[1,4]
Efek samping MHT seperti kembung, muntah, penambahan berat badan, mastodinia, perdarahan uterus abnormal, dan nyeri kepala seringkali menjadi alasan penghentian terapi. Pilihan terapi lain dapat dipertimbangkan sebelum terapi dihentikan.[3,5]
Jenis Sediaan:
MHT dapat diberikan per oral maupun non-oral, termasuk transdermal, krim vagina, cincin vagina, dan tablet vagina. Pemberian non-oral tidak melalui metabolisme di hati dan tidak memiliki efek pada sex hormone-binding globulin (SHBG), tekanan darah, lemak netral, dan protein C-reaktif dibandingkan dengan pemberian oral.
MHT dapat berupa estrogen saja, progestogen saja, kombinasi estrogen-progestogen, selective estrogen receptor modulators (SERM), kombinasi SERM dengan estrogen, DHEA, dan gonadomimetik (tibolone).[4,6]
Estrogen
Estrogen efektif untuk mengatasi gejala vasomotor, sindrom genitourinari, dan pencegahan osteoporosis. Pada atrofi vagina, pemberian estrogen dapat membantu memulihkan flora normal vagina, merangsang proliferasi kapiler, memperbaiki indeks kematangan epitel vagina, dan meningkatkan sekresi vagina dengan memperbaiki epitelisasi vagina. Estrogen juga diketahui dapat menurunkan LDL dan meningkatkan HDL sehingga menurunkan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular.
Beberapa jenis obat estrogen antara lain estradiol, seperti micronized 17β estradiol dan ethinylestradiol, estriol, dan komponen estrogen seperti conjugated equine estrogen (CEE). Obat dapat diberikan secara lokal (intravagina) atau sistemik (per oral, transdermal).[4,5]
Pilihan Sediaan Estrogen:
Estrogen intravagina efektif dalam mengatasi sindrom genitourinari. Estrogen intravagina dapat menurunkan kontraksi otot kandung kemih melalui peningkatan aliran darah di sekitar leher kandung kemih dan uretra sehingga dapat mengurangi urgensi kencing, frekuensi kencing, kandung kemih hiperaktif, dan inkontinensia urin.
Estrogen intravagina juga dapat memperbaiki pH vagina dan perubahan mikrobiologis yang terjadi di vagina akibat menopause, sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) berulang, sedangkan estrogen sistemik tidak efektif dalam mencegah ISK berulang. Estrogen intravagina juga dapat mengatasi gejala dispareunia.
Hingga saat ini, belum ada data klinis yang menjamin keamanan endometrium terkait penggunaan estrogen intravagina jangka panjang (>1 tahun), sehingga terapi estrogen intravagina dosis rendah hanya diberikan selama <1 tahun. Evaluasi endometrium diperlukan setelah penggunaan 1 tahun.[4,12]
Dosis Estrogen:
Estrogen dalam bentuk krim vagina diberikan dengan dosis awal 0,5 mg/hari. Penyesuaian dosis selanjutnya 0,5-2 gram/hari tergantung respon pasien, namun sebaiknya menggunakan dosis terendah yang efektif. Obat diberikan dengan siklus 3 minggu minum obat dan 1 minggu tidak minum obat.
Estrogen oral diberikan dengan dosis awal 0,3 mg sekali sehari. Obat dapat diberikan setiap hari, atau dengan siklus 3 minggu minum obat dan 1 minggu tidak minum obat. Alternatif lain adalah siklus 25 hari minum obat dan 5 hari tidak minum obat. Penyesuaian dosis didasarkan pada respon pasien, namun sebaiknya menggunakan dosis terendah yang efektif.[4,12]
Estrogen transdermal dapat digunakan pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular maupun diabetes karena tidak dimetabolisme di hati sehingga menghasilkan lebih sedikit stimulasi sintesis sex hormone binding globulin (SHBG). Dibandingkan estrogen oral, estrogen transdermal lebih memiliki efek samping terhadap penanda koagulasi dan inflamasi.
Estrogen transdermal terdapat dalam bentuk estradiol patch, gel, dan spray. Estradiol patch diberikan dengan dosis 0,025-1 mg/24 jam sekali atau 2 kali seminggu, ditempelkan pada abdomen bawah atau di atas gluteus. Estradiol gel diberikan dengan dosis 0,5-1,5 mg/hari dioleskan di paha kanan atau kiri. Estradiol spray diberikan dengan dosis 1,53 mg/kali disemprotkan 1 kali sehari, sebanyak 1-3 kali spray di lengan bawah.[4,13]
Progestogen
Progestogen adalah istilah mengacu pada progesteron dari ovarium dan substansi yang menyerupai progesteron. Beberapa jenis obat progestogen beserta dosisnya yaitu medroxyprogesterone acetate (MPA) 10 mg/hari, asetat megestrol oral 20 mg/hari, dan micronized progesterone 300 mg/hari.
Indikasi progestogen adalah amenore, terapi reproduktif, hiperplasia endometrium, dan perdarahan uterus disfungsional. Pada menopause, progesteron dapat mengurangi gejala seperti gangguan tidur dan mood yang tidak stabil, serta memiliki efek protektif terhadap jaringan payudara.[4,5]
Estrogen–Progestogen Therapy (EPT)
Pada wanita dengan uterus intak (tidak ada riwayat histerektomi), pemberian estrogen tanpa kombinasi progesteron meningkatkan risiko hiperplasia dan kanker endometrium, sehingga EPT dapat menjadi pilihan terapi. Progestogen pada EPT dapat menstabilkan lapisan endometrium dari proliferasi abnormal.
Dalam kombinasi EPT, progestogen diberikan per oral dengan dosis 200 mg sekali sehari selama 12 hari terakhir siklus terapi bersama estrogen (dimulai pada hari ke-15 sampai hari ke-26 siklus); atau diberikan 100 mg sekali sehari dari hari ke-1 hingga hari ke-25 siklus terapi bersama estrogen.[4,14]
Modulator Reseptor Estrogen Selektif (Selective Estrogen Receptor Modulators / SERM)
SERM digunakan sebagai alternatif jika estrogen/progesteron tidak dapat diberikan. SERM yang paling sering digunakan yaitu ospemifene dan bazedoxifene. Ospemifene dapat digunakan untuk mengatasi gejala urogenital dan dispareunia berat pada wanita yang tidak dapat diberikan terapi estrogen. Ospemifene diberikan dengan dosis 60 mg per oral sekali sehari.
Bazedoxifene, dapat menurunkan risiko kanker dan hiperplasia endometrium sebagai alternatif terhadap progesteron. Bazedoxifene sering digunakan sebagai terapi kombinasi bersama estrogen terkonjungasi (conjugated estrogens/bazedoxifene atau CE/BZA). CE/BZA disebut juga sebagai tissue-selective estrogen complex (TSEC).
Dibandingkan EPT, Terapi CE/BZA lebih meningkatkan toleransi obat dan menurunkan risiko kanker payudara, nyeri payudara, perdarahan vagina, dan hiperplasia uterus. CE/BZA dapat digunakan untuk mengatasi gejala vasomotor, sindrom genitourinari, gangguan tidur, dan mencegah osteoporosis. CE/BZA diberikan dengan dosis 20 mg/0,45 mg (1 tablet) per oral sekali sehari.[1,4,15,16]
Tibolone
Tibolone adalah steroid sintetik yang merupakan turunan dari 19-nortestosteron. Di dalam tubuh, tibolone akan diubah menjadi alfa-4-tibolone di hati dan lambung, yang memiliki karakteristik sebagai metabolit androgen, progestogen, dan estrogen (3α-, 3β-hidroksitibolone).
Tibolone memiliki efek meredakan gejala menopause dan mencegah pengeroposan tulang tanpa mengiritasi jaringan payudara ataupun endometrium karena selektivitasnya terhadap jaringan dengan adanya perubahan aktivasi enzim. Tibolone menurunkan secara selektif tingkat estrogen di jaringan payudara sehingga relatif aman bagi penderita kanker payudara.[4,6]
Studi menunjukkan bahwa tibolone efektif dalam meredakan gejala vasomotor, sindrom genitourinari, perubahan mood, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, fatigue, serta meningkatkan densitas tulang dan massa otot sehingga menurunkan risiko fraktur. Tibolone diberikan dengan dosis 2,5 mg sekali sehari, di mana efek signifikan tercapai dalam 4 minggu setelah terapi dan efek maksimal tercapai setelah 12 minggu terapi.[4,17]
Dehidroepiandrosteron (DHEA)
DHEA adalah steroid endogen inaktif yang akan diubah menjadi androgen atau estrogen aktif. DHEA dapat menjadi pilihan terapi untuk dispareunia sedang-berat. DHEA dapat memulihkan sel epitel vagina serta meningkatkan sekresi vagina sehingga mengurangi kekeringan vagina dan dispareunia, serta memperbaiki pH vagina.
DHEA diberikan secara intravagina (pessary) dengan dosis 6,5 mg sekali sehari. Evaluasi terapi perlu dilakukan setiap 6 bulan.[1,3,18]
Menopausal Hormone Therapy (MHT) dan Risiko Penyakit
Manfaat dan risiko MHT perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis, onset dan durasi terapi.[4,5]
MHT dan Risiko Kardiovaskular:
Pemberian MHT pada tahap postmenopause awal dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner karena umumnya belum terjadi aterosklerosis. Studi menunjukkan, MHT menurunkan insiden penyakit jantung koroner dan mortalitas secara keseluruhan pada wanita usia <60 tahun atau telah menopause <10 tahun tanpa riwayat penyakit kardiovaskular. Meski demikian, MHT tidak dapat diindikasikan sebagai terapi profilaksis primer atau sekunder penyakit jantung koroner.[3-5]
MHT dan Risiko Stroke:
Studi menunjukkan, pemberian MHT dalam 10 tahun periode menstruasi terakhir dan sebelum usia 60 tahun dapat menurunkan insiden stroke, emboli sistemik, dan transient ischemic attack (TIA). Sementara itu, pada wanita usia >60 tahun, MHT dapat meningkatkan risiko stroke iskemik. Terapi oral estrogen tanpa kombinasi maupun EPT dapat meningkatkan risiko relatif deep venous thromboembolism (DVT), stroke, dan emboli pulmo.[1,4,5]
MHT dan Risiko Tromboemboli Vena:
Estrogen transdermal dapat menjadi pilihan terapi pada wanita dengan riwayat atau faktor risiko tromboemboli vena, sedangkan estrogen oral sebaiknya dihindari karena estrogen oral meningkatkan aktivitas trombin, mengurangi aktivitas plasmin, dan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk menimbulkan trombus daripada estrogen transdermal.
Risiko tromboemboli vena meningkat pada usia >60 tahun dan pada wanita yang telah menopause >10 tahun di mana risiko paling tinggi terjadi pada 1-2 tahun pertama penggunaan MHT.[1,4,5]
MHT dan Risiko Kanker Payudara:
Studi menunjukkan, risiko kanker payudara meningkat pada penggunaan EPT selama rata-rata 5,6 tahun. Sementara itu, pada penggunaan estrogen oral atau transdermal selama 7,2-13,2 tahun, risiko kanker payudara menurun secara signifikan. Pada wanita dengan kanker payudara aktif, MHT tidak direkomendasikan.[1,4,5]
MHT dan Risiko Kanker Uterus:
Pada wanita dengan uterus intak, pemberian estrogen tanpa kombinasi dapat meningkatkan risiko kanker endometrium sehingga EPT lebih direkomendasikan. Pada wanita dengan kanker endometrium stadium III dan IV atau kanker endometrium berisiko tinggi, terapi non-hormonal dapat diberikan.[4,5]
MHT dan Risiko Kanker Kolorektal:
EPT dapat mengurangi risiko kanker kolorektal, tetapi bukan berarti MHT diindikasikan sebagai obat profilaksis kanker kolorektal pada menopause.[3,4]
MHT dan Risiko Kolelitiasis:
Estrogen meningkatkan risiko kolelitiasis karena mempercepat peningkatan sekresi dan saturasi kolesterol dalam kantung empedu, sehingga meningkatkan konsentrasi kolesterol dan menurunkan aktivitas kantung empedu. Faktor seperti penggunaan pil kontrasepsi oral kombinasi juga meningkatkan risiko batu kolesterol di kantung empedu. MHT non-oral dapat menjadi pilihan terapi pada wanita menopause dengan kolelitiasis.[4]
MHT Pada Masa Transisi Menopause
Tata laksana pada masa transisi menopause perlu mempertimbangkan frekuensi dan keparahan gejala, serta disesuaikan dengan faktor risiko setiap individu. Pemberian MHT pada masa transisi menopause dapat menurunkan risiko kehamilan yang tidak direncanakan dan mengatasi siklus menstruasi yang tidak teratur.
Pilihan terapi hormonal yang dapat diberikan antara lain terapi kombinasi levonorgestrel releasing-intrauterine system (LNG-IUS) dengan estrogen oral atau transdermal, combined oral contraceptives (COCs) dosis rendah, dan EPT.[2-4]
Terapi kombinasi LNG-IUS dengan estrogen oral/transdermal tidak hanya efektif mengatasi gejala tetapi juga mencegah hiperplasia endometrium. Meski demikian, efek jangka panjang estrogen oral/transdermal masih belum jelas.[4,19]
COCs dosis rendah dapat digunakan untuk mengontrol pendarahan yang tidak teratur dan mengurangi gejala hot flushes. Periode 7 hari bebas pil kontrasepsi dapat diperpendek mengingat gejala menopause dapat memburuk selama periode 7 hari tersebut. COCs aman digunakan pada wanita usia 40-55 tahun kecuali ada faktor risiko seperti obesitas, merokok, tekanan darah tinggi, dan penyakit kardiovaskular lainnya.[4,20]
Terapi Non-Hormonal
Terapi non-hormonal dapat menjadi pilihan alternatif jika tidak dapat diberikan MHT. Pilihan terapi non-hormonal antara lain paroxetine dan fezolinetant.[1,3]
Paroxetine
Paroxetine adalah obat golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). Paroxetine dapat menjadi pilihan alternatif pada wanita dengan gejala vasomotor yang tidak dapat diberikan MHT. Paroxetine diberikan per oral dengan dosis 7,5 mg sekali sehari.[1,3,21]
Fezolinetant
Fezolinetant adalah obat golongan antagonis reseptor neurokinin 3 (NK3). Fezolinetant dapat menjadi pilihan terapi untuk gejala vasomotor sedang-berat pada menopause. Obat ini bekerja dengan cara memblokade ikatan neurokinin B (NKB) pada neuron kisspeptin/neurokinin/dynorphin (KNDy) untuk memodulasi aktivitas neuron pada hipotalamus sehingga mereduksi frekuensi dan derajat keparahan gejala vasomotor.
Fezolinetant diberikan per oral dengan dosis 45 mg sekali sehari. Nyeri kepala adalah efek samping fezolinetant yang paling sering.[1,3]
Terapi Tambahan Lain
Lubrikan vagina dapat diberikan untuk mengatasi gejala vagina kering, mengurangi rasa tidak nyaman pada vagina, dan menjaga sekresi vagina selama berhubungan seksual tanpa mengubah lingkungan internal vagina. Lubrikan vagina diketahui memiliki efek yang mirip dengan krim estrogen intravagina sehingga dapat direkomendasikan pada wanita yang tidak dapat diberikan terapi hormonal.[3,4]
Terapi tambahan lain seperti fitoestrogen, vitamin E, asam lemak omega-3, dan obat herbal milk thistle diketahui dapat mengatasi gejala vasomotor pada menopause, namun studi mengenai penggunaan obat tambahan tersebut masih terbatas. Terapi hipnosis dan cognitive behavioral therapy (CBT) juga dapat mengurangi gejala vasomotor, namun belum banyak bukti mengenai efektivitas dan keamanannya.[1,4]
Pemilihan Terapi Berdasarkan Gejala
Pemilihan terapi hormonal yang tepat menjadi kunci dalam mengelola gejala menopause dengan efektif.[1,4]
Gejala Vasomotor
MHT adalah medikasi yang paling efektif untuk mengatasi gejala vasomotor, namun pemilihan jenis dan rute pemberian MHT perlu memperhatikan manfaat, risiko, dan kontraindikasinya masing-masing. Estrogen, progestogen, EPT, CE/BZA dapat menjadi pilihan terapi untuk mengatasi gejala vasomotor. Terapi non-hormonal seperti paroxetine dan fezolinetant dapat menjadi alternatif jika MHT tidak dapat diberikan.[4,6]
Atrofi Vulvovagina
Pada atrofi vulvovagina ringan, dapat diberikan lubrikan vagina, sedangkan pada atrofi vagina sedang-berat, estrogen sistemik dan krim intravagina direkomendasikan. Krim estrogen intravagina lebih direkomendasikan untuk wanita dengan risiko tinggi tromboemboli vena, lemak netral tinggi, kebiasaan merokok, hipertensi, dan obesitas dengan sindrom metabolik.
Selain estrogen, ospemifene dan DHEA juga dapat menjadi pilihan. Tata laksana atrofi vagina juga akan mengurangi gejala dispareunia.[4,6]
Disfungsi Seksual
Tibolon efektif untuk mengatasi disfungsi seksual, seperti penurunan hasrat seksual, gairah seksual, orgasme, dan frekuensi hubungan seksual. Terapi estrogen tanpa kombinasi dan EPT juga dapat diberikan namun tidak seefektif tibolon.
Injeksi testosteron dapat menjadi alternatif untuk mengatasi disfungsi seksual, namun perlu diperhatikan bahwa efek samping virilisasi akibat testosteron dapat terjadi, sehingga terapi sebaiknya diberikan dalam dosis terendah yang efektif.[4,6]
Sindrom Genitourinari
Sindrom genitourinari bersifat kronis dan memerlukan terapi jangka panjang karena gejala akan kambuh jika terapi dihentikan. Prinsip terapi pada sindrom genitourinari adalah mengurangi gejala dengan mengkondisikan lingkungan fisiologis organ-organ urogenital.
Estrogen intravagina lebih efektif untuk mengatasi sindrom genitourinari daripada estrogen sistemik. Pada wanita dengan riwayat inkontinensia urin, terapi estrogen sistemik dapat memperburuk gejala sehingga menurunkan kualitas hidup.[4,6]
Pada gejala kandung kemih hiperaktif, perubahan gaya hidup dan pelatihan kandung kemih direkomendasikan sebagai metode perawatan utama. Terapi kombinasi estrogen intravagina dengan obat antimuskarinik, dan estrogen topikal dapat diberikan bila perlu.[4,6]
Depresi
Terapi estrogen menunjukkan efek antidepresan pada wanita perimenopause, terutama jika muncul gejala vasomotor. Secara klinis, depresi diterapi dengan obat antidepresan, estrogen hanya diberikan sebagai terapi tambahan.[3,4]
Tata Laksana pada Osteoporosis
Pilihan terapi untuk mencegah osteoporosis antara lain bifosfonat, denosumab, SERM (raloxifene), kalsium, vitamin D, dan terapi estrogen (terapi lini kedua).[1,3]
Bifosfonat
Bifosfonat dapat menghambat aksi osteoklas dan resorpsi tulang, namun perlu diperhatikan adanya risiko penyakit adynamic bone pada pemberian dosis tinggi dan pemberian jangka Panjang, sehingga penggunaan bifosfonat perlu dihentikan secara periodik. Bifosfonat terbukti lebih efektif meningkatkan densitas tulang dibandingkan raloxifene.
Pilihan obat golongan bifosfonat yang dapat digunakan yaitu alendronic acid, ibandronic acid, risedronic acid, dan zoledronic acid. Alendronic acid diberikan per oral dengan dosis 5 mg sekali sehari atau 35 mg sekali seminggu. Ibandronic acid diberikan per oral dengan dosis 2,5 mg sekali sehari atau 150 mg sekali sebulan.
Risedronic acid diberikan per oral dengan dosis 5 mg sekali sehari, atau 35 mg sekali seminggu, atau 75 mg diminum 2 hari berturutan dalam 1 bulan. Zoledronic acid diberikan secara intravena dengan dosis 5 mg sekali setiap 2 tahun. Dosis mingguan atau bulanan atau tahunan dapat dipilih untuk meningkatkan toleransi dan menurunkan efek samping obat.[1,3,22-25]
Denosumab
Denosumab adalah antibodi monoklonal terhadap receptor activator of the nuclear factor kappa-B ligand (RANKL). Denosumab bekerja dengan menghambat aktivitas osteoklas sehingga resorpsi tulang berkurang dan densitas tulang meningkat. Denosumab diberikan secara injeksi subkutan dengan dosis 60 mg setiap 6 bulan.[1,26]
Raloxifene
Raloxifene adalah golongan SERM yang bekerja langsung pada reseptor estrogen di tulang untuk menurunkan resorpsi. Raloxifene diberikan per oral dengan dosis 60 mg sekali sehari.[1,27]
Kalsium dan Vitamin D
Suplemen kalsium dan vitamin D dapat meningkatkan kadar 25-hydroxyvitamin D3 (25OHD3) serum dan memperbaiki profil lipid pada postmenopause. Suplementasi kalsium 1000-1500 mg/hari per oral dapat diberikan bersama vitamin D 800-1000 IU/hari per oral.[3,28]
Estrogen
Estrogen merupakan terapi lini kedua jika terapi lain tidak memungkinkan untuk diberikan. Estrogen memiliki efek protektif pada tulang sehingga dapat mencegah pengeroposan tulang akibat menopause serta mengurangi risiko fraktur.
Estrogen efektif jika diberikan pada usia <60 tahun atau telah menopause <10 tahun. Efek protektif estrogen terhadap tulang dapat menghilang jika obat dihentikan.[3,4]
Follow up
Hingga saat ini belum ada pedoman mengenai waktu pasti untuk follow up pasien. Follow up dapat dilakukan 3 bulan setelah terapi dimulai atau lebih cepat jika gejala menetap atau muncul efek samping yang signifikan. Saat follow up, perlu dinilai kepatuhan minum obat, respon terapi, efek samping (terutama perdarahan), dan penyesuaian dosis terapi jika perlu.[3,28]
Jika gejala kambuh setelah MHT dihentikan, terapi non-hormonal dapat diberikan. Jika gejala menetap dengan terapi non-hormonal, maka MHT dapat diberikan kembali pada dosis terendah yang efektif atau pertimbangkan rute transdermal dengan evaluasi periodik.[1,3,28]
Penulisan pertama oleh: dr. Jessica Elizabeth