Penatalaksanaan Rabies
Penatalaksanaan rabies lebih menekankan pada pencegahan pra pajanan dan pasca pajanan virus rabies. Rabies hampir pasti fatal ketika sudah muncul gejala dan hanya dapat diberikan penanganan simtomatik dan suportif.[2,3]
Tata Laksana Pasca Pajanan (Sebelum Onset Gejala)
Tata laksana yang dilakukan segera setelah pajanan dapat secara efektif mencegah onset gejala yang berujung kematian. Tata laksana pasca pajanan yaitu penanganan pertama luka (pembersihan luka) dan pemberian profilaksis pasca pajanan (vaksin anti rabies dan imunoglobulin). Tata laksana pasca-pajanan diberikan berdasarkan kategori risiko berikut:
- Kategori I, yaitu jika menyentuh atau memberi makan hewan tersangka rabies, atau jilatan hewan pada kulit utuh. Pada kategori risiko ini cukup dilakukan pencucian luka.
- Kategori II, yaitu jika hewan tersangka rabies menggigit kulit terbuka, terdapat luka goresan kecil atau lecet tanpa perdarahan. Pada kategori risiko ini dilakukan pencucian dan perawatan luka, serta diberikan vaksin anti rabies.
- Kategori III, yaitu jika gigitan atau cakaran hewan tersangka rabies menimbulkan luka transdermal, terjadi jilatan hewan pada kulit yang rusak, kontaminasi selaput lendir oleh air liur hewan, atau kontak dengan kelelawar. Pada kategori risiko ini dilakukan pencucian dan perawatan luka, serta diberikan vaksin anti rabies dan imunoglobulin[1,2]
Penanganan Pertama Luka
Penanganan pertama pada luka sangat efektif jika segera dilakukan dalam 3 jam setelah inokulasi virus rabies. Penanganan pertama luka dilakukan dengan mencuci area luka menggunakan sabun dan air mengalir. Debridemen dan eksplorasi terhadap benda asing (misalnya patahan gigi hewan) perlu dilakukan selama minimal 10 menit. Kemudian agen virusidal, seperti benzalkonium chloride atau povidone-iodine, diaplikasikan ke area luka dan luka dapat dibiarkan sembuh spontan.[1,4,5]
Luka pada anak-anak cenderung lebih luas di area wajah, tubuh atas, dan tangan karena perawakannya yang lebih kecil, sehingga biasanya diperlukan debridemen yang lebih luas dan rawat inap. Rawat inap juga diindikasikan untuk luka yang luas, luka daerah wajah atau tangan, luka yang memerlukan pembedahan, perlu transfusi, atau terjadi infeksi pada luka.[5]
Pemberian Profilaksis Pasca-Pajanan (Post-Exposure Prophylaxis/PEP)
Profilaksis pasca pajanan (PEP) meliputi pemberian vaksin rabies dan imunoglobulin segera setelah pajanan rabies untuk mencegah masuknya virus ke dalam sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan kematian dengan cepat. PEP hanya efektif jika diberikan sebelum onset gejala (virus belum mencapai sistem saraf pusat). Jika virus rabies telah mencapai sistem saraf pusat atau telah muncul gejala, maka pemberian PEP tidak akan memberikan manfaat.[5]
Vaksin Anti Rabies (VAR):
VAR bertujuan meningkatkan imunitas dengan menginduksi respon imun aktif. VAR diberikan dengan dosis 1 ml setiap kali pemberian.
Pada pasien dengan riwayat profilaksis pra pajanan VAR dalam 5 tahun terakhir, VAR diberikan pada hari ke-0 dan 3. Pada pasien yang belum pernah mendapat VAR sebelumnya, atau riwayat vaksin tidak diketahui (pasien lupa), atau riwayat vaksin terakhir lebih dari 5 tahun yang lalu, VAR diberikan pada hari ke-0, 3, 7, dan 14, kemudian ditambah hari ke 28 pada pasien immunocompromised.
Alternatif lain pemberian VAR yaitu 2 dosis pada hari ke-0, diinjeksikan di 2 area tubuh yang berbeda. Kemudian, 1 dosis pada hari ke-7 dan 21. VAR diberikan secara intramuskular di deltoid pada dewasa atau paha anterolateral pada anak. Injeksi VAR di gluteus tidak direkomendasikan karena dapat menurunkan titer antibodi penetralisir. Jika tidak memungkinkan pemberian intramuskular, maka VAR dapat diberikan secara intradermal di 2 area berbeda pada hari ke-0, 3, dan 7.[1,3-5]
VAR yang beredar antara lain purified vero rabies vaccine (PVRV), purified chick embryo cell-culture vaccine (PCECV), inactivated rabies virus (Pitmen Moore Strain 3218-vero).[4,7]
Imunoglobulin:
Pemberian imunoglobulin dapat memberikan imunitas pasif segera sampai tubuh dapat merespon vaksin dengan memproduksi antibodi sendiri (imunitas aktif). Imunoglobulin yang diberikan yaitu human rabies immune globulin (HRIG) dengan dosis 20 IU/kg untuk dewasa maupun anak.
Jika memungkinkan, semua dosis HRIG diinfiltrasikan ke area luka. Jika ada sisa, dapat diinjeksikan secara intramuskular di deltoid atau gluteus (atau paha atas anterolateral pada anak usia <1 tahun). Pada anak-anak, HRIG dapat diencerkan dengan cairan salin steril sebagai penambah volume. HRIG tidak boleh diberikan menggunakan syringe yang sama dengan vaksin, dan tidak boleh diinjeksikan pada lokasi yang sama dengan lokasi injeksi vaksin pada saat yang bersamaan.[1,3-5]
HRIG diberikan 1 kali segera setelah pajanan (hari ke-0) pada pasien tanpa riwayat VAR sebelumnya, atau riwayat vaksin tidak diketahui (pasien lupa), atau riwayat vaksin terakhir >5 tahun yang lalu. Jika HRIG belum tersedia pada hari ke-0, vaksin dapat diberikan terlebih dahulu, kemudian HRIG sebaiknya segera diberikan dalam kurun waktu 7 hari setelah vaksin pertama. Pemberian HRIG >7 hari setelah vaksin pertama tidak memberikan manfaat karena respon antibodi terhadap vaksin sudah terbentuk.[1,3,5]
Tidak ada kontraindikasi pemberian HRIG. HRIG tidak memiliki efek samping yang signifikan, tidak menimbulkan anafilaksis maupun serum sickness, dan tidak mentransmisikan virus hepatitis atau HIV.[1,5]
Tata Laksana Tambahan
Vaksin tetanus dapat diberikan jika pasien tidak mendapat vaksin tetanus dalam 10 tahun terakhir. Pemberian antibiotik hanya diberikan jika ada indikasi.[3,5]
Alur Tata laksana Kasus Paparan Hewan Tersangka Rabies
Pemberian PEP perlu mempertimbangkan kondisi hewan pada saat pajanan terjadi, hasil observasi hewan, hasil pemeriksaan laboratorium spesimen otak hewan, serta kondisi luka yang ditimbulkan.[1,7]
Sumber: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020.[7]
Luka risiko tinggi antara lain jilatan atau luka pada mukosa, luka di atas daerah bahu (leher, muka dan kepala), luka pada jari tangan dan jari kaki, luka di area genital, luka lebar atau dalam, serta luka multipel. Luka risiko rendah antara lain jilatan pada kulit terbuka atau cakaran dan gigitan yang menimbulkan luka.[7]
Rekomendasi pemberian PEP perlu disesuaikan epidemiologi setempat. Pada daerah dengan risiko tinggi rabies, PEP harus langsung diberikan meskipun hewan tersangka masih diobservasi. PEP dapat dihentikan jika dalam 10 hari tidak muncul rabies pada hewan tersangka atau terbukti negatif pada otopsi hewan. Jika hewan tidak dapat ditangkap atau spesimen otak tidak dapat diperiksa, maka PEP diberikan lengkap sesuai rekomendasi.[1,2,3,5]
Penanganan pada Hewan yang Memaparkan Rabies:
Prosedur pemeriksaan pada hewan tergantung dari jenis hewan tersangka, apakah merupakan hewan peliharaan, hewan terlantar, atau hewan liar. Jika hewan tersangka merupakan hewan peliharaan yang nampak sehat, maka hewan perlu dikurung dan diobservasi selama 10 hari. Jika muncul gejala pada hewan, maka hewan menjalani euthanasia untuk dilakukan pemeriksaan jaringan otak hewan di laboratorium.
Sementara itu, jika hewan tersangka merupakan hewan terlantar tanpa pemilik, maka hewan dapat dikurung untuk observasi 10 hari atau langsung menjalani euthanasia untuk pemeriksaan jaringan otak hewan di laboratorium.
Jika hewan tersangka merupakan hewan liar (sigung, rakun, rubah, kelelawar), maka hewan langsung menjalani euthanasia, tidak perlu diobservasi dahulu, untuk pemeriksaan jaringan otak hewan di laboratorium.[3,5]
Identifikasi rabies positif pada hewan dapat membantu memberikan informasi mengenai pola epidemiologi di daerah tersebut untuk kemudian dilakukan program pengendalian rabies. Identifikasi rabies negatif pada hewan dapat mencegah pasien dari trauma fisik dan psikologis yang tidak perlu, maupun beban finansial.[3]
Tata Laksana Setelah Onset Gejala
Pasien dengan gejala rabies, dimana virus rabies telah mencapai sistem saraf pusat, perlu dirujuk untuk rawat inap ke fasilitas kesehatan dengan alat diagnostik yang memadai dan fasilitas perawatan intensif. Hingga saat ini, belum ada terapi yang dapat menyembuhkan rabies. Penatalaksanaan hanya bersifat simtomatik dan suportif.
Rabies simtomatik hampir selalu fatal, dengan disfungsi otonomik yang mengarah ke aritmia dan hipotensi. Terapi yang paling memungkinkan pada rabies simtomatik berupa perawatan suportif kardiopulmonar yang intensif. Pemberian sedasi dapat digunakan secara terbatas untuk ketenangan pasien dan penanganan spasme pasien.
VAR dan HRIG sudah tidak efektif untuk rabies simtomatik karena sistem saraf pusat tidak memiliki mekanisme imun humoral untuk meningkatkan antibodi. Inflamasi yang terjadi juga tidak cukup untuk membuat limfosit B menembus blood-brain barrier dan meningkatkan pertahanan.[1,2,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita