Epidemiologi Anthrax
Secara epidemiologi, penyakit anthrax telah tersebar di seluruh dunia terutama di daerah agrikultural seperti Amerika Tengah, Amerika Selatan, sub-sahara Afrika, Asia Tengah, serta Kepulauan Karibia.[2]
Global
WHO memperkirakan insidensi global anthrax pada manusia berkisar antara 2.000-20.000 kasus per tahun. Anthrax terutama terjadi di daerah pertanian beriklim tropis dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah. Wabah sporadik anthrax sering disebabkan oleh kegiatan pertanian, industri, dan perang militer.
Sejak ditemukannya Bacillus anthracis sebagai etiologi anthrax, mulai digencarkan program vaksinasi hewan ternak sebagai sumber penularan utama pada manusia. Dengan adanya program vaksinasi hewan, kasus anthrax berhasil menurun hingga 2.000 kasus secara global pada akhir abad ke-20, dengan laporan kasus paling banyak terjadi di negara berkembang.
Anthrax banyak terjadi di daerah atau negara yang tidak melakukan program vaksinasi hewan ternak, namun Afrika dan Asia masih termasuk daerah endemi anthrax walaupun telah berjalan program vaksinasi.[2,4]
Indonesia
Data epidemiologi pasti anthrax di Indonesia belum jelas. Anthrax pernah dilaporkan di banyak wilayah di Indonesia, termasuk Lampung, Buleleng, Palembang, Banten, Padang, dan Kalimantan Barat. Sebagian besar kasus yang dilaporkan merupakan anthrax kulit (97%). Kasus anthrax banyak terjadi pada laki-laki dan pada usia lebih dari 15 tahun.
Menurut Direktorat Jenderal Produksi Peternakan Kementerian Pertanian Indonesia, saat ini terdapat 14 provinsi endemi anthrax di Indonesia, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.[6]
Mortalitas
Kematian akibat anthrax pada manusia umumnya disebabkan karena tidak terdiagnosis atau pengobatan yang tidak tepat. Angka mortalitas anthrax bervariasi tergantung jenis anthrax, onset terapi, dan progresi penyakit atau terjadinya komplikasi.
Tanpa terapi mortalitas anthrax kulit sebesar 20%, sedangkan dengan terapi yang tepat, mortalitas anthrax kulit hanya <1%. Tanpa terapi mortalitas anthrax gastrointestinal mencapai >50%, sedangkan dengan terapi yang tepat mortalitas anthrax gastrointestinal sebesar 40%. Tanpa pengobatan, anthrax inhalasi hampir selalu fatal, terutama jika disertai infeksi sistemik seperti septikemia dan meningitis. Dengan penanganan agresif, mortalitas anthrax inhalasi sebesar 50%.[1,2,4]
Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra