Patofisiologi Malaria
Memahami siklus hidup Plasmodium merupakan hal yang penting untuk mengerti patofisiologi malaria.
Siklus Hidup Plasmodium
Siklus hidup Plasmodium dibagi 2, yakni stadium aseksual di dalam tubuh mansia dan stadium seksual di dalam tubuh nyamuk.[1]
Gambar 1. Siklus Hidup Plasmodium
Sumber gambar: dr. Saphira Evani, 2020
Saat menggigit manusia, nyamuk Anopheles sp. betina yang terinfeksi Plasmodium akan menginokulasi sporozoit dari air ludahnya ke sirkulasi darah manusia.[1]
Siklus Eksoeritrositik
Pada siklus eksoeritrositik, sporozoit akan menginvasi hepatosit, bereplikasi secara aseksual dan mengalami maturasi menjadi skizon. skizon kemudian ruptur melepaskan merozoit ke peredaran darah. Pasien asimtomatik selama siklus eksoeritrositik. Siklus eksoeritrositik berlangsung selama 8–25 hari untuk Plasmodium falciparum, 8–27 hari untuk Plasmodium vivax, 9–17 hari untuk Plasmodium ovale, dan 15–30 hari untuk Plasmodium malariae.[1,2,10]
Sejumlah sporozoit Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale tidak segera berkembang menjadi merozoit dalam siklus eksoeritrositik, melainkan menjadi hipnozoit. Hipnozoit mampu bertahan (dorman) di hepatosit dalam waktu panjang, yakni beberapa minggu hingga beberapa tahun. Setelah fase dorman tersebut, hipnozoit dapat kembali aktif dan menghasilkan merozoit untuk dilepaskan ke sirkulasi darah. Hipnozoit yang menyebabkan kasus malaria relaps.[10]
Siklus Eritrositik
Merozoit kemudian menginfeksi eritrosit yang menandai awal siklus eritrositik. Merozoit kemudian berkembang menjadi trofozoit imatur (cincin), trofozoit matur, terakhir menjadi skizon yang ketika ruptur kembali melepaskan merozoit dan kembali menginfeksi eritrosit normal.[1,2]
Sebagian parasit dalam bentuk trofozoit imatur berdiferensiasi menjadi mikrogametosit (jantan) atau makrogametosit (betina). Gametosit tersebut akan ikut masuk ke dalam tubuh nyamuk Anopheles sp. saat menggigit manusia.[1,2]
Durasi siklus eritrositik berbeda-beda tergantung pada spesies Plasmodium yang berimplikasi pada gejala demam yang muncul setiap 24 atau 48 jam.[2,3]
Siklus Sporogenik
Siklus sporogenik terjadi dalam tubuh nyamuk. Parasit berkembang biak secara seksual, yang diawali dengan mikrogametosit mempenetrasi makrogametosit dan menghasilkan zigot. Kemudian, zigot berubah menjadi ookinet yang motil dan menginvasi dinding saluran pencernaan tengah (midgut) nyamuk dan berkembang menjadi oocyst. Oocyst kemudian akan ruptur dan melepaskan sporozoit yang akan masuk ke kelenjar ludah nyamuk.[1,2]
Patofisiologi Malaria
Patofisiologi munculnya gejala pada malaria berkaitan dengan siklus eritrositik parasit. Parasitemia meningkat setiap kali terjadi lisis eritrosit dan ruptur skizon eritrosit yang melepaskan ribuan parasit dalam bentuk merozoit dan zat sisa metabolik ke sirkulasi darah. Tubuh yang mengenali antigen tersebut kemudian melepaskan makrofag, monosit, limfosit, dan berbagai sitokin, seperti tumor necrosis factor alpha (TNF- α).[2,3,11]
Sitokin TNF-α dalam sirkulasi darah yang sampai ke hipotalamus akan menstimulasi demam. Demam bertahan selama 6–10 jam, lalu suhu tubuh kembali normal, dan meningkat kembali setiap 48–72 jam saat siklus eritrositik lengkap. Selain TNF-α, ditemukan juga sitokin proinflamasi lainnya, seperti interleukin 10 (IL-10) dan interferon γ (IFN- γ). Pada fase infeksi lanjutan, tubuh memproduksi antibodi yang membantu proses pembersihan parasit melalui jalur makrofag-sel T-sel B.[2,3,12-15]
Parasitemia pada malaria falciparum lebih hebat dibandingkan parasitemia spesies lain. Hal ini disebabkan karena Plasmodium falciparum dapat menginvasi semua fase eritrosit, sedangkan Plasmodium vivax lebih dominan menginfeksi retikulosit dan Plasmodium malariae menginvasi eritrosit matur. Tingkat parasitemia biasanya sebanding dengan respons tubuh manusia dan keparahan gejala klinis.[9,16,17]
Anemia pada malaria terjadi akibat proses hemolisis dan fagositosis eritrosit, baik yang terinfeksi maupun normal oleh sistem retikuloendotelial pada limpa. Peningkatan aktivitas limpa menyebabkan splenomegali. Anemia berat juga dipengaruhi oleh gangguan respons imun monosit dan limfosit akibat hemozoin (pigmen toksik hasil metabolisme Plasmodium), sehingga terjadi gangguan eritropoiesis dan destruksi eritrosit normal.[15,18]
Hemolisis dapat juga diinduksi oleh kuinin atau primaquine pada orang dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) herediter. Pigmen yang keluar ke dalam sirkulasi saat hemolisis dapat terakumulasi di sel retikuloendotelial limpa, sehingga folikelnya menjadi hiperplastik dan kadang-kadang nekrotik. Pigmen juga dapat mengendap dalam sel Kupffer hati, sumsum tulang, otak, dan berbagai organ lain.[15]
Hemolisis dapat meningkatkan serum bilirubin sehingga menimbulkan jaundice. Malaria falciparum dapat disertai hemolisis berat yang menyebabkan hemoglobinuria (blackwater fever).[15]
Malaria dalam Kehamilan
Plasmodium falciparum dapat menimbulkan berbagai kelainan pada kehamilan, melalui kemampuan parasit untuk melakukan sekuestrasi dan berikatan dengan molekul plasenta, seperti kondroitin sulfat. Protein PfEMP1 parasit memproduksi gen var2CSA (variant surface antigen 2-CSA) yang berikatan dengan kondroitin sulfat saat parasit menembus plasenta, sementara parasit yang tidak berikatan tetap beredar di sirkulasi darah.[15]
Antibodi maternal yang terbentuk dari infeksi sebelumnya akan merusak parasit yang tidak berikatan dengan kondroitin sulfat, sedangkan parasit yang sudah menembus plasenta tidak dapat dirusak dan dapat berkembang biak. Gambaran patologi yang ditemukan pada plasenta berupa fibrin berpigmen (infeksi lama) atau parasit dengan atau tanpa sel mononuklear (infeksi aktif).[15]