Epidemiologi Influenza
Data epidemiologi influenza mengindikasikan bahwa wabah influenza terjadi secara musiman, dengan puncak aktivitas infeksi biasanya terjadi pada musim dingin di belahan bumi utara dan musim panas di belahan bumi selatan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk penyebaran virus yang lebih efisien dalam lingkungan yang lebih dingin dan kering.
Influenza tipe A dapat mengalami perubahan genetik yang signifikan, yang menyebabkan kemampuannya untuk menginfeksi manusia dengan cara baru. Sebaliknya, tipe influenza B cenderung tetap stabil secara genetik dan memiliki dampak epidemiologis yang lebih terbatas.
Selama musim influenza, jumlah kasus biasanya meningkat tajam, dengan puncak aktivitas terjadi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Kelompok-kelompok berisiko tinggi, seperti anak kecil dan lansia, cenderung lebih rentan terhadap infeksi serius dan komplikasi. Selain itu, mutasi virus influenza memerlukan pembaruan vaksin tahunan untuk tetap efektif dan melibatkan pemantauan terus-menerus terhadap jenis-jenis virus yang beredar.[1-6]
Global
Secara global, diperkirakan satu milyar orang menderita influenza setiap tahun, bahkan 3-5 juta kasus di antaranya akan berkembang menjadi kasus berat, dengan beban kasus paling tinggi ditemukan pada kelompok risiko tertentu yaitu anak, lansia, dan penderita penyakit kronik.[1,4]
Di Amerika Serikat, diperkirakan hingga 20% populasi akan terinfeksi influenza setiap tahun. Berdasarkan studi di Amerika Serikat pada populasi campuran yang telah divaksinasi dan belum divaksinasi, selama tahun 2010–2016, angka insidensi influenza berada di angka 8% dengan rentang variasi antara 3% sampai 11% di antara tiap musim.[5]
Mirip dengan Amerika Serikat, angka insiden tahunan influenza di negara Asia Tenggara juga berada pada rentang 10–22% populasi per tahun. Negara Singapura mencatat angka rawat inap pneumonia terkait influenza mencapai 28,3 per 100.000 orang dan Thailand memiliki angka rawat inap pneumonia terkait influenza mencapai 83 per 100.000 orang.[4,6]
Indonesia
Di Indonesia, diperkirakan angka insidensi infeksi saluran napas akut berat (SARI) terkait influenza berada pada rentang 13 hingga 19 per 100.000 populasi. Insiden tertinggi terjadi pada anak kelompok usia 0‐4 tahun, yakni 82‐114 per 100 000 populasi.[4]
Sebuah studi surveilans influenza di provinsi Bali melaporkan bahwa terdapat 2077 laporan kasus dengan manifestasi klinis seperti influenza. Dari jumlah kasus tersebut, 291 kasus (14%) di antaranya terbukti terinfeksi virus influenza tipe A, 152 kasus (7,3%) terinfeksi influenza tipe B dan 16 kasus (0,77%) terinfeksi influenza tipe A dan B. Dari isolat influenza tipe A, tipe dominan (61,2%) adalah tipe A/H3N2, lalu diikuti oleh A/H1N1-pdm09 (26,1%).
Angka positif influenza sendiri terbukti lebih tinggi di musim penghujan dibandingkan musim kemarau. Ini mengindikasikan bahwa penyebaran infeksi influenza di Indonesia juga dipengaruhi oleh musim. Mayoritas kasus influenza dalam studi ini dialami anak-anak.[6]
Mortalitas
Menurut WHO, angka kematian global akibat influenza biasanya kurang dari 0,1%. Namun, angka ini dapat meningkat secara signifikan pada kelompok berisiko tinggi, seperti anak kecil, lansia, dan individu dengan kondisi medis kronis. Di seluruh dunia, mayoritas kematian pada anak usia di bawah 5 tahun akibat infeksi saluran napas bagian bawah terkait influenza terjadi di negara berkembang.
Di Amerika Serikat, CDC memperkirakan antara 12.000 hingga 61.000 kematian terkait influenza terjadi setiap tahun dalam beberapa dekade terakhir. Jumlah ini dapat berfluktuasi tergantung pada keparahan musim influenza dan keberhasilan vaksinasi.[1,2,5]
Indonesia sendiri sebagai negara terbesar di Asia Tenggara memiliki peran surveilans yang penting terhadap kasus avian influenza. Indonesia adalah negara endemi patogen avian influenza A/H5N1 yang ditemukan pada burung. Indonesia merupakan negara terbanyak kedua di dunia dalam angka kumulatif kasus H5N1 manusia, dengan case fatality rate 83%.[1,6]
Penulisan pertama: dr. Sunita