Pendahuluan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
Severe acute respiratory syndrome (SARS) merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS–CoV). Penyakit ini pertama kali ditemukan di China Selatan pada November 2002 dan sempat diumumkan WHO sebagai ancaman global pada 15 Maret 2003. Saat itu, SARS merupakan epidemi baru yang menyebar dengan cepat ke seluruh dunia, terutama di negara–negara Asia.[1,2]
Virus SARS–CoV dapat menyebar melalui droplet, kontak dengan material terkontaminasi, dan melalui jalur fecal–oral. Umumnya, SARS menunjukkan gambaran pneumonia atipikal dengan gejala demam, batuk dan sesak yang dapat berkembang menjadi acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada 20% kasus. Apabila ARDS tidak ditangani, penyakit dapat berkembang menjadi sepsis, syok sepsis, dan kematian. Penyakit ini memiliki laju mortalitas sekitar 10%.[1,3]
Baku emas diagnosis SARS adalah pemeriksaan laboratorium reverse–transcriptase polymerase chain reaction (RT–PCR). Bila RT–PCR tidak tersedia atau sulit dilakukan, penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis riwayat kontak dengan orang berisiko, musang bulan atau kelelawar.[1–5]
Sampai saat ini, belum terdapat antiviral yang terbukti efektif untuk tata laksana definitif SARS. Penatalaksanaan SARS yang dianggap paling penting adalah terapi suportif yang mengupayakan agar penderita tidak mengalami dehidrasi, gagal napas, dan infeksi sekunder.
Terapi suportif meliputi pemberian cairan kristaloid dan oksigen. Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati–hati karena dapat memperburuk oksigenasi apabila diberikan secara berlebihan. Penggunaan alat bantu pernapasan seperti ventilator mekanik dengan intubasi juga disarankan untuk tata laksana gagal napas.[2,4]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli