Penatalaksanaan Fraktur Pelvis
Penatalaksanaan fraktur pelvis atau fraktur tulang panggul terbagi menjadi penatalaksanaan awal, yaitu resusitasi cairan, tindakan non operatif, seperti traksi tulang, dan tindakan operatif, berupa fiksasi eksternal dan internal.[1,2,4,7]
Tujuan dari penatalaksanaan fraktur pelvis adalah mengontrol perdarahan, stabilisasi status hemodinamik, pemulihan integritas mekanik dan stabilisasi cincin pelvis, mencegah komplikasi yang dapat terjadi, serta stabilisasi pelvis secara definitif.[1,2,4,7]
Algoritma Tata Laksana dari World Society of Emergency Surgery
Algoritma dari World Society of Emergency Surgery (WSES) dapat menjadi pedoman dalam penatalaksanaan fraktur pelvis. Ketika pasien suspek trauma pelvis datang ke unit gawat darurat (UGD), lakukan stabilisasi awal sesuai dengan prinsip advanced trauma life support (ATLS). Selain itu, lakukan pemasangan pelvic binder, dan pemeriksaan extended focused assessment with sonography for trauma (E-FAST).[1,7,26]
Pada pasien dengan keadaan hemodinamik stabil, lakukan CT scan. Jika hasil CT scan sesuai dengan kategori minor/WSES grade 1, mungkin tidak dibutuhkan tata laksana operatif.[7,26]
Sedangkan, bila hasil CT scan menunjukan gambaran fraktur tidak stabil atau kategori sedang/WSES grade 2 dan 3, perlu dilakukan stabilisasi mekanik sementara. Jika CT scan tidak menunjukkan ekstravasasi kontras/blush, selanjutnya dapat dilakukan stabilisasi mekanik definitif. Apabila ditemukan blush maka pertimbangkan angioembolisasi untuk mengontrol perdarahan.[7,26]
Pada pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil, yang termasuk kategori berat/WSES grade 4, pertimbangkan massive transfusion protocol (MTP). Kemudian, lakukan preperitoneal pelvic packing (PPP), dan pertimbangkan stabilisasi mekanik sementara, Resuscitative Endovascular Balloon Occlusion of the Aorta (REBOA), atau angioembolisasi.
Jika didapatkan hasil e-FAST positif atau ditemukan tanda-tanda peritonitis, mungkin diperlukan tindakan laparotomi. Jika dibutuhkan laparotomi, pastikan dilakukan setelah terpasang pelvic binder dan mengontrol perdarahan dengan preperitoneal pelvic packing (PPP).[7,26]
Penatalaksanaan Awal
Penatalaksanaan awal pasien fraktur pelvis adalah stabilisasi keadaan umum pasien sesuai dengan prinsip ATLS. Evaluasi dan intervensi harus diprioritaskan secara spesifik dan teratur pada pasien dengan fraktur pelvis. Evaluasi meliputi 5 hal, antara lain:
-
Airway, yaitu tindakan membebaskan jalan napas didukung dengan proteksi terhadap c-spine
Breathing and ventilation, yaitu pemberian oksigenasi dan ventilasi bila dibutuhkan
Circulation, yaitu memperbaiki sirkulasi dengan pemberian cairan dan elektrolit
Disability, yaitu penilaian tingkat kesadaran dengan Glasgow coma scale (GCS) dan identifikasi tanda lateralisasi
Exposure and environmental, yaitu melepaskan seluruh pakaian pasien dan kontrol suhu dengan menggunakan selimut hangat atau external warming device pada pasien [1,7,8,17]
Pemberian Cairan dan Transfusi Darah
Resusitasi cairan diperlukan pada pasien fraktur pelvis dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat perdarahan pada pelvis. Pemberian resusitasi cairan dilakukan hingga tercapai target tekanan darah sistolik 80–90 mmHg dan pemantauan urine output 0,5 ml/kgBB/jam pada pasien dewasa. Pemasangan kateter urin pada pasien fraktur pelvis sebaiknya dilakukan apabila kemungkinan cedera uretra telah disingkirkan.[1,4,7,8]
Pemberian transfusi darah dipertimbangkan berdasarkan respon pasien terhadap resusitasi cairan. Pasien yang berespon minimal atau tidak berespon terhadap resusitasi cairan mungkin membutuhkan massive transfusion protocol (MTP) dengan memberikan red blood cell (RBC), plasma, dan trombosit dengan perbandingan 1:1:1.[1,2,7]
Stabilisasi Fraktur
Stabilisasi fraktur sementara harus segera dilakukan pada penatalaksanaan awal di unit gawat darurat (UGD), jika belum dilakukan pada penanganan pre-hospital. Lakukan pemasangan stabilisasi pelvis pada pasien dengan sheet wrapping atau pelvic binder eksternal. Pelvic binder dinilai lebih bermanfaat daripada sheet wrapping.[1,7,8,26,37]
Pemakaian pelvic binder diindikasikan pada kecurigaan trauma pelvis dengan hemodinamik stabil maupun tidak stabil. Pelvic binder memberi tekanan untuk menurunkan volume perdarahan pada pelvis, sehingga memberikan efek tamponade. Pastikan untuk menempatkan pelvic binder pada trochanter mayor sehingga memberikan kompresi yang memadai.[7–9,17]
Pelvic binder maupun sheet wrapping dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan internal pada cedera tipe anteroposterior compression (APC). Namun, sebaiknya tidak digunakan untuk cedera lateral compression (LC) yang disertai rotasi internal.[16]
Penggunaan pelvic binder bersifat sementara, sampai tata laksana definitif dilakukan. Pemasangan pelvic binder tidak boleh melebihi 24–48 jam untuk mencegah terjadinya nekrosis. Pelvic binder tidak boleh digunakan pada fraktur pelvis lateral, karena dapat meningkatkan perdarahan.[7–9,17]
Pada wanita hamil, pemasangan pelvic binder dapat dilakukan dengan memposisikan kaki dalam rotasi internal. Sedangkan pada pasien obesitas, memposisikan ekstremitas bawah pada posisi rotasi internal dan mengikat/taping kedua lutut mungkin lebih bermanfaat untuk stabilisasi dibanding penggunaan pelvic binder.[1,4,7,8,26,37]
Manajemen Nyeri dan Medikamentosa
Penatalaksanaan nyeri akut pada fraktur pelvis adalah dengan pemberian analgesik narkotik, seperti morfin. Manajemen nyeri yang baik membantu pasien untuk tenang dan mencegah pergerakan pelvis. Pada tata laksana awal, hindari pemberian obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), seperti aspirin, karena meningkatkan risiko perdarahan.[8,17]
Pada kecurigaan fraktur pelvis terbuka, antibiotik empiris harus diberikan dalam waktu 6 jam sebagai pencegahan osteomielitis. Pemberian antibiotik yang disarankan adalah antibiotik gram positif, seperti cefazolin. Apabila terdapat kecurigaan perforasi usus, maka bisa diberikan antibiotik broad-spectrum yang efektif terhadap bakteri gram negatif dan patogen anaerobik, misalnya metronidazole.[1,7,8,17,19]
Pasien dengan fraktur pelvis open book juga harus menerima profilaksis terhadap tetanus. Pemberian obat golongan antifibrinolitik, seperti asam traneksamat intravena, idealnya diberikan dalam waktu satu jam setelah cedera. Pemberian asam traneksamat bertujuan untuk mencegah kehilangan volume darah yang berlebihan dan menurunkan kebutuhan transfusi.[1,7,8,17,19,34]
Penatalaksanaan Non-operatif
Terapi non-operatif yang dapat dilakukan pada fraktur pelvis adalah traksi pelvis. Traksi pelvis dapat membantu mengontrol nyeri yang dirasakan pasien. Beban yang digunakan adalah seberat 5–15 kg.[1,35-37]
Traksi Pelvis
Tindakan traksi pelvis preoperatif dilakukan untuk mencegah terjadinya translasi pelvis dan mengurangi rasa nyeri akibat kontraksi otot. Pemasangan pelvic sling traction dapat dipertimbangkan pada pasien dengan fraktur pelvis tipe vertical shear yang belum dapat menjalani operasi definitif dini.[1,35–37]
Traksi skeletal pelvis sebaiknya dilakukan pada femur distal ipsilateral, bila tidak ada kontraindikasi. Beban yang digunakan untuk traksi adalah 5–15 kg, untuk mencapai stabilitas sementara.[1,35–37]
Penatalaksanaan Operatif
Penatalaksanaan operatif pada fraktur pelvis adalah rekonstruksi cincin panggul (pelvic ring) yang harus dilakukan dalam waktu 72 jam setelah keadaan umum pasien stabil secara fisiologis. Operasi rekonstruksi pada pelvis meliputi reduksi fraktur dan fiksasi pelvis.[1,7]
Reduksi fraktur dapat dilakukan secara perkutan (percutaneously) atau melalui pendekatan open surgery (operasi terbuka) sesuai dengan jenis fraktur dan klinisnya.[1]
Tipe cedera yang menjadi indikasi penatalaksanaan operatif adalah fraktur tidak stabil tipe APC 2 dan 3, LC 2 dan 3, serta vertical shear (VS), dan combined mechanism (CM). Setelah reduksi dilakukan, fraktur pelvis segera difiksasi untuk meningkatkan stabilitas dan penyatuan/union.[1,30]
Fiksasi Eksternal
Fiksasi eksternal merupakan metode penatalaksanaan fraktur tulang dengan memasukkan pin ke dalam jaringan kulit, jaringan lunak dan tulang yang dihubungkan dengan rigid external frame. Fiksasi eksternal biasanya digunakan sebagai tindakan sementara sebelum operasi definitif dilakukan. Fiksasi eksternal terbagi menjadi anterior dan posterior.[1,4,8,17,26]
Fiksasi eksternal anterior cocok digunakan pada tipe cedera APC dan lateral LC, dan terutama dapat berfungsi dengan baik jika ligamen posterior utuh. Fiksasi eksternal anterior dilakukan dengan memasukkan pin ke dalam krista iliaka, atau regio supra acetabular, atau terkadang pada area subkristal.[4,26]
Pada tipe cedera vertical shear (VS), dibutuhkan fiksasi eksternal posterior, yang biasa dilakukan dengan C-clamp. Namun, prosedur ini jarang dilakukan, karena biasanya pasien fraktur VS yang keadaan hemodinamiknya tidak stabil, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pemasangan C-clamp.[4,26]
Pada pasien yang mendapat tindakan preperitoneal pelvic packing, fiksasi eksternal perlu dilakukan untuk memberikan tekanan lawan/counter pressure, agar pelvic packing berfungsi dengan baik. Fiksasi eksternal dapat membantu stabilisasi fraktur, bersifat sebagai tamponade pada hematoma, dan mengurangi perdarahan. [4,8,26]
Fiksasi Internal
Fiksasi internal dapat dilakukan berdasarkan pada lokasi cedera, yaitu bagian anterior, atau posterior, maupun keduanya. Tujuan utama fiksasi internal pada trauma pelvis tidak stabil adalah untuk pemulihan fungsi yang lebih cepat, menurunkan angka kesakitan jangka panjang, nyeri kronis, dan komplikasi yang berhubungan dengan imobilisasi.[1,7]
Open reduction and internal fixation (ORIF) dapat digunakan untuk fraktur dengan pelebaran simfisis pubis lebih dari 2,5 cm dan terjadi dislokasi luas pada sendi sakroiliaka.[2]
Fiksasi internal dapat dilakukan melalui intrapelvis anterior, atau pendekatan Stoppa termodifikasi, dengan insisi Pfannenstiel untuk menempatkan multi-hole plate melewati simfisis pubis. Prosedur ini juga membantu ahli urologi mengatasi cedera kandung kemih yang dapat terjadi secara bersamaan.[1,26]
Selain itu, fiksasi internal anterior dapat dilakukan secara perkutan menggunakan internal pelvic fixator (INFIX). Prosedur menggunakan INFIX melibatkan tongkat besi/metal rod yang dimasukkan melalui subkutan, dan dihubungkan dengan 2 buah pedicle screw pada regio supra acetabular.[1,26]
Preperitoneal Pelvic Packing
Preperitoneal pelvic packing merupakan prosedur pembedahan di mana laparotomy sponges ditempatkan ke dalam ruang preperitoneal untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi volume dari ruang retroperitoneal. Preperitoneal pelvic packing dikerjakan setelah dilakukan stabilisasi mekanik pada pelvis.[1,4,26,38]
Prosedur preperitoneal pelvic packing dapat menghentikan perdarahan yang berasal dari vena dengan lebih cepat dan menstabilkan kondisi pasien fraktur pelvis dengan ketidakstabilan hemodinamik. Tindakan ini juga berguna untuk mengevaluasi kebutuhan pasien terhadap angioembolisasi.[1,4,26,38]
Resuscitative Endovascular Balloon Occlusion of the Aorta
Resuscitative Endovascular Balloon Occlusion of the Aorta (REBOA) merupakan tindakan sementara untuk mengontrol perdarahan. Tindakan REBOA dilakukan sebelum operasi terbuka atau embolisasi yang akan mengontrol perdarahan secara definitif. Akses pembuluh darah untuk REBOA adalah melalui arteri femoralis, menggunakan kateter balon untuk oklusi aorta dan menghentikan perdarahan.[13]
Angioembolisasi
Angioembolisasi dilakukan pada pasien dengan perdarahan yang berkelanjutan meskipun sudah dilakukan resusitasi yang adekuat dan stabilisasi cincin pelvis sementara. Angioembolisasi berguna untuk mengontrol perdarahan retroperitoneal yang berasal dari arteri.[4,7,8]
Pemeriksaan CT scan yang menunjukkan adanya ekstravasasi kontras pada pelvis/blush dan ditemukannya hematoma pelvis merupakan indikasi diperlukannya angioembolisasi. Selain itu pada pasien lanjut usia, pertimbangkan angioembolisasi atau angiografi pelvis, tanpa memandang status hemodinamik.[4,7]
Follow Up
Sebanyak 64% pasien fraktur pelvis mengeluhkan nyeri panggul kronis pasca trauma, bahkan hingga 52 bulan setelah cedera. Pasien-pasien tersebut cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum, termasuk penurunan fungsi fisik jangka panjang, kesulitan melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan gangguan psikologis.[1]
Pasien diharapkan dapat mengerahkan seluruh berat badan ke area fraktur/full weight bearing dalam 3 bulan post operatif. Setelah keluar dari rumah sakit, lakukan pemantauan 2 minggu post operatif untuk memeriksa luka. Kemudian, lakukan pemantauan 6 minggu post operatif untuk pemeriksaan klinis dan radiologi. Selanjutnya, kunjungan post operatif dapat dilakukan pada bulan ke-3, 6, dan 12.[17]
Program Rehabilitasi
Tujuan utama dari program rehabilitasi pada fraktur pelvis adalah meningkatkan penyembuhan, meminimalisasi disabilitas dan komplikasi, serta mengembalikan fungsi awal pasien seperti sebelum trauma.[1,17,39,40]
Program rehabilitasi pada pasien dengan fraktur pelvis difokuskan untuk memperkuat otot (progressive resistance training), mengembalikan pergerakan dan postur tubuh. Selain itu aktivitas fisik, seperti latihan keseimbangan dan berjalan di treadmill, dapat berfungsi untuk mencegah penurunan fungsi fisik dan mengurangi nyeri panggul.[39,40]