Patofisiologi Trachoma
Patofisiologi trachoma diawali invasi Chlamydia trachomatis serovar A, B, Ba, dan C pada lapisan epitel mukosa konjungtiva. Invasi intraseluler C. trachomatis pada konjungtiva menyebabkan inflamasi yang berperan sebagai jalur patofisiologi utama trachoma sampai terjadi komplikasi.
Pada tahap awal, respon inflamasi didominasi oleh infiltrasi leukosit polimorfonuklear, maktofag, sel plasma, sel B dan T. Reaksi ini akan membentuk pusat germinal dan tampak secara klinis sebagai folikel, serta membentuk infiltrat dengan gambaran papil. Pada kondisi yang lebih berat, papil mengalami hipertrofi dan menyumbat vasa profunda pars tarsalis dengan tampakan klinis pannus pada regio superior kornea.[9,10]
Proses peradangan yang progresif dan rekuren dapat berlanjut. Proses ini dapat membentuk jaringan nekrosis pada bagian yang membentuk papil sebelumnya. Jaringan nekrosis kemudian menjadi skar pada konjungtiva disertai dengan atrofi epitel konjungtiva dan berkurangnya sel goblet. Stroma vaskular subepitel juga digantikan dengan kolagen tipe IV dan V yang tampak sebagai depresi berupa Herbert's pit.
Inflamasi konjungtiva pada patofisiologi trachoma bersifat persisten sampai dengan beberapa minggu. Pada anak usia 4–15 tahun, lama bebas infeksi bervariasi antara 3–8 minggu, tetapi gejala klinis yang muncul karena reaksi inflamasi dapat bervariasi antara 6–18 minggu. Pada orang dewasa, durasi perjalanan penyakit biasanya lebih cepat.[9,10,15]
Bila tidak mendapat terapi adekuat, akan terjadi kontraksi pars tarsalis karena skar pada kelopak mata atas yang memicu komplikasi berupa entropion dan trikiasis. Pada keadaan ini, operasi mulai diperlukan karena berisiko membentuk skar pada kornea dan menyebabkan gangguan penglihatan karena kekeruhan kornea. Kekeruhan kornea yang tidak diterapi, misalnya dengan keratoplasti, akan menyebabkan gangguan visual sampai dengan kebutaan.[9,10,15]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli