Penatalaksanaan Leismaniasis
Penatalaksanaan leismaniasis berbeda-beda tergantung pada jenis Leishmania yang diderita.
Leismaniasis Kutaneus
Pada sebagian besar kasus leismaniasis kutaneus, lesi dapat sembuh secara spontan. Terapi diperlukan pada kasus yang persisten atau mengalami penyebaran. Terapi topikal dapat diberikan pada pasien dengan jumlah lesi yang sedikit atau berukuran kecil.
Terapi sistemik diberikan bila terjadi penyebaran melalui sistem limfatik, pada kasus dengan lesi luas dan berukuran besar, serta pada lesi di bagian wajah, tangan, atau persedian.[6,14]
Terapi lini pertama leismaniasis kutaneus adalah antimonial pentavalen yang diberikan dalam dosis 20 mg/kgBB selama 20 hari. Terapi lini pertama leismaniasis kutaneus yang disebabkan oleh Leishmania (Viannia) guyanensis adalah pentamidin isetionat dengan dosis 4 mg/KgBB yang diberikan sebanyak 2 kali injeksi dengan jarak waktu antarinjeksi adalah 48 jam.
Pada kasus leismaniasis kutaneus yang disebabkan oleh L.aethiopica, terapi yang digunakan adalah paromomycin dengan dosis 16 mg/kgBB/hari.
Miltefosine 2,5 mg/kgBB selama 28 hari dapat digunakan sebagai alternatif dan obat ini memberikan respons yang baik bila leismaniasis disebabkan oleh L.major.
Amphotericin B dapat dijadikan terapi alternatif bagi kasus leismaniasis yang resisten terhadap antimonial. Dosis pemberian amphotericin B adalah 3–5 mg/kgBB selama 10 hari hingga dua bulan. Respons terapi yang adekuat ditandai dengan lesi atau indurasi yang mendatar.[6,14]
Lesi dengan ukuran diameter ≤3 cm dapat diterapi dengan injeksi intralesi tiap minggu menggunakan antimonial pentavalen dengan dosis 0,2–2,0 mL. Pilihan terapi topikal untuk lesi dengan ukuran diameter ≤3 cm adalah salep paromomycin sulfat 15% secara tunggal atau kombinasi dengan gentamicin 0,5% atau metilbenzonium klorida 12%.
Terapi ini dapat menyembuhkan 70–82% kasus leismaniasis kutaneus yang disebabkan oleh L.major dalam waktu kurang lebih 20 hari. Terapi topikal dengan salep imiquimod 3 kali sehari selama 8 minggu dapat diberikan pada kasus L.infantum yang tidak responsif dengan pemberian amphotericin B intravena.
Terapi alternatif pada kasus lesi yang sedikit atau <5 adalah terapi panas menggunakan generator frekuensi atau krioterapi menggunakan cairan nitrogen.
Pemberian ketoconazole, fluconazole, allopurinol, dan dapson secara oral tidak memberikan efektivitas yang serupa dengan antimonial pentavalen. Pemberian obat ini mungkin dapat mempercepat penyembuhan leismaniasis kutaneus yang tidak berlanjut menjadi leismaniasis mukosa dan yang cenderung untuk sembuh spontan.[3,6,14]
Leismaniasis Mukosa
Terapi pilihan leismaniasis mukosa adalah antimonial pentavalen dengan dosis 20 mg Sbv/kgBB selama 30 hari. Terkait dengan kemungkinan resistensi antimonial pentavalent, amphotericin B perlu diberikan bila terjadi relaps atau tidak ada kemajuan terapi dengan menggunakan antimonial pentavalen.
Amphotericin deoxycholate diberikan dengan total dosis 25–45 mg/kgBB atau amphotericin B dalam sediaan liposom dengan dosis 2–3 mg/kgBB selama 20 hari. Miltefosine 2,5 mg/kgBB diberikan selama 28 hari dan dilaporkan dapat menyembuhkan kurang lebih 71% pasien di Bolivia.[6]
Leismaniasis Viseralis
Tata laksana leismaniasis viseralis cukup kompleks karena durasi dan dosis obat yang optimal berbeda-beda sesuai dengan lokasi endemis leismaniasis. Terapi pilihan pada leismaniasis viseralis adalah antimonial pentavalen, yaitu sodium stiboglukonat (100 mg Sbv/mL) dan meglumine antimoniate (85 mg Sbv/mL). Dosis yang diberikan adalah 20 mg/kgBB/hari secara intravena atau intramuskular selama 20–30 hari.
Terapi kombinasi sodium stiboglukonat 20 mg/kgBB/hari dengan paromomycin 15 mg/kgBB diberikan secara IM selama 17 hari. Jika dibandingkan dengan terapi tunggal, terapi kombinasi cukup aman dan durasi pengobatannya lebih singkat.[6,13]
Amphotericin B merupakan obat lini pertama di Bihar (India), dan pada pasien yang mengalami kegagalan terapi dengan antimonial. Total pemberian amphotericin B adalah 5 kali dan diberikan setiap dua hari sekali. Amphotericin deoxycholate diberikan dalam dosis 0,75–1,0 mg/kgBB/kali. Efek samping amphotericin deoxycholate adalah demam, mual, muntah, thrombophlebitis, hipokalemia, gangguan ginjal, reaksi hipersensitivitas, supresi sumsum tulang, dan miokarditis.[6]
Amphotericin B dalam formulasi lipid lebih dipilih daripada amphotericin deoxycholate. Hal ini dikarenakan dalam bentuk lipid, kadar amphotericin bebas dalam darah lebih rendah sehingga kemungkinan untuk menyebabkan toksisitas lebih kecil.
Amphotericin B dalam sediaan lipid diberikan pada hari pertama sampai hari ke-5, lalu hari ke-14, dan hari ke-21 dengan dosis 3 mg/kgbb/hari atau dosis total setara 21 mg/kgBB. Di Asia, dosis total yang digunakan adalah 10–15 mg/kgBB.[6,13]
Terapi alternatif lain, yaitu paromomycin (aminosidine), dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 11 mg/kgBB/hari selama 21 hari.
Miltefosine merupakan regimen oral yang pertama kali disetujui sebagai tata laksana leismaniasis. Dosis yang direkomendasikan adalah 50 mg/hari untuk pasien dengan berat badan <25 kg, 50 mg 2 kali/hari untuk pasien dengan berat badan ≥25 kg, dan 2,5 mg/kgBB untuk anak usia 2–11 tahun. Miltefosine diberikan selama 28 hari.[6]
Selain medikasi dan eradikasi leismaniasis, penatalaksanaan juga perlu dilakukan pada penyakit penyerta, misalnya infeksi HIV-AIDS, tuberkulosis paru, dan infeksi bakteri sekunder pada kasus infeksi lokal. Penatalaksanaan malnutrisi perlu dilakukan karena pasien dengan malnutrisi memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi daripada pasien dengan status nutrisi yang cukup.
Terapi suportif yang dapat membantu penyembuhan adalah istirahat yang cukup, diet tinggi kalori dan protein, transfusi darah sesuai indikasi, serta manajemen luka.[5]