Pendahuluan Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Virus rabies ditransmisikan ke manusia melalui kontak langsung antara luka terbuka atau membran mukosa manusia dengan jaringan atau cairan tubuh hewan terinfeksi. Hewan yang dapat menularkan rabies ke manusia mencakup anjing, kelelawar, kucing, dan kera.[1,2]
Riwayat pajanan hewan terinfeksi yang jelas, disertai munculnya tanda neurologis yang progresif adalah indikator positif diagnosis rabies. Gejala awal rabies mirip dengan flu, termasuk kelemahan, demam, atau sakit kepala. Pasien juga bisa merasakan ketidaknyamanan, tusukan, atau sensasi gatal di lokasi gigitan.
Selanjutnya, gejala berkembang menjadi disfungsi serebral, kecemasan, kebingungan, dan agitasi. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi virus rabies, antara lain isolasi virus, fluorescent antibodies test, dan reverse transcription polymerase chain reaction.[3,4]
Hingga saat ini, belum ada terapi yang dapat menyembuhkan rabies. Rabies hampir pasti fatal ketika sudah muncul gejala dan hanya dapat diberikan penanganan simtomatik dan suportif. Meski begitu, penyakit rabies dapat dicegah dengan identifikasi dini dan tata laksana pasca pajanan sedini mungkin. Tata laksana pasca pajanan meliputi penanganan pertama luka dan pemberian profilaksis pasca pajanan dengan vaksin rabies dan imunoglobulin sesuai kategori luka dan status vaksinasi pasien.[1-3]
Profilaksis rabies sebelum paparan berupa pemberian vaksin rabies tidak umum dilakukan. Hal ini hanya direkomendasikan pada populasi risiko tinggi, seperti petugas laboratorium, dokter hewan, pawang hewan, dan petugas yang menangani satwa liar.[2,3]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita