Patofisiologi Schistosomiasis
Patofisiologi schistosomiasis dimulai saat serkaria menembus kulit hospes definitif, yaitu manusia. Timbul respon imun terhadap antigen cacing dan telur yang menentukan perjalanan penyakit, menjadi simptomatik hingga kronis, atau asimptomatik hingga dorman.[3]
Proses Infeksi
Ketika serkaria menembus kulit, terjadi perubahan serkaria menjadi schistosomula yang mengikuti aliran darah ke jantung kanan, paru, kemudian ke jantung kiri dan ke peredaran darah besar. Saat kembali melalui vena porta hepatis, schistosomula berkembang menjadi dewasa di hati dalam 3–6 minggu.
Pada fase dewasa, Schistosoma kembali ke vena usus dan vesica urinaria. Di usus, cacing betina yang telah berkopulasi akan mengeluarkan telur yang dapat menembus dinding usus dan vesika urinaria, sehingga telur dapat keluar melalui feses dan urin.[4]
Infeksi Akut
Serkaria yang menembus kulit menunjukkan reaksi peradangan berupa ruam makulopapular akibat enzim proteolitik. Saat menembus, serkaria menghasilkan prostaglandin D2 (PGD2) yang menyebabkan penurunan respons imun pejamu. Dalam proses perkembangan menjadi dewasa, sistem imun pejamu tidak terpicu dan baru terpicu ketika cacing dewasa berkopulasi dan menghasilkan telur.
Telur yang bersirkulasi menyebabkan kerusakan vaskular dan jaringan sekitar yang menyebabkan pseudoabses. Proses ini menyebabkan leukosit memproduksi tumor necrosis factor (TNF), interleukin–1 (IL1), dan interleukin–6 (IL6) oleh T–helper 1 (TH1). Dalam proses perkembangan infeksi, inflamasi akibat TH1 akan berkurang dan sel T–helper 2 (TH2) akan lebih teraktivasi dan memproduksi interleukin–10 (IL10).[3]
Infeksi Kronis
Respons TH2 yang berkelanjutan akan memproduksi interleukin–13 (IL13). IL13 memiliki potensi menimbulkan masalah klinis yang lebih berat karena memiliki kemampuan fibrinogenesis yang mampu menyebabkan fibrosis pada hepar.
Fibrosis hepar pada penderita schistosomiasis cukup jarang terjadi dan dikaitkan dengan gen SM2, dimana penderita lebih rentan mengalami fibrosis hepar hingga hipertensi portal. Bila tidak diterapi dengan baik, fibrosis hepar dapat berlanjut menjadi sirosis hepatis.[3]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli