Diagnosis Hipermetropia
Diagnosis hipermetropia perlu dicurigai pada pasien yang mengeluhkan penurunan tajam penglihatan saat melihat dekat. Pada pemeriksaan mata dapat ditemukan penurunan visus. Pemeriksaan cahaya, funduskopi, dan pemeriksaan strabismus mungkin diperlukan dalam proses diagnostik. Pemeriksaan penunjang yang mungkin diperlukan adalah retinoskopi.[2]
Anamnesis
Anamnesis pada hipermetropia disesuaikan dengan usia dari penderita saat mengalami kondisi ini. Karena usia sangat menentukan bagaimana seseorang dapat mengekspresikan keluhan yang dialaminya serta usaha akomodasi dari pasien. Keluhan yang dialami oleh pasien bervariasi dimulai dari tidak bergejala hingga bergejala.[1,2]
Deviasi Bola Mata
Deviasi bola mata biasanya pertama kali diketahui oleh orang tua pasien, terutama pada anak-anak. Deviasi yang paling sering adalah esotropia. Deviasi bola mata atau mata juling disebabkan oleh akomodasi berkepanjangan pada kondisi hipermetropia, biasanya tanpa disertai diplopia. Pada anak-anak pra-sekolah, apabila kondisi ini dibiarkan dapat menyebabkan amblyopia.[1,2]
Astenopia
Astenopia ditandai oleh mata lelah disertai dengan nyeri kepala bagian frontal atau frontotemporal, fotofobia, dan mata berair. Kondisi ini biasa dialami saat penggunaan atau paparan gawai terlalu lama pada mata.[1,2]
Penurunan Tajam Penglihatan
Pada anak yang lebih tua, pasien bisa mengeluhkan penglihatan buram. Kondisi ini dirasakan pada saat melihat benda pada jarak dekat.[1,2]
Gangguan Mata Berulang
Hordeolum atau konjungtivitis berulang bisa terjadi pada pasien hipermetropia. Hal ini biasanya disebabkan oleh kebiasaan menggosok-gosok mata menggunakan tangan yang tidak bersih.[1,2]
Presbiopia Prematur
Pasien dengan hipermetropia bisa mengalami presbiopia prematur. Seiring dengan bertambahnya usia, pasien akan mengalami penurunan kemampuan melihat dalam jarak dekat yang bermakna. Presbiopia muncul lebih awal, sebelum usia 40 tahun, pada pasien dengan hipermetropia. Gangguan akomodasi juga akan semakin progresif dan menyebabkan hendaya bermakna bagi pasien.[1,2]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada pasien yang mengalami hipermetropia adalah pemeriksaan mata, terutama tajam penglihatan.
Pemeriksaan Visus
Pemeriksaan visus atau tajam penglihatan merupakan salah satu pemeriksaan rutin pada mata. Pemeriksaan dilakukan menggunakan bantuan Snellen Chart atau Random E Test Chart pada pasien yang buta huruf, dan Simplified Testing untuk anak-anak. Mula-mula pasien diminta membaca Snellen chart dari jarak 6 meter (visus normal 6/6), kemudian dilakukan pemeriksaan penglihatan dalam jarak dekat 30 cm.
Pada hipermetropia pasien mengalami kesulitan dalam melihat dalam jarak dekat. Pada anak-anak sering kali pemeriksaan visus jarak dekat memberikan hasil normal. Hal ini dikarenakan upaya akomodasi mata pada anak-anak masih kuat untuk melihat benda dengan jelas, serta kondisi penyulit seperti katarak dan penyakit retina jarang terjadi pada anak-anak.[8]
Pemeriksaan Cahaya
Pada pemeriksaan cahaya dapat ditemukan bola mata dan kornea tampak lebih kecil, terutama pada kasus hipermetropia tinggi. Terkadang kasus ini dapat memicu terjadinya enophthalmos.[2]
Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi pada hipermetropia dapat ditemukan kondisi cup pada optic disc tampak kecil, tampak lipatan koroidal, dan peningkatan refleks dari retina. Batas dari diskus menjadi kabur karena pembuluh darah yang overcrowding, dan terkadang disebut sebagai kondisi pseudopapilitis atau pseudo-papiledema.[2]
Pemeriksaan Strabismus
Pada anak-anak yang mengalami hipermetropia berkepanjangan dan tidak terkoreksi dapat menyebabkan strabismus, namun pergerakan bola mata atau ekstraokular dalam batas normal. Pemeriksaan strabismus yakni melalui tes refleks kornea Hirschberg. Tes ini dapat membantu pemeriksa dalam mengetahui derajat deviasi. Setiap perpindahan 1 mm refleks cahaya dari posisi yang tepat, diperkirakan setara dengan 7 derajat pada bola bulat dan sama dengan deviasi 15 dioptri prisma.[2,9]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari hipermetropia yakni tumor orbital, retinopati, dan katarak.
Retinopati
Pada retinopati, pasien juga akan mengeluhkan penurunan tajam penglihatan seperti pada hipermetropia. Meski demikian, pasien dengan retinopati umumnya memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi ataupun diabetes mellitus. Berbeda dengan pasien hipermetropia, gambaran funduskopi pada retinopati akan menunjukkan kelainan pada retina sesuai penyakit dasar yang menyebabkan retinopati.[10]
Tumor Orbital
Tumor orbital cukup jarang terjadi dan biasanya risikonya meningkat pada pasien yang berusia 60 tahun ke atas. Jenis tumor orbital yang paling sering ditemui yakni hemangioma kavernosa, meningioma pada optic nerve sheath dan sphenoid wings.
Keluhan yang muncul pada seseorang yang mengalami tumor orbital cukup bervariasi yakni seperti proptosis, keterbatasan pergerakan otot ekstraokular pada mata, kemosis restriktif atau paralitik, keratopati, dan neuropati optikus. Selain itu, pasien dapat mengalami nyeri periokular, kebutaan, diplopia, sensasi berdenyut pada mata, iritasi dan massa yang tampak.
Pada pemeriksaan visus dapat ditemukan hyperopic shift yang asimetris. Meskipun gejala bervariasi, namun penegakkan diagnosis dapat dengan mudah melalui pemeriksaan penunjang seperti CT Scan atau MRI.[11]
Katarak
Katarak merupakan suatu kondisi dimana kapsul pada lensa mata mengalami opasifikasi atau berawan, sehingga mengaburkan lintasan cahaya yang masuk melalui lensa ke retina mata. Gejala yang dialami biasanya pandangan kabur, diplopia, colored halos di sekitar cahaya, dan fotofobia. Berbeda dengan hipermetropia, pada pemeriksaan mata pasien katarak akan didapatkan opasifikasi lensa.[12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada hipermetropia yakni adalah retinoskopi. Retinoskopi merupakan suatu pemeriksaan menggunakan alat yang bernama retinoskop yang akan memproyeksi cahaya ke mata. Saat cahaya digerakkan secara vertikal dan horizontal pada mata, pemeriksa akan melakukan observasi pada pergerakan cahaya yang terpantul dari belakang mata, refleks ini disebut sebagai red reflex.
Pemeriksa kemudian menempatkan lensa di depan mata dan ketika kekuatan lensa berubah, terdapat perubahan arah dan pola pantulan yang sesuai. Pemeriksa terus mengganti lensa hingga mencapai kekuatan lensa yang menunjukkan kelainan refraksi pada pasien. Oleh sebab itu, pemeriksaan retinoskopi bisa dipakai untuk menentukan seberapa besar hipermetropia yang dialami pasien dengan cepat, terutama pada anak atau pasien yang tirah baring.[2,13]
Hipermetropia terbagi menjadi 3 derajat yakni.
- Hipermetropia ringan yaitu antara spheris +0.25 Dioptri sampai dengan Spheris +3.00 Dioptri
- Hipermetropia sedang yaitu antara spheris +3.25 Dioptri sampai dengan Spheris +6.00 Dioptri
- Hipermetropia tinggi yaitu jika ukuran dioptri lebih dari spheris +6.25 Dioptri[2]