Diagnosis Demam pada Bayi
Tujuan utama diagnosis demam pada bayi usia 0–60 hari adalah untuk melihat adanya infeksi bakteri serius (IBS). Selain pengukuran suhu, penting dilakukan identifikasi red flags seperti mottled appearance, pucat, adanya sianosis, takikardia dan takipnea, capillary refill time (CRT) >3 detik, penurunan urine output (UO), serta adanya penurunan aktivitas bayi.
Penurunan aktivitas pada bayi dapat diidentifikasi dari poor feeding, penurunan respon terhadap stimulus eksternal, tidak tersenyum, letargi, maupun high-pitched cry yang lemah.[1,2]
Adanya red flags ini menunjukkan kemungkinan infeksi bakteri serius (IBS), dimana pada keadaan ini bayi harus dirujuk dari fasilitas kesehatan primer dan mendapatkan pemeriksaan lengkap seperti darah lengkap, urinalisis, serta kultur darah untuk identifikasi penyebab spesifik infeksi.[1,2]
Selain itu, perlu diperhatikan pula bahwa demam dapat menyebabkan dehidrasi, sehingga penilaian derajat dehidrasi juga diperlukan dalam diagnosis demam pada bayi 0–60 hari. Hal ini karena, rehidrasi akan sangat diperlukan pada kelompok ini.[1,2]
Red Flags Demam pada Bayi Berusia 0–60 Hari
Red flags demam pada bayi berusia 0–60 hari menunjukkan kegawatdaruratan kemungkinan adanya infeksi bakteri serius maupun keadaan lain yang mengancam nyawa. Adapun red flags tersebut meliputi:
Bayi prematur maupun bayi matur berusia <28 hari yang demam dengan suhu >38,0°C
- Demam berlangsung >2 hari
- Adanya distress pernapasan yang ditandai dengan takipnea yang disertai wheezing, nafas cuping hidung, dan retraksi subcostal dan intercostal
- Bayi tampak pucat
Penurunan frekuensi BAK atau urine output yang dapat diidentifikasi dari popok bayi
- Ubun-ubun/fontanel menonjol
- Ruam yang tidak hilang dengan penekanan[2,21,43]
Tanda lain dapat meliputi demam yang diikuti dengan kejang, kaku kuduk, akral dingin maupun rigor. Red flags lainnya yang juga perlu diperhatikan adalah berkaitan dengan kelakuan bayi, dimana bayi menjadi malas menyusui, letargi, penurunan respon bayi, serta bayi rewel terus menerus dengan tangisan merintih tapi lemah.[1,2,21,43]
Identifikasi red flags dapat dipermudah dengan pediatric assessment triangle (PAT) dengan melakukan 3 penilaian utama, yaitu keadaan umum (general appearance), usaha bernapas (work of breathing) dan sirkulasi ke kulit.[2]
Anamnesis
Anamnesis demam pada bayi berusia 0–60 hari dilakukan pada orang tua/caregiver dilakukan dengan menanyakan onset, durasi dan pola demam, serta red flags penurunan aktivitas dan anamnesis per sistem atau gejala lain, seperti adanya batuk, diare, iritabilitas dan letargi. Adanya sumber atau gejala lokal penting untuk di identifikasi karena dapat memberikan clue penyebab infeksi atau non infeksi pada demam.[1,2,27,44,45]
Selain itu, pada bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif terutama dengan keluhan diare, perlu ditanyakan pula mengenai riwayat kontak dengan air yang terkontaminasi. Pada bayi dengan diare, perlu ditanyakan karakteristik seperti feses yang cair saja atau disertai dengan darah perlu dilakukan untuk membantu menentukan antibiotik empiris.[46]
Pada anamnesis, riwayat pengobatan seperti antibiotik, riwayat imunisasi serta vaksinasi dalam 48 jam terakhir, dan riwayat bepergian harus ditanyakan. Selain itu, riwayat penyakit yang berhubungan dengan penyakit kronis dan keganasan, gangguan imunitas, serta riwayat gangguan perdarahan juga harus ditanyakan.[44]
Demam tanpa gejala lokal yang jelas dapat menandakan infeksi awal, keganasan, maupun penyakit imunologi. Selain itu, riwayat imunisasi, kehamilan ibu, persalinan ibu, tempat tinggal, kondisi lingkungan, penyakit dalam keluarga, dan riwayat keluhan yang sama sebelumnya juga harus ditanyakan dalam anamnesis.[1,2,27,45]
Demam berdasarkan durasi
Berdasarkan durasi demam, demam dibedakan menjadi demam akut, demam rekurensi, dan demam kronik.
Demam Akut:
Demam akut terjadi ≤14 hari seringkali terjadi karena infeksi, baik infeksi virus maupun bakteri. Akan tetapi, pada keadaan ini eksklusi penyebab non–infeksi juga harus dilakukan dengan anamnesis keluhan yang berkaitan dengan gejala spesifik, seperti diare, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), dan pneumonia.
Perlu diperhatikan pula bahwa, tidak adanya gejala spesifik juga bukan merupakan penentu etiologi non–infeksi pada bayi kelompok usia ini, sehingga pemeriksaan penunjang diperlukan pada bayi berusia 0–60 hari yang demam.[1,2,21,36]
Demam Akut Rekurens atau Periodik:
Demam akut rekurens merupakan periode demam berulang yang sebanyak 3 kali atau lebih dalam 6 bulan dengan jarak antar periode minimal 7 hari yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Selain infeksi, demam akut rekurens dapat pula disebabkan oleh limfoma Hodgkin, periodic fever syndrome seperti familial mediterranean syndrome.[47]
Demam Kronik:
Demam kronik terjadi >2 minggu dan sering berhubungan dengan fever unknown origin (FUO). Penyebab demam kronik selain karena infeksi, adalah penyakit imunologi, penyakit kolagen vaskular seperti systemic lupus erythematosus (SLE), dan keganasan seperti leukemia dan limfoma maligna.[5,47]
Demam Berdasarkan Pola
Demam berdasarkan polanya dibagi menjadi demam kontinyu, remiten, intermiten, demam septik, dan bifasik.
Demam Kontinyu:
Demam kontinyu, yakni demam dengan suhu menetap di atas 38°C dengan fluktuasi harian <1ᵒC, seperti pada demam tifoid, infeksi malaria jenis falciparum, pneumonia lobaris, meningitis bakterial akut, dan infeksi saluran kemih (ISK).[45,48]
Demam Remiten:
Demam remiten, yakni demam dengan suhu fluktuasi harian >2ᵒC, tetapi tidak pernah menyentuh suhu normal. Contoh penyakit dengan pola demam ini adalah endokarditis infeksi dan bruselosis.[45,48]
Demam Intermiten:
Demam intermiten, yakni demam dengan pola peningkatan suhu dalam beberapa jam kemudian turun ke suhu normal kemudian suhu naik kembali. Demam seringkali terjadi pada malam hari kemudian turun di pagi hari. Contoh penyakit dengan pola ini adalah malaria, tuberkulosis, limfoma, endokarditis, dan rheumatoid arthritis.[45,48]
Demam Septik:
Demam septik, yakni demam remiten atau intermiten ditandai dengan perbedaan suhu yang sangat tinggi antara suhu terendah dengan suhu tertinggi, seperti Kawasaki disease dan infeksi piogenik.[45]
Demam Bifasik:
Demam bifasik adalah demam yang naik mendadak tinggi lalu turun 1–2 hari kemudian naik lagi, seperti demam dengue dan leptospira.[45]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik demam pada bayi berusia 0–60 hari harus meliputi penilaian kesadaran dan keadaan umum, tanda vital, serta identifikasi red flags untuk demam. Selain itu, pemeriksaan per sistem juga harus dilakukan untuk mengetahui respon tubuh terhadap demam serta kemungkinan etiologi dan sumber infeksi.[2]
Tanda-tanda Vital
Pada vital sign diperoleh peningkatan suhu >37,5ᵒC pada pengukuran suhu di axilla (>38ᵒC pada suhu rektal), direkomendasikan menggunakan termometer digital.
Pengukuran suhu dari rektal merupakan yang paling menggambarkan core temperature, akan tetapi teknik ini memiliki risiko infeksi nosokomial, perforasi rektum, serta dikontraindikasikan untuk bayi dengan neutropenia dan imunokompromais.
Selain itu, pemeriksaan suhu dengan termometer timpani tidak diindikasikan untuk bayi 0–60 hari karena perbedaan anatomi, sehingga pengukuran menjadi tidak akurat. Gold standard pengukuran suhu dilakukan melalui arteri pulmonalis, tetapi sangat invasif dan memiliki risiko komplikasi, seperti pneumothorax, aritmia jantung, emboli paru dan infeksi. Pengukuran suhu dengan termometer merkuri tidak direkomendasikan karena berisiko pecah dan menyebabkan toksisitas merkuri.[2,6,12,49]
Selain peningkatan suhu, perubahan heart rate dan respiratory rate seperti takipnea, dan hipoksia juga dapat terjadi sebagai bentuk manifestasi klinis infeksi seperti pada pneumonia atau respon tubuh terhadap adanya demam. Perubahan heart rate dapat timbul dengan adanya takikardia maupun bradikardia. Akan tetapi, bayi berusia <2 bulan dapat tidak menunjukkan takikardia karena sistem saraf otonom yang belum matur.[2,3,17,21]
Fontanel Menonjol
Adanya ubun–ubun menonjol dari penilaian fontanel pada bayi usia 0–60 hari yang demam dapat menandakan adanya meningitis. Keadaan ini dapat didiagnosis banding dengan roseola infantum, yang memiliki manifestasi lebih ringan dengan prognosis yang umumnya juga lebih baik. Pada roseola infantum, klinis bayi tampak lebih aktif, tanpa deficit neurologis, serta hasil laboratorium yang tidak menandakan infeksi bakterial.[2]
Petechiae dan Purpura
Petechiae dan purpura adalah ruam yang tidak menghilang bila ditekan, perbedaannya adalah petechiae biasanya berbentuk makula hemoragik pinpoint dengan ukuran <2 mm, sedangkan purpura >3 mm dan biasanya dapat dipalpasi.
Adanya ruam yang tidak menghilang bila di tekan pada bayi dengan demam dapat mengkhawatirkan, tetapi apabila keadaan umum baik dan ruam berupa petechiae, risiko IBS masih rendah.[49]
Studi yang melibatkan 411 pasien berusia 3–36 bulan, 357 anak dengan keadaan umum baik, tidak ada yang mengalami IBS. Pada studi lainnya yang melibatkan 55 anak dengan rata-rata usia 2,5 tahun, hanya 9% yang mengalami sepsis karena infeksi bakterial, dan kelompok ini juga memiliki keadaan umum yang tidak baik atau hasil laboratorium yang abnormal.[50]
Studi–studi yang ada memperlihatkan bahwa anak dengan keadaan umum baik yang demam dan petechiae tanpa purpura yang jelas, dan hasil pemeriksaan laboratorium normal, dapat diobservasi selama 4–6 jam kemudian dilakukan penilaian kembali secara klinis. Bila klinis membaik, maka dapat diperbolehkan pulang.
Hal ini menunjukkan bahwa demam dengan petechiae dapat meningkatkan kecurigaan IBS, tetapi bila keadaan umum baik, insidensi IBS rendah. Sedangkan pada anak dengan keadaan umum yang tidak baik, insidensi IBS lebih tinggi.[2,49,50]
Rigor
Rigor adalah episode shaking atau menggigil yang berlebihan pada bayi dan seringkali berhubungan dengan demam tinggi. Kemungkinan IBS pada bayi yang mengalami rigor cukup tinggi. Akan tetapi, keadaan ini juga dapat ditemukan pada malaria, dengue dan chikungunya.[2]
Penilaian Derajat Dehidrasi
Penilaian derajat dehidrasi pada bayi usia 0–60 hari yang demam karena demam dapat menyebabkan dehidrasi. Komponen penilaiannya meliputi keadaan umum, mata dan air mata, mukosa oral, manifestasi haus, dan turgor kulit.
Selain itu, bayi dengan diare maupun muntah dengan dehidrasi derajat sedang sampai berat perlu dilakukan rawat inap. Identifikasi urine output dapat dilakukan dengan menanyakan jumlah popok yang basah.[46]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding demam pada bayi usia 0–60 hari berdasarkan pola demam, durasi demam, faktor risiko, serta sistem yang terlibat. Terkadang demam pada bayi juga dapat disebabkan karena infeksi bakteri, virus, ataupun parasit sekaligus.
Selain diagnosis banding infeksi, diagnosis banding non–infeksi juga perlu dipertimbangkan terutama pada demam kronis dengan sumber infeksi yang tidak diketahui.[45,46]
Demam Berdasarkan Polanya
Berdasarkan pola demam, diferensial diagnosis demam dibagi menjadi demam kontinyu, remiten, intermiten, septik, dan bifasik.[45,47,48]
Tabel 1. Diagnosis Banding Demam Berdasarkan Pola Demam
Pola demam | Penyakit terkait |
Demam kontinyu | Infeksi bakteri, pneumonia karena virus, infeksi saluran kemih (ISK), demam tifoid, malaria falciparum |
Demam remiten | Infeksi virus, endokarditis bakteri akut |
Demam intermiten | Infeksi piogenik, limfoma, endokarditis |
Demam septik | Sepsis bakteri, sepsis virus, penyakit kawasaki, infeksi piogenik |
Demam bifasik | Demam dengue, leptospira |
Sumber: dr. Nailla Fariq[45,47,48]
Demam Berdasarkan Durasinya
Diferensial diagnosis demam berdasarkan durasinya dibagi menjadi demam akut, akut rekuren, dan demam kronik.
Tabel 2. Demam Berdasarkan Durasinya
Durasi | Penyakit terkait |
Demam akut | ISPA, ISK |
Demam akut rekuren | Limfoma Hodgkin, periodic fever syndrome seperti familial Mediterranean syndrome |
Demam kronik | Fever unknown origin (FUO), seringkali berhubungan dengan keganasan dan penyakit kolagen vaskular seperti systemic lupus erythematosus (SLE) |
Sumber: dr. Nailla Fariq, 2022[5,45]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada bayi usia 0–60 hari yang demam dilakukan berdasarkan kelompok usia dan meliputi pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis leukosit, urinalisis, pemeriksaan marker infeksi, pemeriksaan kultur, urinalisa, pemeriksaan feses rutin, pemeriksaan serologi, pungsi lumbal dan radiologi.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada bayi dengan demam, kecuali etiologi sudah diketahui saat pemeriksaan klinis, dilakukan untuk memastikan sumber IBS dan melakukan terapi. Pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan kelompok usia. Pemeriksaan marker non infeksi ditegakkan bila etiologi infeksi telah disingkirkan.[1,2,49–51]
Pemeriksaan Penunjang Berdasarkan Kelompok Usia
Pemeriksaan penunjang pada bayi demam yang berusia 0–60 hari dipertimbangkan berdasarkan kelompok usia, yaitu 0–7 hari, 8–21 hari, 22–28 hari, dan 29–60 hari.
Usia 0–7 Hari:
Pemeriksaan penunjang pada bayi demam dengan kelompok usia 0–7 hari meliputi darah lengkap, kultur darah dan urine, urinalisis, analisis marker inflamasi seperti c-reactive protein (CRP) dan procalcitonin serta analisis cairan serebrospinal (CSF) dari pungsi lumbal. Pemeriksaan penunjang rontgen thorax pada kelompok usia ini dilakukan apabila didapatkan manifestasi sistem respirasi pada anak.[9,21,79]
Usia 8–21 Hari:
Pemeriksaan penunjang pada bayi kelompok usia 8–21 hari juga dilakukan full sepsis workout, yaitu urinalisis, kultur darah, marker inflamasi, dan analisis CSF dari pungsi lumbal. Pemeriksaan rontgen thorax juga dapat diindikasikan bila bayi datang dengan gejala respirasi. Pada kelompok usia ini, marker inflamasi dinyatakan abnormal apabila:
- Kadar procalcitonin >0,5 ng/mL
- Kadar CRP >20 mg/L
- Hitung absolute neutrophil count (ANC) >4000 sampai 5200/mm3[1]
Baik pada kelompok usia 0–7 hari maupun 8–21 hari, infeksi virus herpes simpleks (HSV) perlu dipertimbangkan apabila didapatkan pada ibu riwayat HSV genital pada maupun demam 48 jam sebelum atau setelah persalinan. Kemudian pada bayi didapatkan adanya lesi vesikel, kejang, hipotermi, ulkus pada membran mukosa, adanya pleiositosis pada analisis CSF tetapi pewarnaan gram positif tidak ditemukan, leukopenia, trombositopenia, atau peningkatan kadar alanin aminotransferase (ALT).[1,9,21]
Pemeriksaan untuk melihat adanya infeksi HSV, disarankan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR). Akan tetapi, di Indonesia terdapat keterbatasan alat dan bahan, maka tidak dilakukan sebagai pemeriksaan rutin di Indonesia.[1,21,45]
Usia 22–28 Hari:
Pemeriksaan penunjang pada bayi berusia 22–28 hari juga disarankan full sepsis workout, akan tetapi terdapat sedikit perbedaan untuk indikasi analisis CSF. Pada kelompok usia 22–28 hari, risiko meningitis lebih rendah daripada kelompok usia 0–21 hari, sehingga pemeriksaan analisis CSF dengan pungsi lumbal diindikasikan apabila didapatkan seluruh kriteria berikut:
- Hasil urinalisis dengan atau tanpa tanda infeksi
- Marker inflamasi normal maupun tidak
- Kultur darah dan urine sudah didapatkan
- Bayi dirawat di rumah sakit[1]
Perbedaan dengan kelompok usia 8–21 hari, bayi dengan kelompok usia 22–28 hari memiliki marker inflamasi yang abnormal apabila suhu tubuh >38,5ᵒC dengan nilai procalcitonin, CRP dan ANC yang sama dengan kelompok usia 8–21 hari.
Kelompok usia ini juga mungkin mengalami infeksi HSV, sehingga kecurigaan terhadap infeksi tersebut dapat dipertimbangkan bila didapatkan gejala yang mengarah ke infeksi HSV seperti pada kelompok usia 8–21 hari.[1]
Usia 29–60 hari:
Pada bayi dengan kelompok usia 29–60 hari, darah lengkap, urinalisis, kultur darah, dan tanda inflamasi juga diindikasikan. Akan tetapi, analisis CSF hanya dilakukan bila terjadi peningkatan marker inflamasi. Peningkatan marker inflamasi pada kelompok ini sama dengan bayi dengan kelompok usia 22–28 hari.
Pada kelompok ini, kejadian infeksi HSV lebih rendah, tetapi tetap ada. Maka dari itu, kecurigaan terhadap infeksi HSV juga dapat dipertimbangkan apabila didapatkan gejala yang mengarah pada hal tersebut seperti pada bayi kelompok usia 8–21 hari dan 22–28 hari.[1]
Identifikasi Patogen
Identifikasi patogen direkomendasikan sebagai salah satu panduan penatalaksanaan definitif untuk demam pada bayi berusia 0–60 hari yang disebabkan oleh infeksi.
Pemeriksaan kultur darah, urine, feses dan CSF disarankan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk bayi berusia ≤60 hari yang demam. Pemeriksaan ini dilakukan untuk identifikasi penyebab infeksi dan panduan terapi definitif. Sampel pemeriksaan kultur diambil sebelum antibiotik dimulai untuk untuk memastikan bahwa bakteri kausatif terdapat pada kultur.[1,9]
Pada hasil urinalisis positif, kultur urine juga disarankan untuk mengidentifikasi patogen penyebab infeksi. Kultur urine direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada, karena ISK sering ditemukan sebagai penyebab demam pada bayi dengan kelompok usia ini.
Sedangkan kultur feses juga direkomendasikan apabila pada pemeriksaan rutin didapatkan adanya leukosit sebanyak >5 sel/LPB atau didapatkan darah, mukus maupun keduanya. Selain itu, kultur CSF juga dianjurkan terutama CSF.[1,9,52]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab demam, baik infeksi maupun non–infeksi. Pemeriksaan yang direkomendasikan untuk kasus demam pada bayi berusia 0–60 hari adalah darah lengkap, hitung leukosit, pemeriksaan marker inflamasi seperti CRP dan procalcitonin.
Selain itu, pemeriksaan kultur darah maupun urine, urinalisis, dan pemeriksaan pungsi lumbal sesuai indikasi juga perlu dilakukan. Pemeriksaan lain seperti PCR juga dapat diindikasikan pada keadaan tertentu dimana didapatkan tanda klinis yang mengarah ke infeksi HSV.[1]
Pemeriksaan Darah Lengkap dan Hitung Jenis Leukosit:
Pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis leukosit dengan memperhatikan absolute neutrophil count (ANC). Nilai ANC di hitung dengan mengalikan jumlah leukosit dan jumlah neutrofil (segmen dan batang dalam persen/%). Hasil ANC <1100/µL menandakan adanya neutropenia, sehingga risiko infeksi serius lebih tinggi.[1,5,43,53]
Marker Inflamasi:
Pemeriksaan darah yang menunjukan proses inflamasi adalah pemeriksaan hitung leukosit, procalcitonin (PCT), C-reactive protein (CRP) dan absolute neutrophil count (ANC). Pada bayi berusia 0–60 tahun, adanya demam tinggi yang disertai dengan leukositosis dan peningkatan CRP dapat menjadi penanda infeksi bakteri serius (IBS).[1,49]
Pemeriksaan PCT dapat digunakan untuk menandakan adanya infeksi bakteri serius yang memerlukan antibiotik dengan spesifisitas dan sensitivitas yang lebih tinggi daripada CRP. Akan tetapi, di Indonesia pemeriksaan ini tidak selalu tersedia di seluruh fasilitas kesehatan dan lebih mahal. Maka dari itu, pemeriksaan hitung leukosit dan CRP lebih banyak digunakan.[1,5,21,49]
Nilai abnormal didapatkan bila procalcitonin >0,5 ng/mL, CRP >20 mg/L atau >10 mg/L pada neonatus pada , ANC >4000 sampai 5200/mm3, dan leukosit <5.000/mm3 atau >15.000/mm3 menandakan bahwa demam disebabkan oleh infeksi bakteri serius seperti infeksi saluran kemih (ISK), meningitis, bakteremia, pneumonia dan sepsis.[1,21,43,45]
Urinalisis:
Pemeriksaan urinalisis digunakan untuk mengetahui adanya infeksi saluran kemih (ISK) yang menjadi salah satu penyebab tersering demam pada bayi berusia 0–60 hari. Sampel urinalisis diambil dari kateter urine atau aspirasi suprapubik untuk mengurangi risiko kontaminasi, terutama pada bayi fimosis atau adhesi labium. Pada hasil urinalisis positif dinyatakan dengan adanya:
- Leukosit esterase (LE) pada urine dipstick atau
- Hitung leukosit >5 sel/LPB (lapang pandang besar) pada urine yang disentrifugasi atau
- Hitung leukosit >10 sel/mm3 pada urin yang tidak disentrifugasi dengan analisis mikroskopik menggunakan hemositometer[1,9]
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa hasil urinalisis yang negatif tidak mengeksklusi ISK. Eksklusi ISK didapatkan dari kultur urine. Tambahan lain yang menunjukkan adanya ISK adalah bau pungent atau fetid, serta pH lebih alkali untuk ISK oleh bakteri yang memproduksi urease.[9,54]
Pemeriksaan Feses:
Pemeriksaan feses rutin untuk bayi berusia 0–60 hari yang demam terutama diindikasikan pada bayi yang datang dengan keluhan diare. Penyebab diare pada kelompok usia ini yang paling sering ditemukan adalah Rotavirus dan Escherichia coli.[1,9,46]
Pemeriksaan feses rutin terutama dilakukan dengan melihat adanya mukus, leukosit dan eritrosit untuk pertimbangan keputusan pemberian antibiotik empiris. Adanya leukosit pada pemeriksaan feses seringkali menandakan infeksi bakteri, dan biasanya tidak ditemukan pada diare karena infeksi virus dan parasit.[46,55]
Sedangkan adanya darah pada feses seringkali disebabkan karena necrotizing enterocolitis (NEC), gangguan struktural sistem gastrointestinal, dan kemungkinan mengalami alergi makanan. Skrining untuk mengidentifikasi adanya hematochezia dapat dilakukan dengan pemeriksaan fecal occult blood test (FOBT).[56]
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal direkomendasikan AAP untuk bayi berusia <22 hari, sedangkan usia 22–28 hari direkomendasikan pada keadaan tertentu, dan untuk bayi pada kelompok usia 29–60 hari pungsi lumbal diindikasikan bila terdapat peningkatan marker inflamasi. Di Indonesia, pungsi lumbal diindikasikan apabila didapatkan gejala klinis yang mengarah ke meningitis atau ensefalitis, yaitu:
- Kejang
- Penurunan kesadaran
- Adanya rigiditas
- Petechiae
- Temuan neurologis lainnya[9,49]
Kriteria Rochester
Kriteria Rochester adalah kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi bayi usia ≤60 hari yang tidak mengalami infeksi bakteri serius. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan rawat jalan pada bayi dengan keadaan umum baik, dimana bila berisiko rendah, maka bayi dapat dipulangkan dalam 24 jam.[9,59]
Kriteria Rochester meliputi bayi demam >38ᵒC berusia ≤60 hari dengan:
- Bayi tampak sehat dengan keadaan umum baik
- Bayi tanpa riwayat penyakit
- Tidak terdapat bukti infeksi kulit, jaringan lunak, sendi, dan telinga
- Hasil pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan IBS[9,59]
Bayi yang dapat dinyatakan sehat pada kriteria ini adalah bayi aterm atau lahir pada usia gestasi ≥37 minggu, sebelum sakit merupakan bayi sehat, tidak mendapatkan terapi antibiotik perinatal, tidak mengalami hiperbilirubinemia, dan tidak pernah dirawat. Selain itu, bayi juga tidak memiliki penyakit kronis tertentu dan tidak dirawat lebih lama dari ibunya.[9,59]
Sementara itu, hasil laboratorium yang tidak menunjukkan IBS adalah:
- Hitung leukosit darah 5000–15000/mm3
-
Absolute neutrophil count ≤1500/mm3
- Hitung leukosit dengan mikroskop ≤10 sel/LPB pada urine atau <5 sel/LPB pada feses bayi dengan diare[9,59]
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi terutama rontgen thorax diindikasikan pada bayi berusia 0–60 hari yang demam dengan gejala pernapasan seperti batuk maupun dengan gejala yang melibatkan sistem respirasi.[21]
Gejala sistem respirasi yang dapat menyebabkan diperlukannya pemeriksaan rontgen thorax antara lain seperti gejala infeksi saluran napas atas, takipnea, saturasi oksigen perifer abnormal, maupun pola napas distress seperti napas cuping hidung dan retraksi interkostal.
Temuan pneumonia digambarkan dengan adanya opasitas granular bilateral dengan volume paru yang menurun. Selain itu, didapatkan pula adanya infiltrat parenkim difus dengan air bronchogram atau area konsolidasi dengan keterlibatan lobar. Selain itu, efusi pleura juga dapat ditemukan sebagai gambaran pneumonia.[1,76]
Pemeriksaan Bayi Berusia 0–60 Hari dengan Fever of Unknown Origin (FUO)
Pada bayi berusia 0–60 hari, demam kronis seringkali berhubungan dengan fever of unknown origin (FUO), pemeriksaan full sepsis workout juga diperlukan. Fever of unknown origin (FUO) adalah demam tanpa penyebab yang jelas dalam jangka waktu 3 minggu untuk pasien rawat jalan atau 1 minggu untuk pasien rawat inap, dimana pemeriksaan penunjang sudah dilakukan pada rumah sakit setempat.[5]
Pada keadaan ini, pemeriksaan yang disarankan meliputi 4 tahap, yaitu:
Tahap 1: identifikasi infeksi bakteri, tuberkulosis (TB), dan malaria dengan melakukan full sepsis workout dan pemeriksaan rontgen thorax AP/lateral dan sinus
Tahap 2: identifikasi infeksi virus dan imunologi dengan pemeriksaan yang lebih spesifik, seperti tes serologis virus, ANA, dsDNA, ultrasonografi abdomen/dada/nodus limfe/kepala dan leher
Tahap 3: identifikasi keganasan dan diagnosis spesifik/tes invasif, seperti pemeriksaan CT scan, MRI, dan biopsi; serta pemeriksaan HIV dan echocardiography
Tahap 4: percobaan terapeutik, seperti pemberian antibiotik dan antiinflamasi non steroid (NSAID) atau kortikosteroid[5]