Etiologi Rabies
Etiologi rabies adalah virus neurotropik dari subgrup virus rabies, genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, ordo Mononegavirales.[1,5]
Virus Rabies
Virus rabies berbentuk peluru berukuran 130-300 nm dengan diameter 70 nm. Struktur virus terdiri atas 2 komponen utama yaitu amplop lipoprotein dan inti ribonukleoprotein (RNP) berbentuk heliks. Di dalam RNP, RNA genom terbungkus nukleoprotein. Pada nukleokapsid virus terdapat Negri bodies, yang dapat terdeteksi di sitoplasma neuron pasien yang terinfeksi.[3-5]
Susunan protein dan genom RNA menentukan struktur virus rabies. Virus rabies memiliki genom RNA untai tunggal negatif dan tidak bersegmen yang mengkode 5 protein, yaitu nucleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrix protein (M), glycoprotein (G) dan polymerase (L). Glikoprotein G berperan penting dalam timbulnya imunitas oleh induksi vaksin dan dalam identifikasi serologi virus rabies.[3]
Virus rabies dapat bertahan dengan pemanasan suhu 56°C selama 30 menit, dan pada suhu 100°C selama 2-3 menit. Sedangkan pada suhu 4°C (kering beku), virus dapat bertahan selama bertahun-tahun. Virus rabies dapat bertahan dalam air liur selama 24 jam. Virus rabies dapat menjadi inaktif atau non-infeksius melalui desikasi, paparan ultraviolet, paparan x-ray, pengaruh keadaan asam dan basa, serta zat pelarut lemak (ether, kloroform, Na deoksikolat, deterjen, dan air sabun).[3,5]
Transmisi Virus
Virus rabies ditransmisikan melalui kontak langsung antara luka terbuka atau membran mukosa manusia (mata, hidung, mulut) dengan jaringan atau cairan hewan terinfeksi, yaitu air mata, jaringan saraf (otak), saliva, dan cairan saluran napas. Sementara itu, darah, urine, dan feses hewan tidak bersifat infeksius.[1,3,5]
Hingga saat ini belum ada laporan transmisi antar-manusia, kecuali transplantasi organ yang terinfeksi. Rabies tidak ditransmisikan melalui benda-benda yang terkontaminasi seperti pakaian atau sprei.[3]
Hewan karier (pembawa virus) dapat bervariasi antar daerah. Hewan yang berisiko tinggi mentransmisikan rabies di Indonesia antara lain anjing, kera, rubah, serigala, luwak, kucing, rakun, sigung, singa gunung, kijang, dan kelelawar.[1,3-5]
Terdapat 2 mode transmisi virus rabies dari hewan ke manusia, yaitu melalui gigitan (bite) dan bukan gigitan (non-bite).[3,4]
Gigitan
Transmisi virus dapat terjadi melalui gigitan mamalia baik domestik (hewan jinak seperti peliharaan atau ternak) maupun liar. Gigitan dari hewan tanpa ada provokasi mengindikasikan bahwa hewan tersebut kemungkinan besar mengidap rabies.[1,3,4]
Risiko rabies melalui gigitan hewan terinfeksi tergantung pada jenis hewan yang menggigit, lokasi gigitan, dan keparahan luka. Maka dari itu, diperlukan penanganan yang tepat pada kasus gigitan mamalia. Gigitan kelelawar biasanya menimbulkan luka yang sangat kecil sehingga sering terabaikan.[3]
Bukan Gigitan
Transmisi virus bukan gigitan atau non-bite antara lain kontaminasi luka terbuka, abrasi, paparan mukosa, cakaran, jilatan, inhalasi aerosol virus, ingesti virus, transmisi transplasenta, dan transplantasi organ.[2-5]
Faktor Risiko
Faktor risiko pada rabies dikategorikan sebagai berikut:
- Kategori I (risiko ringan), yaitu menyentuh atau memberi makan hewan tersangka rabies, atau jilatan hewan pada kulit utuh
- Kategori II (risiko sedang), yaitu gigitan hewan tersangka rabies pada kulit terbuka, terdapat luka goresan kecil atau lecet tanpa perdarahan
- Kategori III (risiko tinggi), yaitu gigitan atau cakaran hewan tersangka rabies yang menimbulkan luka transdermal, jilatan hewan pada kulit yang rusak, kontaminasi selaput lendir oleh air liur hewan, atau kontak dengan kelelawar
Risiko rabies meningkat jika:
- Mamalia yang menggigit telah diketahui mengidap rabies
- Paparan terjadi di daerah endemi rabies
- Hewan terlihat sakit atau menunjukkan perilaku abnormal
- Hewan menggigit secara tiba-tiba tanpa ada pemicu
- Hewan tidak divaksinasi[2]
Individu dengan risiko tinggi terpapar rabies antara lain pekerja laboratorium yang memeriksa virus rabies, individu yang dikarenakan pekerjaan atau aktivitasnya sering berinteraksi dengan mamalia yang berpotensi rabies, dan individu yang bepergian ke daerah endemi rabies.[3,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita