Penatalaksanaan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
Penatalaksanaan severe acute respiratory syndrome (SARS) berfokus pada pemberian terapi suportif, karena terapi belum ada terapi definitif seperti antivirus yang benefisial dan efektif menangani SARS. Terapi suportif mencakup pemberian oksigen, ventilasi, hidrasi, antipiretik, analgesik, serta antibiotik untuk kasus infeksi sekunder oleh bakteri.[1,33,51]
Untuk mencegah transmisi terutama transmisi nosokomial, pasien yang dicurigai SARS harus dirawat di ruang isolasi dengan ventilasi negatif agar tidak menginfeksi pasien lain. Pasien perlu dipantau sampai hasil tes reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) terkonfirmasi negatif dan pasien sudah menunjukkan perbaikan klinis.
Selain itu, tenaga kesehatan yang merawat pasien probable atau terkonfirmasi SARS harus menggunakan alat pelindung diri dan lebih dianjurkan untuk menggunakan respirator N95 dari pada masker bedah.[32,34]
Terapi Suportif
Terapi suportif berfokus pada pemberian oksigen, ventilasi, hidrasi, dan obat–obatan pendukung. Obat–obatan yang digunakan dapat berupa antipiretik, analgesik, dan antibiotik pada kasus dengan infeksi sekunder oleh bakteri.
Oksigen dan Ventilasi
Pasien dengan SARS umumnya akan mengalami pneumonia, sehingga sangat mungkin merasa sesak. Pemberian oksigen dilakukan sesuai klinis dengan target SpO2 ≥90% pada orang dewasa yang tidak hamil dan SpO2 ≥92–95% pada ibu hamil. Apabila saturasi target tidak tercapai dengan pemberian oksigen noninvasif, dapat dilakukan intubasi maupun trakeostomi dan ventilasi mekanik.[34,35]
Terapi Cairan
Terapi cairan pada pasien SARS, terutama pada pasien dengan syok sepsis, harus dilakukan secara berhati–hati. Syok sepsis dan hipoksemia umumnya ditandai dengan hipotensi yang menetap setelah fluid challenge atau adanya tanda hipoperfusi jaringan (konsentrasi laktat dalam darah >4 mmol/Liter).
Terapi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan hemodilusi serta meningkatkan cardiac filling pressure dan overload cairan yang ditandai dengan crackles pada auskultasi dan gambaran edema paru pada rontgen toraks. Pemantauan tanda vital dan SpO2 juga diperlukan pada pasien yang menerima terapi cairan.[36]
Terapi Lainnya
Saat epidemi SARS pertama kali muncul, berbagai regimen kortikosteroid diberikan sebagai terapi inisial dan biasanya dikombinasikan dengan ribavirin. Akan tetapi, pemberian kortikosteroid kini tidak disarankan karena efek samping seperti infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, dan replikasi virus yang berkepanjangan.
Suatu analisis retrospektif terkait penggunaan steroid melaporkan peningkatan risiko mortalitas dalam 30 hari. Sebagai terapi suportif, antipiretik dapat diberikan pada pasien demam dan antibiotik dapat diberikan pada pasien dengan infeksi sekunder oleh bakteri.[37]
Medikamentosa
Hingga saat ini belum terdapat terapi medikamentosa definitif untuk SARS. Akan tetapi, terdapat kontroversi pemberian antiviral, interferon, antibodi monoklonal, dan imunoglobulin intravena untuk tata laksana SARS.
Antiviral
Antiviral sebagai terapi SARS sebenarnya masih kontroversial. Masih sedikit penelitian yang menunjukkan efektivitas penggunaan antiviral untuk manajemen SARS. Antiviral yang digunakan saat epidemi SARS adalah ribavirin yang biasanya dikombinasikan dengan kortikosteroid dan oksigen. Hingga kini, ribavirin tidak memiliki aktivitas yang terbukti melawan coronavirus penyebab SARS.[38]
Antiviral golongan protease inhibitor seperti lopinavir dan ritonavir terbukti memiliki efek in vitro terhadap SARS–CoV. Akan tetapi, hasil dari pasien yang menerima lopinavir atau ritonavir sebagai salvage therapy pada perburukan gejala pernapasan setelah terapi metilprednisolon tergolong buruk.[39,40]
Interferon
Interferon tipe 1 dapat menghambat virus RNA dan DNA termasuk SARS–CoV, di mana efek ini telah didemonstrasikan secara in vitro baik pada sel manusia maupun sel hewan.
Pada eksperimen kera Cynomolgus yang diinfeksi SARS–CoV, pengobatan profilaksis dengan pegylated IFN–alfa secara signifikan dapat mengurangi replikasi virus, mengurangi ekspresi antigen virus berdasarkan pneumosit tipe 1, dan mengurangi kerusakan paru–paru. Akan tetapi, hasil pasca terapi dengan pegylated IFN–alfa tidak begitu memuaskan.[41]
Pada pasien SARS, penggunaan IFN-alfacon1 dengan kortikosteroid dikaitkan dengan peningkatan oksigenasi, resolusi dari opasitas rontgen toraks yang lebih cepat, dan penurunan kadar kreatin fosfokinase (CPK). Masih diperlukan studi lebih lanjut untuk temuan ini.[42]
Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal (MAbs) telah dikembangkan dan berdasarkan studi bekerja terhadap protein permukaan pada nukleokapsid SARS–CoV. Akan tetapi, pada praktik klinis, obat ini kurang direkomendasikan karena tidak terbukti benefisial pada infeksi SARS-CoV.[43,51]
Terapi Plasma Konvalesens
Terapi plasma konvalesens sempat digunakan pada saat epidemi SARS. Sebagian studi menyebutkan bahwa penggunaannya pada fase awal penyakit mungkin memberikan benefit. Akan tetapi, banyak studi yang juga tidak menemukan manfaat penggunaannya secara klinis.[44]
Glycyrrhizin
Penggunaan glycyrrhizin pada sel Vero berhubungan dengan terhambatnya replikasi virus SARS–CoV. Selain itu, glycyrrhizin juga mempengaruhi signaling pathway serta faktor transkripsi pada sel, seperti nuclear factor κB. Akan tetapi, masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai hal ini.[45]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli