Diagnosis Leptospirosis
Diagnosis leptospirosis atau Weil’s disease ditegakkan melalui manifestasi klinis klasik dan riwayat kontak dengan cairan tubuh hewan atau air yang dicurigai terkontaminasi oleh cairan tubuh hewan. Pemeriksaan molekular berupa polymerase chain reaction, pemeriksaan serologi, dan kultur dapat dilakukan tetapi umumnya jarang tersedia.
Anamnesis
Riwayat yang harus digali saat anamnesis adalah riwayat bepergian ke daerah yang sedang mengalami kejadian luar biasa leptospirosis atau daerah yang endemis. Selain itu, dokter juga menanyakan riwayat pasien melakukan pekerjaan yang terpapar air atau tanah, seperti petani, peternak, pekerja kebun, pekerja tambang, pekerja potong hewan, dan pekerja kebersihan. Riwayat paparan dengan urine hewan pengerat dan air banjir juga perlu ditanyakan.
Anamnesis manifestasi klinis dilakukan dengan memperhatikan fase-fase leptospirosis, yakni fase anikterik, fase ikterik, dan fase penyembuhan. Fase ikterik dengan gejala berat sering disebut sebagai Weil’s disease. Namun, tidak semua pasien mengalami fase ini. Sebagian besar pasien hanya mengalami manifestasi klinis ringan.[1,3,4,6,13]
Fase Anikterik
Pada fase ini, dokter dapat menemukan gejala klasik seperti:
- Sakit kepala
- Demam dengan suhu 38–40°C
- Rasa menggigil
- Nyeri otot khususnya pada daerah betis dan lumbal
- Konjungtiva merah (conjunctival suffusion)
- Mual dan muntah
- Anoreksia
- Faringitis
- Bercak kemerahan pada kulit yang tidak gatal
- Batuk kering[6,10-13]
Fase ini dapat bertahan selama 5–7 hari, yang mungkin diikuti oleh fase penyembuhan di 1–3 hari berikutnya, di mana terjadi penurunan suhu tubuh dan gejala.[1,6,10-13,19]
Fase Ikterik atau Weil’s Disease
Fase ini tampak pertama kali pada hari ke-5 hingga ke-9 dengan intensitas maksimal 4 atau 5 hari, kemudian dapat terus berlanjut hingga rata-rata 1 bulan. Umumnya pasien mengeluhkan nyeri area hati jika disentuh. Gejala yang timbul pada fase ini adalah:
- Ikterus
- Gangguan paru-paru termasuk batuk dengan atau tanpa darah, sesak napas, dan nyeri dada hingga gagal napas
- Manifestasi perdarahan seperti petekie, epistaxis, gusi berdarah, hemokesia, dan melena
- Gangguan hepar seperti nekrosis hepar
- Gangguan ginjal yang ditandai dengan oliguria, edema tungkai, dan anemia
- Ruam kulit[1,6,10-13,19]
Fase Konvalesen atau Penyembuhan
Fase ini menunjukkan perbaikan keadaan umum, misalnya ikterus berangsur-angsur berkurang hingga menghilang, tekanan darah kembali normal, dan produksi urine ikut kembali normal. Fase ini terjadi sekitar 15–30 hari.[1,6,10-13,19]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, dokter umumnya menemukan demam >38oC, nyeri otot betis saat palpasi, faring hiperemis, serta konjungtiva kemerahan (conjunctival suffusion).
Pada fase ikterik, dokter mungkin menemukan kulit ikterik, hepatomegali yang teraba lewat palpasi, aritmia, hipotensi, kaku kuduk bila ada meningitis, ronki dan wheezing bila ada gangguan paru, dan tanda syok seperti denyut nadi melemah, sesak napas, keringat dingin, dan pucat.[1,6,10,13,19]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang mungkin diperlukan untuk mendiagnosis leptospirosis adalah pemeriksaan molekular seperti polymerase chain reaction (PCR), pemeriksaan serologi, dan kultur. Namun, tes-tes ini tidak selalu tersedia. Terapi empiris dapat diberikan bila gejala, tanda klinis, dan riwayat sudah sesuai leptospirosis meskipun belum ada hasil tes-tes laboratorium.[1,6,10,13,19]
Polymerase Chain Reaction
Pemeriksaan molekular dengan PCR dapat mengonfirmasi leptospirosis secara cepat sejak fase awal penyakit, bahkan sebelum titer antibodi dapat terdeteksi. DNA bakteri Leptospira dapat dideteksi di sampel darah pada fase bakterimia di awal penyakit dan di sampel cairan serebrospinal atau urine beberapa hari setelah onset. Akan tetapi, pemeriksaan ini membutuhkan peralatan, ruang laboratorium, dan analis khusus yang jarang tersedia.
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan IgM dengan metode ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) atau dengan metode rapid dapat digunakan untuk diagnosis leptospirosis. Namun, orang yang tinggal di area endemik umumnya sudah seropositif, sehingga bisa mempersulit proses diagnosis. Selain itu, antibodi biasanya baru terdeteksi beberapa hari setelah onset penyakit.
Untuk mengatasi isu tersebut, pemeriksaan serologi biasanya disarankan dilakukan dua kali, yaitu saat fase akut dan fase konvalesen. Namun, hal ini dapat membuat diagnosis tertunda, sehingga penggunaannya masih menjadi perdebatan.
Tes aglutinasi mikroskopik (MAT) juga bisa mendeteksi antibodi terhadap antigen Leptospira. Seseorang dinyatakan positif apabila ada kenaikan titer serum sebesar 4 kali atau kuantitas titer menunjukkan skala lebih dari 1:200 antara minggu pertama dan minggu ke empat.
Kultur Darah, Urine, dan Cairan Serebrospinal
Kultur darah, urine, dan cairan serebrospinal memerlukan keahlian spesialistik. Sampel dapat menunjukkan hasil positif apabila waktu pengambilan adalah sekitar 7–10 hari setelah onset gejala. Kekurangan kultur adalah sensitivitasnya rendah dan durasinya lama, sehingga membuat pengobatan pasien dapat tertunda.
Pemeriksaan Mikroskopik Lapangan Gelap
Pemeriksaan lapangan gelap atau dark-field dapat dilakukan untuk deteksi leptospirosis fase akut. Pemeriksaan ini melakukan visualisasi secara langsung terhadap Leptospira yang ada di sampel darah maupun urine. Akan tetapi, teknik ini memiliki kelemahan, yakni sensitivitas dan spesifitasnya yang rendah.
Pemeriksaan Lain untuk Mengevaluasi Komplikasi
Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, pencitraan, EKG, dan analisis cairan serebrospinal biasanya hanya berfungsi untuk mengevaluasi komplikasi di organ-organ lain pada kasus yang dicurigai mengalami komplikasi.
Pada pemeriksaan darah lengkap, dokter mungkin dapat menemukan trombositopenia, leukositosis dengan left-shift, dan anemia akibat perdarahan. Selain itu, dokter mungkin menemukan peningkatan enzim hati bila ada komplikasi hati dan peningkatan kreatinin serum bila ada gagal ginjal akut.
Urinalisis mungkin menunjukkan proteinuria dan hematuria. Sementara itu, pencitraan seperti rontgen toraks mungkin menunjukkan komplikasi paru. EKG pada kasus parah dengan gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik dapat menunjukkan abnormalitas. Analisis cairan serebrospinal dilakukan bila dokter perlu menyingkirkan kemungkinan meningitis akibat agen infeksi lain.[1,6,10,13,19]
Diagnosis Banding
Leptospirosis dapat didiagnosis banding dengan demam dengue, hepatitis A, malaria, meningitis, dan Q fever.[1,13,14-20]
Demam Dengue
Dengue umumnya terjadi di daerah tropis seperti Indonesia. Penyebab penyakit ini adalah virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Gejala yang timbul adalah demam dengan suhu bisa mencapai 40°C, nyeri persendian, nyeri belakang mata, demam naik turun berpola saddleback, dan perdarahan.[14]
Hepatitis A
Penyakit ini disebabkan infeksi virus hepatitis A. Gejala yang timbul dapat berupa demam, lemas, hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus, nyeri sendi dan otot, warna urine menjadi gelap, hingga warna tinja menjadi pucat. Penularan penyakit ini terjadi melalui makanan yang terkontaminasi oleh virus hepatitis A.[15]
Malaria
Malaria disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium yang ditularkan melalui nyamuk Anopheles betina. Gejala yang muncul adalah demam tinggi hingga menggigil, sakit kepala, keringat banyak, lemas, nyeri otot dan sendi, mual, muntah, hingga anemia.[16]
Meningitis
Meningitis adalah inflamasi pada meningen akibat bakteri, virus, atau agen infeksi lain. Gejala yang timbul umumnya berupa panas tinggi, sakit kepala, dan kaku leher. Selain itu, gejala bisa berupa mual, muntah, fotofobia, delirium, hingga koma.[17]
Q Fever
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri gram negatif Coxiella burnetii yang penularannya terjadi melalui aerosol. Selain itu, cara penularan lainnya yang jarang adalah melalui gigitan serangga dan penularan antar manusia. Gejala adalah demam tinggi yang diikuti sakit kepala, myalgia, nyeri sendi, dan nyeri otot.[18]
Penulisan pertama oleh: dr. Riawati