Penatalaksanaan COVID-19 (Coronavirus Disease 2019)
Penatalaksanaan COVID-19 (coronavirus disease 2019) bergantung pada tingkat keparahannya, yaitu tanpa gejala, derajat ringan, derajat sedang, dan derajat berat atau kritis. Pada pasien dengan gejala ringan, isolasi dapat dilakukan di rumah. Pada pasien dengan penyakit berat atau risiko pemburukan, maka dapat dilakukan rawat inap.[1,6,7]
Obat-Obatan yang Memiliki Efektivitas untuk COVID-19
Berdasarkan Living WHO guideline on drugs for COVID-19, terdapat obat-obatan yang direkomendasi kuat untuk diberikan kepada pasien COVID-19 (strong recommendations in favour), yaitu kortikosteroid dan IL-6 receptor blockers. Kedua obat ini digunakan pada pasien dengan keparahan berat dan kritis, sedangkan pasien gejala ringan tidak ada rekomendasi kuat.[7,27-29]
Tinjauan sistemik oleh Landolf et al, terhadap 15 studi yang memenuhi kriteria inklusi penelitian mengenai penggunaan kortikosteroid pada acute respiratory distress syndrome (ARDS) baik akibat COVID-19 maupun bukan COVID-19, menemukan bahwa penggunaan kortikosteroid menurunkan kebutuhan penggunaan ventilator dan mortalitas.[28]
Sementara itu, tinjauan oleh Wei et al, terhadap 25 studi mengenai penggunaan tocilizumab dalam manajemen COVID-19, menunjukkan bahwa obat ini dapat meningkatkan prognosis pasien COVID-19 yang membutuhkan ventilator. Selain itu, tocilizumab juga terbukti menurunkan mortalitas pada pasien COVID-19 yang dirawat intensif.[30]
Penatalaksanaan Pasien Tanpa Gejala
Berdasarkan protokol saat ini, pasien COVID-19 tanpa gejala menjalani isolasi mandiri, baik di rumah atau di fasilitas publik yang telah disediakan pemerintah, selama 10 hari sejak pengambilan sampel terkonfirmasi.[6]
Pemantauan selama dan setelah isolasi dilakukan oleh tenaga kesehatan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Pasien perlu mendapatkan petunjuk/edukasi terkait protokol kesehatan, perilaku hidup bersih dan sehat, dan lingkungan/kamar yang baik untuk isolasi. Selain itu, edukasi diberikan juga untuk keluarga.[6]
Tidak ada obat yang direkomendasikan untuk pasien tanpa gejala. Pedoman perhimpunan bersama merekomendasikan hal berikut:
Vitamin C: dosis 500 mg tablet non acidic, diberikan setiap 6‒8 jam peroral selama 14 hari. Pilihan lain adalah tablet hisap vitamin C 500 mg, diberikan setiap 12 jam selama 30 hari, atau multivitamin mengandung vitamin C 1‒2 tablet setiap 24 jam selama 30 hari. Namun, tidak ada uji klinis yang mendukung peran vitamin C dalam pengobatan COVID-19[6,31]
Vitamin D: dosis 1.000–5.000 IU/hari selama 14 hari, tetapi tidak ada bukti yang mendukung peran Vitamin D dalam mencegah atau mengobati COVID-19[6,32]
- Obat-obatan suportif, baik tradisional (fitofarmaka) maupun obat modern asli Indonesia (OMAI) dapat dipertimbangkan dengan memperhatikan kondisi klinis pasien. Obat-obatan ini harus sudah terdaftar dalam Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, tidak ada uji medis yang mendukung hal ini[6]
Penatalaksanaan Pasien Derajat Ringan
Isolasi mandiri dapat dilakukan di rumah atau fasilitas isolasi terpantau yang disediakan oleh pemerintah, yaitu selama 10 hari ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernafasan. Pemantauan saat dan setelah isolasi dilakukan oleh tenaga kesehatan FKTP.[6]
Vitamin
Belum ada rekomendasi yang mendukung atau menentang penggunaan vitamin pada pasien COVID-19. Untuk vitamin, pasien dengan gejala ringan diberikan sama dengan pasien tanpa gejala. Namun, pemberian vitamin ini tidak memiliki bukti cukup dalam manajemen COVID-19.[6]
Antivirus
Antivirus peroral (termasuk melalui e-prescription antivirus COVID-19) diberikan untuk mencegah perkembangan penyakit parah pada pasien berisiko. Pilihan obat disesuaikan dengan ketersediaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), di antaranya:
Favipiravir 200 mg diberikan dengan dosis loading 600 mg/12 jam pada hari pertama, dilanjutkan 600 mg/12 jam pada hari kedua hingga kelima[6,33]
Studi-studi yang lebih baru dengan jumlah sampel yang lebih besar mendapatkan bahwa favipiravir tidak efektif dalam penatalaksanaan COVID-19. Favipiravir didapatkan tidak memberi perbaikkan pada luaran klinis yang lebih bermakna, seperti kebutuhan ICU, ventilasi mekanik, maupun tingkat mortalitas pada pasien gejala ringan.[34,35]
Oleh karena itu, favipiravir tidak lagi digunakan dalam tatalaksana COVID-19 meski panduan penatalaksanaan COVID-19 edisi 4 di Indonesia masih merekomendasikan penggunaan favipiravir pada pasien COVID-19. Living WHO guideline on drugs for COVID-19 juga tidak memasukan obat ini.[7]
Molnupiravir 200 mg diberikan dengan dosis 800 mg/12 jam selama 5 hari[6,36]
Hasil penelitian yang dipublikasikan tahun 2023 menyatakan bahwa molnupiravir tidak menurunkan angka hospitalisasi dan kematian akibat infeksi COVID-19, pada populasi dewasa berisiko tinggi yang telah divaksinasi. Penelitian ini dilakukan sejak 8 Desember 2021 hingga 27 April 2022, dan melibatkan 26.411 subjek.[36]
Paxlovid™ mengandung dosis nirmatrelvir 300 mg dan ritonavir 100 mg, diberikan setiap 12 jam selama 5 hari[37]
Studi dari produsen paxlovid™ yaitu Pfizer menemukan bahwa obat ini dapat mengurangi risiko perawatan di rumah sakit hingga kematian akibat COVID-19 sebesar 89%. Efek samping akibat pengobatan sebagian besar merupakan gejala ringan. Masih diperlukan studi lanjutan dengan waktu lebih lama untuk menentukan manfaat dan keamanan obat yang lebih teruji.[37]
Namun, beberapa laporan kasus mendokumentasikan bahwa sebagian pasien yang mendapat Paxlovid™ mengalami COVID-19 rebound sekitar 2–8 hari setelah terapi Paxlovid™ tuntas. Beberapa ahli menduga bahwa hal ini disebabkan oleh Paxlovid™, sedangkan beberapa ahli menduga bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh perjalanan alami penyakit atau oleh reinfeksi SARS-CoV-2.[38]
Risiko Efek Samping Obat Antivirus:
Interaksi obat lain dengan paxlovid™ harus diperhatikan karena berpotensi berbahaya, sehingga dibutuhkan riwayat konsumsi obat rutin yang lengkap.
Semua pria dan wanita usia reproduktif yang minum favipiravir atau molnupiravir harus menggunakan kontrasepsi yang dapat diandalkan selama durasi terapi. Setelah dosis terakhir favipiravir, pria dan wanita masih menggunakan kontrasepsi selama 7 hari, sedangkan pasca molnupiravir selama 4 hari pada wanita dan 3 bulan pada pria untuk mencegah bayi lahir dengan kelainan kongenital.[27,36]
Molnupiravir, favipiravir, dan paxlovid™ tidak dianjurkan untuk anak-anak <18 tahun, karena ada kekhawatiran toksisitas dan gangguan perkembangan muskuloskeletal.[27,36,37]
Antibodi Monoklonal
Terapi antibodi monoklonal menjadi salah satu potensi terapi dalam pencegahan dan terapi infeksi SARS-CoV-2. Target terapi dari antibodi monoklonal SARS-CoV-2 netralisir adalah permukaan spike glikoprotein yang memediasi masuknya virus ke dalam sel inang. Antibodi monoklonal umumnya dapat digunakan pada COVID-19 derajat ringan sampai sedang.[6,23,39]
Pasien dengan gejala ringan yang dirawat di rumah sakit dapat diberikan antibodi monoklonal dosis tunggal, sebagai terapi tambahan yang efektif pada awal perjalanan penyakit. Pilihan obat sebagai berikut:
- Kombinasi casirivimab 1.200 mg dan imdevimab 1.200 mg
- Kombinasi bamlanvimab 700 mg dan etesevimab 1.400 mg
Sotrovimab 500 mg
- Regdanvimab 40 mg/kgBB[6,39]
Kombinasi terapi antibodi monoklonal, yaitu casirivimab-imdevimab, sebelumnya telah direkomendasikan oleh WHO pada September 2020 pada penggunaan pasien COVID-19 derajat ringan sampai sedang. Pada pasien COVID-19 derajat berat atau kritis, terapi ini dapat diberikan apabila status pasien sudah seronegatif.
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa obat ini memiliki aktivitas netralisasi yang kurang terhadap varian omicron. Dosis yang disarankan adalah casirivimab 600 mg dan imdevimab 600 mg diberikan IV bersamaan sekali pemberian.
Agen antibodi monoklonal lainnya yang pada Januari 2022 telah direkomendasikan WHO pada pasien COVID-19 derajat ringan sampai sedang adalah Sotrovimab. Sotrovimab memiliki efikasi yang lebih baik melawan varian omicron dibandingkan casirivimab-imdevimab, tetapi dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Dosis sotrovimab yang disarankan adalah 500 mg IV sekali pemberian selama 30 menit.[6,23,39]
Antipiretik/Analgesik
Paracetamol sebagai antipiretik atau analgesik diberikan pada pasien dengan suhu ≥38°C, nyeri kepala, atau mialgia.[6]
Mukolitik, Antitusif, dan Ekspektoran
Pilihan obat per oral untuk menurunkan gejala batuk pada pasien COVID-19 adalah:
N-acetylcysteine lebih sering digunakan karena selain memiliki efek mukolitik, juga memiliki efek antioksidan, antiinflamasi, dan modulasi imun yang dapat berperan dalam pengobatan COVID-19.[40]
Penatalaksanaan Pasien Derajat Sedang
Pasien COVID-19 derajat sedang diisolasi dan dipantau di rumah sakit dalam ruang khusus perawatan COVID-19. Pasien membutuhkan istirahat total, asupan nutrisi yang adekuat, serta kontrol terhadap elektrolit, status hidrasi/terapi cairan, dan oksigen.[6]
Vitamin
Belum ada studi yang mendukung atau menentang penggunaan vitamin, tetapi dapat diberikan:
- Vitamin C: dosis 200–400 mg/8 jam dalam 100 ml NaCl 0,9%, diberikan dalam 1 jam melalui infus intravena
- Vitamin D: peroral 1.000–5.000 IU/hari[6,31,32]
Antivirus
Berdasarkan pedoman di Indonesia, remdesivir masih menjadi pilihan antivirus intravena pada pasien COVID-19 derajat sedang yang dirawat di rumah sakit. Bila remdesivir tidak tersedia, maka dapat diberikan pilihan antivirus lain sesuai dengan ketersediaan obat di fasyankes, yaitu molnupiravir atau paxlovidTM, dengan dosis dan cara pemberian sama dengan gejala derajat ringan.[6]
Dosis remdesivir adalah:
- Hari pertama: 200 mg/hari, melalui infus intravena
- Hari ke-2 hingga ke-5 atau ke-10: 100 mg per 24 jam[6]
Meski demikian, studi-studi terbaru dengan jumlah sampel yang lebih besar menemukan bahwa remdesivir tidak menurunkan mortalitas, durasi rawat inap, dan kebutuhan penggunaan ventilasi mekanik yang bermakna. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa remdesivir tidak ada manfaatnya dan tidak lagi digunakan dalam tata laksana COVID-19.[41]
Antibodi Monoklonal
Manfaat, pilihan, dan dosis obat antibodi monoklonal pada pasien COVID-19 derajat sedang sama dengan pemberian gejala derajat ringan yang dirawat di rumah sakit.[6,39]
Penatalaksanaan Pasien Derajat Berat atau Kritis
Pasien COVID-19 dengan derajat berat atau kritis perlu dirawat inap di ruang isolasi intensive care unit (ICU) atau high care unit (HCU) rumah sakit rujukan. Pengendalian infeksi dan terapi suportif merupakan prinsip utama dalam manajemen pasien COVID-19 dengan keadaan buruk.
Terapi Oksigen
Terapi oksigen diberikan pada pasien dengan SpO₂ <93% dengan nasal kanul sampai non-rebreathing oxygen mask (NRM). Dosis 15 L/menit kemudian titrasi sesuai target SpO₂ 92–96%, sedangkan pada ibu hamil target SpO₂ >94%.[1,19]
High Flow Nasal Cannula (HFNC):
Apabila pasien tidak mengalami perbaikan klinis dalam 1 jam atau terjadi perburukan, maka diberikan HFNC yang diinisiasi dengan flow 30 L/menit dan FiO₂ 40%, dengan target SpO₂ 92‒96%.[6]
Apabila frekuensi nafas pasien masih cepat (≥ 35 kali/menit), saturasi <92%, atau work of breathing masih berat (dispnea atau menggunakan otot bantu nafas aktif), maka titrasi flow secara bertahap 5‒10 L/menit diikuti dengan peningkatan fraksi oksigen. Pasien pengguna HFNC dapat dikombinasi dengan awake prone position selama 2 jam 2 kali sehari, guna memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kemungkinan intubasi.[6]
Pemantauan HFNC dapat menggunakan indeks ROX (respiratory rate – oxygenation) dengan penghitungan:
ROX index = (SpO₂ / FiO₂) / laju nafas |
Apabila indeks ROX ≥4,88 pada jam ke-2, ke-6, dan ke-12, maka pasien dikategorikan sebagai ventilasi aman dan tidak membutuhkan intubasi maupun ventilasi invasif. Namun, apabila indeks ROX <3,85, maka pasien dikategorikan risiko tinggi untuk dilakukan intubasi.[6]
Ventilasi Noninvasif (NIV):
Ventilasi noninvasive (NIV) merupakan terapi oksigen alternatif dari HFNC. Umumnya HFNC lebih dipilih daripada NIV karena lebih nyaman digunakan dan lebih mudah ditoleransi.[1,6]
Ketentuan terapi oksigen yang diinisiasi dengan NIV adalah menggunakan mode BiPAP ( yang terdiri dari NIV dan PSV (pressure support ventilation), dengan tekanan inspirasi 12‒14 cmH₂O, PEEP 6-12 cmH₂O, dan FiO₂ 40-60%. Tekanan inspirasi total yang dibutuhkan umumnya ≥20 cmH₂O untuk mencapai volume tidal 6‒8 mm/Kg.[1,6]
Titrasi FiO₂ dan PEEP (positive end-expiratory pressure) untuk mempertahankan target SpO₂ 92‒96%. Kombinasi awake prone position dengan NIV dapat dilakukan selama 2 jam 2 kali sehari untuk memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kemungkinan intubasi.[1,6]
Evaluasi penggunaan NIV 1-2 jam dengan target sebagai berikut:
- Subjektif: perbaikan keluhan dispnea dan pasien menjadi tidak gelisah
- Fisiologis: laju pernapasan <30 kali/menit, work of breathing menurun, dan hemodinamik menjadi stabil
- Objektif: SpO₂ 92‒96%, pH >7,25, PaCO₂ 30–55 mmHg, ₂ >60 mmHg, rasio PF ≥200, tidal volume 6‒8 ml/kgBB[1,6]
Apabila pasien mengalami perburukan, seperti acute respiratory distress syndrome (ARDS) berat, gagal organ ganda, dan syok, maka pasien disarankan dilakukan ventilasi invasive.[1,6]
Intubasi dan Ventilasi Mekanik Invasif (Ventilator):
Intubasi endotrakeal dilakukan pada keadaan gagal napas hipoksemia. Tindakan ini harus dilakukan oleh petugas terlatih dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap karena prosedur menimbulkan memperhatikan aerosolisasi. APD termasuk masker N95 atau FFP3, kaca mata, penutup wajah, baju dan sepatu pelindung, serta sarung tangan.[1,6]
Ketentuan intubasi dan ventilasi pasien COVID-19 adalah preoksigenasi dengan FiO₂ 100% selama 5 menit diberikan dengan bag-valve mask, kantong udara, high flow nasal oxygen, atau non-invasive ventilation.[1,6]
Ventilasi mekanik dilakukan dengan volume tidal yang lebih rendah (4–8 mL/kgBB), tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau <30 cmH₂O), driving pressure <15 cmH₂O, dan laju pernapasan 18‒25 kali/menit. Pada pasien ARDS sedang-berat, dilakukan protokol higher PEEP yaitu PEEP >10 cmH₂O dengan pemantauan terjadinya barotrauma. Pada pasien hipoksia refrakter, dilakukan posisi prone 12‒16 jam/hari.[1,6]
Pemberian pelumpuh otot dapat ditambahkan jika terjadi disinkronisasi antara pasien dan ventilator persisten, plateau pressure tinggi secara persisten, dan ventilasi pada posisi prone yang membutuhkan sedasi lebih dalam.[1,6]
Dokter perlu waspada karena studi menunjukkan bahwa angka kejadian ventilator-associated pneumonia lebih tinggi pada pasien COVID-19 daripada pasien yang tidak mengalami COVID-19.
ECMO (Extra Corporeal Membrane Oxygenation):
ECMO merupakan terapi suportif yang digunakan pada ARDS berat, yang hanya terdapat di rumah sakit tipe A yang memiliki layanan dan sumber daya tersendiri. ECMO digunakan sebagai terapi penyelamatan nyawa untuk pasien COVID-19 dengan kriteria salah satu di bawah ini:
- PaO₂/FiO₂ <80 mmHg selama >6 jam
- PaO₂/FiO₂ <50 mmHg selama >3 jam
- pH <7,25 dengan PaCO₂ >60 mmHg selama >6 jam[6]
Beberapa kontraindikasi absolut dan relatif perlu menjadi pertimbangan terapi ECMO, seperti ventilasi mekanik >10 hari, clinical frailty scale kategori ≥3, gagal organ multipel berat, dan kontraindikasi pemakaian antikoagulan.[6]
Kortikosteroid
Kortikosteroid pada COVID-19 telah terbukti dapat menurunkan mortalitas pada pasien dengan ventilasi mekanik invasif. Kortikosteroid dapat memodulasi inflamasi yang menyebabkan kerusakan paru, sehingga dapat menurunkan progresi gagal nafas dan kematian.
Dexamethasone dapat dipilih dan diberikan dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari. Kortikosteroid lain yang setara dapat diberikan methylprednisolone 32 mg atau hydrocortisone 160 mg.[6,42]
Anti interleukin-6
Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin yang berperan dalam regulasi respon imun, hematopoiesis, dan inflamasi. Saat infeksi dan kerusakan jaringan terjadi, IL-6 akan terbentuk dan akan melakukan efek protektif pada tubuh untuk melawan stress dan trauma. Akan tetapi, peningkatan produksi IL-6 akan menyebabkan komplikasi fatal, seperti systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dam gangguan imun kronik.
Oleh sebab itu anti interleukin-6 dapat digunakan sebagai terapi target sitokin untuk pencegahan komplikasi. Terdapat dua jenis obat anti IL-6, yaitu tocilizumab dan sarilumab, tetapi hanya tocilizumab yang sudah tersedia di Indonesia.
Tocilizumab dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kgBB dosis tunggal dan dapat diberikan 1 kali lagi dosis tambahan apabila gejala memburuk atau tidak ada perbaikan. Jarak pemberian dosis pertama dan kedua minimal 12 jam dengan maksimal pemberian 800 mg per dosis.[6,43]
Inhibitor Janus Kinase (JAK)
Inhibitor JAK adalah salah satu jenis disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs). Obat ini bekerja dengan cara menginhibisi signal intraseluler terhadap respon interleukin, interferon, colony stimulating factors, dan hormon. Dengan cara ini, obat inhibitor JAK memiliki efek menurunkan viral load dan meredakan komplikasi badai sitokin pada COVID-19.
Terdapat tiga jenis obat inhibitor JAK yang telah dilakukan studi pada pasien COVID-19, yaitu baricitinib, ruxolitinib, dan tofacitinib. Namun, ruxolitinib dan tofacitinib sampai sekarang masih belum direkomendasikan penggunaannya pada pasien COVID-19, karena bukti efikasi obat masih kurang sedangkan efek samping cukup berat, seperti gangguan hepar, anemia, dan trombositopenia.[6,44]
Baricitinib:
Pada Januari 2022, WHO telah merekomendasikan penggunaan baricitinib pada pasien COVID-19 derajat berat atau kritis. Obat direkomendasikan sebagai pilihan terapi alternatif apabila tidak terdapat anti interleukin-6. Studi telah menunjukkan bahwa baricitinib dapat menurunkan mortalitas, durasi penggunaan ventilasi mekanik, dan lama rawat inap.[6]
Dosis baricitinib yang disarankan adalah 4 mg peroral, sekali sehari, selama 14 hari atau sampai pulang rawat inap.[6]
Antivirus
Pada pedoman tata laksana COVID-19 di Indonesia, pilihan antivirus untuk gejala berat atau kritis adalah remdesivir 200 mg. Jika remdesivir tidak tersedia, maka pilihan antivirus lain sesuai dengan ketersediaan obat di fasyankes, yaitu favipiravir, molnupiravir, atau paxlovidTM.[6]
Namun, berdasarkan studi-studi terbaru, ditemukan bahwa remdesivir tidak efektif sehingga tidak lagi digunakan dalam tata laksana COVID-19.[41]
Living WHO guideline on drugs for COVID-19 merekomendasikan antivirus paxlovidTM untuk pasien gejala berat dan kritis. Obat antivirus ini pun hanya diberikan jika tidak tersedia tocilizumab (anti interleukin-6) atau baricitinib (janus kinase inhibitor).[7]
Intravenous Immunoglobulin (IVIg)
Terapi immunoglobulin intravena (IVIG) merupakan salah satu terapi alternatif untuk kasus COVID-19 berat. Peran IVIG pada COVID bukan untuk meningkatkan sistem imun, tetapi untuk efek imunomodulasi untuk menekan respon imun hiperaktif pada pasien.[6]
Penelitian IVIG pada pasien COVID-19 masih belum terlalu banyak. Namun pada beberapa studi menunjukkan hasil yang menjanjikan. Umumnya IVIG lebih dianjurkan penggunaannya pada pasien yang menuju perburukan, seperti saat A-a gradien mulai melewati 200 mmHg tetapi belum jatuh ke gagal nafas, atau 2 hari pertama ventilasi mekanik.[6,45]
Dosis IVIG pada beberapa studi yang digunakan adalah 0,3-0,5 gram/kgBB/hari selama 3‒5 hari berturut-turut. [6,45]
Vitamin C, B, dan D
Pemberian vitamin C, B, dan D perlu diberikan pada pasien COVID-19 derajat berat atau kritis. Dosis yang disarankan adalah sebagai berikut:
- Vitamin C 200-400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam drip intravena
- Vitamin B1 1 ampul/24 jam IV
- Vitamin D suplemen dosis 400 iU – 1000 IU/hari (sediaan tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk sirup), atau obat dosis 1000 – 5000 IU / hari (sediaan tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)[6,31,32]
Pemberian suplementasi atau vitamin tidak memiliki bukti cukup dalam manajemen COVID-19, sehingga belum ada rekomendasi yang mendukung atau menentang penggunaannya.[31,32]
Terapi Komplikasi dan Komorbid
Pada pasien dengan keadaan syok, dapat diberikan tatalaksana syok sesuai pedoman yang sudah ada. Pada pasien dengan komorbid, seperti hipertensi dan diabetes mellitus, dapat diberikan terapi sesuai komorbid dan pemantauan sesuai penyakitnya.[6]
Pada pasien dengan curiga sepsis karena ko-infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik dengan pilihan sesuai kondisi klinis, fokus infeksi, dan faktor risiko. Pemeriksaan kultur darah dan sputum diperlukan untuk menentukan pilihan antibiotik.[6]
Obat-Obatan yang Tidak Digunakan Lagi
Berdasarkan studi, beberapa agen dinyatakan tidak bermanfaat pada pasien COVID-19 sehingga penggunaannya dihentikan, di antaranya klorokuin, hidroksiklorokuin, lopinavir, ritonavir, nitazoxanide, umifenovir, camostat mesylate, dan interferon.[6,9]
Favipiravir dan remdesivir juga sudah tidak digunakan karena tidak efektif pada pasien COVID-19 meski panduan tatalaksana COVID-19 di Indonesia masih merekomendasikan penggunaannya.[34,35,41]
Sedangkan penggunaan agen di bawah ini diberikan hanya dengan kondisi khusus, yaitu:
Oseltamivir, diberikan hanya jika pasien COVID-19 terbukti terinfeksi virus influenza A atau influenza B[6,46]
Azitromisin merupakan antibakterial yang memiliki efek antiviral yang dapat digunakan pada pasien dengan koinfeksi pneumonia bakterial. Namun WHO tidak menganjurkan pemberian antibiotik rutin pada gejala ringan, sedang, dan tanpa gejala. Banyak penelitian telah menunjukkan tidak ada manfaat dalam pemberian azitromisin pada pasien COVID-19 ringan, sedang, atau asimtomatik[6,21,47]
Ivermectin hanya digunakan dalam rangka uji klinis di beberapa rumah sakit di Indonesia. Hingga kini, WHO tidak merekomendasikan penggunaan ivermectin pada pasien COVID-19 kecuali dalam rangka uji klinis. Bukti yang ada saling bertentangan dan dosisnya tidak pasti[6,48]
Intravenous Immunoglobulin (IVIG) merupakan salah satu terapi alternatif untuk kasus COVID-19 berat yang mengalami perburukan[6,45]
Kolkisin sampai saat ini masih diteliti perannya dalam menurunkan badai sitokin pada pasien COVID-19[6,49]
Plasma konvalesen atau therapeutic plasma exchange (TPE) adalah terapi suportif yang diperkirakan dapat mengatasi cytokine storm[6,50]
- Anti IL-1 (anakinra) merupakan antagonis reseptor IL-1 rekombinan untuk menetralisir reaksi hiperinflamasi pada kondisi ARDS[7,50]
- Spironolakton dihipotesiskan mampu memitigasi abnormalitas ekspresi ACE-2, sehingga saat ini sedang dilakukan uji klinik kegunaannya pada penderita COVID-19[1,50]
Sildenafil dihipotesiskan mungkin bermanfaat untuk pasien COVID-19 dengan gangguan perfusi paru, sehingga penggunaannya sedang dipelajari lebih lanjut[51]
- Pada living guideline WHO sudah tidak memasukan antikoagulan (heparin, enoxaparin, fondaparinux) dalam terapi COVID-19, tetapi dapat diberikan pada pasien berisiko tinggi mengalami koagulasi[7,52]
Obat-Obatan Potensial untuk COVID-19
Terdapat beberapa jenis obat yang memiliki potensi dalam penatalaksanaan COVID-19, yaitu fluvoxamine (obat golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) yang biasa digunakan sebagai antidepresan) S-217622 (obat SARS-CoV-2 main protease inhibitor).
Fluvoxamine
Fluvoxamine merupakan obat antidepresan dari golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), yang sedang diteliti karena berpotensi mencegah perburukan klinis pasien COVID-19. Obat ini memiliki sifat memicu reseptor σ-1 yang mengatur produksi sitokin.
Sebuah studi uji klinis yang melibatkan 150 subjek penelitian di Amerika Serikat menemukan risiko perburukan klinis yang lebih rendah pada pasien COVID-19 yang menerima fluvoxamine dibandingkan dengan plasebo. Namun, studi pada obat ini masih dilakukan dengan jumlah sampel kecil.[53]
S-217622
Obat yang masih diteliti dengan batch S-217622 memiliki potensi inhibisi infeksi SARS-CoV-2 in vitro. Obat ini dapat menurunkan viral load dan memperbaiki luaran penyakit.
Sebuah uji preklinis pada hamster yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan adanya inhibisi virus ini, termasuk varian yang Delta dan Omicron. Namun, diperlukan studi uji klinis pada manusia untuk membuktikan keamanan dan efikasinya pada infeksi COVID-19.[54]
Pengendalian Infeksi
Pasien suspek COVID-19 harus dirawat di kamar isolasi dengan pintu tertutup dan menggunakan masker bedah. Tenaga kesehatan yang merawat harus dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD) yang memadai.[10]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini