Diagnosis COVID-19 (Coronavirus Disease 2019)
Diagnosis COVID-19 (coronavirus disease 2019) diawali dengan anamnesis risiko terpapar virus SARS-CoV-2, misalnya bepergian ke atau tinggal di daerah endemik, atau kontak dengan pasien terkonfirmasi. Gejala dan tanda COVID-19 terdiri dari asimtomatik, ringan, sedang, dan berat. Pemeriksaan baku emas COVID-19 adalah tes RT-PCR (real time polymerase chain reaction) dari sampel swab nasofaring dan orofaring.[1,6,8]
Anamnesis
Gejala pasien COVID-19 umumnya timbul setelah masa inkubasi 2–14 hari. Demam, lemas, dan batuk kering merupakan gejala COVID-19 yang paling sering ditemukan. Selain itu, beberapa pasien juga mengalami nyeri tenggorokan, mialgia, dispnea, batuk berdahak, dan gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare.[3,11]
Namun, pada beberapa pasien bisa saja asimptomatik. Beberapa kasus menunjukkan gejala berat, seperti pneumonia dan acute respiratory syndrome distress (ARDS).[3,11]
Anamnesis Kasus Suspek
Pasien dengan keluhan di atas, dapat dikategorikan kasus suspek COVID-19 apabila dalam 14 hari sebelum timbul gejala terdapat salah satu riwayat berikut:
- Riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri atau di area transmisi lokal di Indonesia yang melaporkan transmisi lokal. Namun, saat ini dampak COVID-19 telah mencapai seluruh wilayah, sehingga riwayat perjalanan tidak lagi menjadi patokan untuk menegakkan diagnosis
- Riwayat tinggal atau bekerja di tempat berisiko tinggi penularan, termasuk bekerja di fasilitas kesehatan, baik melakukan pelayanan medis dan non-medis, petugas melaksanakan kegiatan investigasi, maupun pemantauan kasus dan kontak
- Riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau probable COVID-19[6,21]
Selain itu, pasien juga dapat dikategorikan kasus suspek COVID-19 apabila memiliki gejala infeksi saluran pernapasan akut berat yang tidak lebih dari 10 hari onset, dan membutuhkan perawatan rumah sakit. Dan pasien dengan anosmia atau ageusia dengan tanpa penyebab lain yang dapat diidentifikasi.[6,21]
Anamnesis Riwayat Terdahulu
Riwayat medis terdahulu dan pengobatan pasien juga perlu dievaluasi untuk mengetahui progresivitas dan prognosis. Beberapa riwayat pasien yang dapat memperburuk luaran adalah:
- Usia >50 tahun, obesitas
- Demam tinggi ≥39°C
- Pasien imunokompromais, keganasan, terapi kemoterapi, radioterapi intens, penggunaan terapi target untuk kanker yang mengganggu imunitas, atau pengguna steroid
- Penyakit kardiovaskular, paru-paru, hepar
- Kondisi yang mengganggu otak atau syaraf, seperti penyakit Parkinson dan palsi serebral
- Disfungsi koagulasi dan organ
- Riwayat transplantasi organ, sumsum tulang atau sel punca
- Wanita hamil[15-17]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien COVID-19 diawali dengan pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien. Pemeriksaan toraks dan status generalis dapat diikuti selanjutnya.
Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital
Keadaan umum dan tanda-tanda vital merupakan pemeriksaan pertama dan utama dalam menentukan triase pasien. Suhu pasien COVID-19 umumnya ≥38°C.[6]
Pada pasien dengan komplikasi, seperti pneumonia, sepsis, maupun syok sepsis, dapat ditemukan tanda sebagai berikut:
- Perubahan status mental/kesadaran, yang menandakan penurunan perfusi pada otak. Pada pasien anak, penurunan kesadaran dapat ditandai dengan ketidakmampuan menyusui atau kejang
- Takipnea, yaitu frekuensi napas > 30 kali/menit pada pasien dewasa. Sedangkan kriteria napas cepat pada anak adalah usia <2 bulan ≥60 kali/menit; usia 2‒11 bulan ≥ 50 kali/menit; usia 1‒5 tahun ≥40 kali/menit; dan usia >5 tahun ≥30 kali/menit
- Hipotensi dan peningkatan/penurunan denyut jantung, yang menunjukkan kompensasi kardiovaskular pada penurunan perfusi atau disfungsi organ jantung
- Peningkatan capillary refill time (CRT) >2 detik menandakan penurunan perfusi perifer
- Saturasi oksigen rendah <90% merupakan tanda penurunan perfusi[6]
Pemeriksaan Toraks
Kelainan pemeriksaan fisik toraks pada COVID-19 tidak jelas. Sebagai evaluasi perjalanan penyakit, diperhatikan tanda distress pernapasan berat berupa stridor dan retraksi dinding dada.
Selain itu, dievaluasi juga perubahan suara paru. Studi mengenai suara paru pada pasien COVID-19 masih sangat beragam dan terbatas. Terdapat kasus yang tidak menunjukkan perubahan suara paru, tetapi ada yang melaporkan wheezing dan ronkhi basah halus pada auskultasi paru, seperti halnya pneumonia viral pada umumnya.[1,6,8]
Pemeriksaan Generalisata
Pemeriksaan tenggorokan pada beberapa kasus COVID-19 dapat ditemukan hiperemis minimal pada faring. Selain itu, ruam samar juga dapat terlihat pada beberapa kasus. Pemeriksaan generalisata dapat dilakukan untuk mengetahui progresivitas penyakit. Beberapa tanda komplikasi adalah:
- Tanda sianosis sentral, berupa kebiruan pada kulit dan membran mukosa sebagai tanda penurunan saturasi oksigen <85%
- Ekstremitas dingin dan kulit lembab, sebagai salah satu tanda kegagalan sirkulasi
- Tanda gagal jantung kanan, akibat pneumonia berat dan cor pulmonale, yang ditandai dengan edema perifer, hepatomegali, dan hipoksia[1,6,8]
Diagnosis Banding
Presentasi klinis COVID-19 umumnya sulit dibedakan dengan penyakit infeksi saluran pernapasan lainnya. Pada masa pandemi, semua pasien dengan keluhan infeksi saluran napas patut dicurigai sebagai kasus COVID-19 dan harus dilakukan pemeriksaan penunjang.
Pneumonia Viral Lain
Presentasi klinis COVID-19 dengan pneumonia viral, seperti influenza, umumnya sama, yaitu demam, batuk kering, dan dispnea. Pada pemeriksaan fisik juga umumnya ditemukan ronkhi basah halus pada paru. Pemeriksaan tes konfirmasi COVID-19 dapat menyingkirkan etiologi viral lainnya.[1,6,8]
Pneumonia Bakterial
Pada pneumonia bakterial, terkadang ditemukan gejala nyeri pleuritik. Selain itu, pada pemeriksaan fisik umumnya ditemukan tanda-tanda konsolidasi, yaitu pekak pada perkusi toraks, ronkhi basah halus pada auskultasi, dan suara napas tubular pada lapangan paru. Pada pemeriksaan sputum, umumnya dapat ditemukan leukosit polimorfonuklear dan predominan organisme bakterial.[1,6,8]
Pemeriksaan Penunjang
Pasien terkonfirmasi COVID-19 setelah melakukan pemeriksaan diagnostik Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) atau lebih dikenal dengan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), dan Rapid Diagnostic Test Antigen (RDT-Ag). Sedangkan untuk menilai perjalanan penyakit, pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah pencitraan toraks dan laboratorium darah.
Real-time reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR)
Konfirmasi diagnosis COVID-19 umumnya ditentukan dengan deteksi sekuens unik virus RNA pada NAAT. Gen virus yang dicari umumnya adalah gen N, E, S dan RdRO. Real-time reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) merupakan salah satu contoh NAAT yang dapat melakukan sequencing asam nukleat virus RNA.[1,6,22]
Sampel Pemeriksaan RT-PCR:
Jenis sampel untuk pemeriksaan NAAT dapat berasal dari traktus respiratorius bawah, seperti sputum, aspirasi, dan lavage; atau traktus respiratori atas, seperti swab nasofaring, orofaring, buccal, saliva, atau nasopharyngeal wash. Sampel saliva memiliki akurasi yang sebanding dengan sampel swab nasofaring dan orofaring.
Sampel yang berasal dari feses, darah, urine, atau bagian otopsi pasien dapat digunakan apabila tidak terdapat pilihan lain. Umumnya, hasil pada traktus respiratorius bawah memiliki jumlah virus dan fraksi genom yang lebih besar daripada traktus respiratorius atas.[1,6,22]
Waktu Pemeriksaan RT-PCR:
Pengambilan sampel swab nasopharyngeal untuk pemeriksaan RT-PCR dapat dilakukan pada hari pertama dan kedua untuk menegakkan diagnosis. Apabila hasil RT-PCR hari pertama positif, maka tidak perlu dilakukan pemeriksaan di hari kedua. Pada keadaan berat atau kritis, pemeriksaan RT-PCR follow-up dapat dilakukan setelah 10 hari dari pengambilan usap yang positif.[1,8,31,59]
Pemeriksaan RT-PCR follow up tidak diperlukan untuk kebanyakan kasus. Interpretasi tes PCR pasca sembuh COVID-19 tidak jelas karena kemungkinan positif persisten akibat viral shading.[1,6,22]
Interpretasi Pemeriksaan RT-PCR:
RT-PCR positif merupakan baku emas menegakkan diagnosis COVID-19. Apabila secara klinis pasien telah membaik atau bebas demam tiga hari tetapi memiliki hasil RT-PCR yang masih positif, maka ini menandakan pasien mengalami positif persisten. Kondisi ini yang disebabkan oleh terdeteksinya fragmen atau partikel virus yang sudah tidak aktif, sehingga perlu mempertimbangkan cycle threshold (CT) value untuk menilai fase infeksius pasien.[1,6,22,23]
False Negative Pemeriksaan RT-PCR:
Hasil negatif pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah ke COVID-19 tidak dapat menyingkirkan diagnosis infeksi virus SARS-CoV-2. Berdasarkan perkembangan tes diagnostik COVID-19, diketahui beberapa faktor yang dapat menyebabkan false negative, di antaranya:
- Preanalisis: kualitas spesimen rendah, waktu pengambilan spesimen terlalu lambat atau terlalu cepat, penyimpanan atau pengiriman spesimen tidak benar
- Analisis: masalah teknik
- Postanalisis: mutasi virus dan inhibisi polymerase chain reaction [1,6,22,23]
Rapid Test
Pemeriksaan cepat untuk skrining COVID-19 terdiri dari rapid test antibody (RTD-Ab) dan rapid test antigen (RTD-Ag).
Rapid Test Antibody (RTD-Ab):
RTD-Ab bertujuan untuk mendeteksi immunoglobulin M (IgM) dan IgG terhadap virus SARS-CoV-2 di dalam sampel darah. Sensitivitas dan spesifisitas RTD-Ab dinilai sangat rendah, sehingga saat ini WHO hanya merekomendasikan penggunaan tes ini untuk kepentingan penelitian, bukan untuk manajemen klinis COVID-19.[6,22]
Rapid Test Antigen (RTD-Ag):
RTD-Ag menggunakan sampel swab nasopharyngeal, dan bertujuan untuk mendeteksi antigen protein virus SARS-CoV-2. Berdasarkan kriteria wilayah C, RTD-Ag dapat digunakan sebagai dasar manajemen klinis. Rekomendasi WHO menyebutkan bahwa RTD-Ag yang dianjurkan adalah yang memiliki memiliki sensitivitas ≥80% dan spesifisitas ≥97%. Pemeriksaan harus dilakukan oleh operator terlatih dalam waktu 5–7 hari setelah onset gejala.[6,20,23]
Viral Sequencing
Pemeriksaan viral sequencing bertujuan mengkonfirmasi virus dan memonitor mutasi genom virus. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat memiliki fungsi dalam studi epidemiologi molekuler.[2,4]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan umum yang dapat menunjang diagnosis COVID-19. Beberapa tes laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien COVID-19 berat, misalnya hematologi, analisa gas darah, dan kadar D-dimer.
Hematologi:
Pemeriksaan darah lengkap pada pasien COVID-19 dapat menunjukkan limfopenia, leukopenia, leukositosis, eosinopenia, dan trombositopenia. Hasil hitung limfosit absolut yang rendah (<0,4x109/L) dengan lactate dehydrogenase (LDH) tinggi (>1684 U/L)umumnya membutuhkan rawat ICU. Hasil peningkatan rasio neutrofil limfosit (NLR) ≥ 3,13 umumnya menunjukkan risiko terjadinya keparahan penyakit pada pasien, terutama pada pasien dengan usia ≥ 50 tahun.[24]
Analisa Gas Darah (AGD):
AGD dilakukan pada pasien COVID-19 dengan keadaan buruk, seperti sesak berat atau sepsis. Hipoksemia dapat ditemukan pada pasien dengan keadaan berat. Pada pasien dengan hiperventilasi umumnya akan ditemukan alkalosis respiratorik. Rhabdomyolysis juga dilaporkan sebagai komplikasi akhir pasien COVID-19, sehingga penemuan asidosis laktat dengan peningkatan anion gap juga dapat ditemukan. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) dapat didiagnosis dengan PaO2/FiO2 ≤300 mmHg atau SpO2/FiO2 ≤315 mmHg.[24]
Tes Laboratorium Lainnya:
Beberapa kelainan tes laboratorium juga dilaporkan pada beberapa studi. Pada peningkatan kadar D-dimer yang disertai limfositopenia berat dihubungkan dengan peningkatan risiko mortalitas. Berikut ini merupakan beberapa kelainan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien COVID-19:
- Peningkatan laktat dehidrogenase
- Peningkatan kadar ferritin
- Peningkatan aminotransferase
- Peningkatan prokalsitonin
- Peningkatan kadar D-dimer[1,5,8]
Pencitraan Toraks
Pemeriksaan pencitraan yang dapat dilakukan pada pasien COVID-19 adalah CT scan toraks nonkontras, rontgen toraks, dan USG toraks. Hasil pencitraan yang normal tidak menyingkirkan diagnosis COVID-19.
CT Scan Toraks Nonkontras:
Pemeriksaan CT scan toraks nonkontras sangat disarankan pada pasien yang dicurigai terjangkit COVID-19. Kelainan pada CT scan umumnya terdistribusi bilateral, periferal, dan pada basal. Berikut ini merupakan beberapa tanda yang ditemukan pada beberapa studi dalam pemeriksaan CT scan toraks nonkontras:
Ground glass opacification (GGO) dengan distribusi perifer atau posterior, terutama pada lobus bawah
Crazy paving appearance: GGO dengan penebalan septal inter/intra-lobular
- Konsolidasi bilateral, perifer, dan basal
- Penebalan bronkovaskular
- Bronkiektasis traksi
Penemuan beberapa tanda atipikal pada CT scan toraks pasien COVID-19 juga telah dilaporkan, seperti:
- Limfadenopati mediastinal
- Efusi pleura
- Nodul pulmonari kecil multipel
Rontgen Toraks:
Pemeriksaan rontgen toraks merupakan pemeriksaan yang tidak sensitif dan sering kali menunjukkan penampakan normal pada awal perjalanan penyakit. Distribusi bilateral/multilobular umum ditemukan pada pasien COVID-19. Penampakan Rontgen toraks yang umumnya ditemukan pada COVID-19 adalah opasitas asimetrik difus atau patchy, seperti pneumonia yang diakibatkan coronavirus jenis lainnya, seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS).
USG paru:
Kelainan pada USG paru umumnya ditemukan secara bilateral dan pada posterobasal. Berikut ini merupakan beberapa tanda kelainan pada pemeriksaan USG paru pasien COVID-19:
Multiple b-line:penebalan septa interlobular subpleural
- Konsolidasi subpleural
- Konsolidasi alveolar
- Penebalan dan iregularitas garis pleura dengan diskontinuitas yang tersebar
- Pemulihan aerasi saat pemulihan dengan penampakan A-line bilateral[25,26]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini