Epidemiologi Hipermetropia
Data epidemiologi oleh WHO menunjukkan bahwa gangguan refraksi seperti hipermetropia yang tidak terkoreksi adalah penyebab gangguan penglihatan derajat sedang hingga berat signifikan. Gangguan refraksi, termasuk hipermetropia, merupakan penyebab kebutaan kedua terbanyak yang dapat dicegah.[5,6]
Global
Berdasarkan WHO, gangguan refraksi termasuk hipermetropia yang tidak terkoreksi adalah penyebab gangguan penglihatan derajat sedang hingga berat di seluruh dunia dan merupakan penyebab kebutaan kedua terbanyak yang dapat dicegah.[5,6]
Tinjauan sistematik mengenai gangguan refraksi mengungkapkan bahwa prevalensi hipermetropia adalah 4%. Hipermetropia aksial merupakan jenis yang paling umum ditemukan dan biasanya muncul sejak lahir.
Prevalensi hipermetropia sedang, yaitu +2 dioptri ke atas, pada usia 6 dan 12 tahun masing-masing adalah 13,2% dan 5%. Prevalensi hipermetropia +4 dioptri ke atas adalah 3,2% pada mata yang buruk, dengan kedua mata terlibat dalam 64,4% kasus. Pada kelompok usia 15 tahun atau kurang dan kelompok usia ≥30 tahun, prevalensi hipermetropia lebih tinggi pada wanita.[2]
Indonesia
Data epidemiologi mengenai hipermetropia di Indonesia masih sangat sulit ditemukan. Berdasarkan data yang didapatkan dari Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) tahun 2018, sebanyak 0,75 % dari kasus kebutaan disebabkan oleh gangguan refraksi. Secara keseluruhan, Indonesia masuk dalam 1 dari 5 negara yang memiliki jumlah penduduk dengan gangguan penglihatan terbanyak.[7]
Mortalitas
Hipermetropia biasanya tidak berkaitan langsung dengan kematian. Walaupun begitu, gangguan refraksi seperti hipermetropia merupakan penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan fungsional. Hipermetropia dapat menurunkan kualitas hidup pasien sebagai efek dari hendaya fungsional, psikosomatik, kosmetik, dan menyebabkan beban ekonomi.[1-6]