Patofisiologi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
Patofisiologi severe acute respiratory syndrome (SARS) diawali dengan interaksi protein pada severe acute respiratory syndrome coronavirus (SARS–CoV) dengan sel di paru dan usus kecil manusia melalui reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2).
Setelah memasuki sel manusia, encoding genome akan terjadi untuk memfasilitasi ekspresi gen yang membantu adaptasi virus dalam tubuh inang dan mengaktivasi jalur inflamasi.[51]
Perlekatan dan Fusi Coronavirus
Perlekatan dan fusi SARS–CoV diawali oleh interaksi protein virus dengan sel manusia melalui reseptor ACE2 yang di ekspresikan di alveolar paru dan usus kecil manusia. Protein spike yang terdapat pada permukaan SARS–CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan ACE2 manusia. Ikatan ini memungkinkan SARS–CoV masuk ke dalam membran sel inang dan memediasi infeksi SARS–CoV pada paru.[6,7,51]
Tubuh manusia juga memiliki dendritic cell–specific intercellular adhesion molecule–grabbing nonintegrin (DC–SIGN) dan protein CD209L (L–SIGN) yang dapat membantu memfasilitasi penyebaran SARS–CoV.
Setelah memasuki sel, encoding genome akan terjadi untuk memfasilitasi ekspresi gen yang membantu SARS–CoV beradaptasi pada tubuh inang. RNA virus kemudian dikeluarkan dalam sitoplasma sel inang. Proses ini diikuti dengan respons imun seluler dan adaptif yang memunculkan reaksi proinflamasi.[6,7]
Respon Imun Seluler dan Adaptif
Infeksi SARS–CoV akan meningkatkan sitokin proinflamasi seperti interleukin–10, IFN–gamma, dan interleukin–1. Infeksi ini juga akan menurunkan limfosit T dan subsetnya seperti sel T CD4+ dan CD8+.
Antibodi IgG spesifik SARS dihasilkan pada minggu kedua dan dapat bertahan lama sedangkan IgM hanya bertahan sementara. Protein spike dan protein nukleokapsid yang banyak terdapat di SARS–CoV berkontribusi penting terhadap produksi antibodi selama perjalanan penyakit.[8]
Distribusi Organ yang Terdampak SARS-CoV
Selain di paru, SARS–CoV juga dapat dijumpai pada trakea, bronkus, lambung, tubulus ginjal, kelenjar keringat, paratiroid, hipofisis, pankreas, kelenjar adrenal, hati dan serebrum. Hal ini menunjukkan bahwa selain pada sistem pernapasan, SARS–CoV juga dapat mempengaruhi saluran pencernaan dan organ lain.
Perubahan patologis pada organ–organ ini dapat disebabkan secara langsung oleh efek sitopatik yang dimediasi replikasi lokal SARS–CoV atau secara tidak langsung oleh respon sistemik terhadap gagal napas atau respons imun berlebihan akibat infeksi virus.[1,3]
Rerata periode inkubasi adalah 6,4 hari (rentang 2–10 hari). Manifestasi klinis yang muncul menyerupai gejala infeksi sistem pernapasan akut (ISPA) biasa yaitu demam, batuk, dan sesak napas yang dapat diikuti dengan pneumonia berat.
Apabila pneumonia tidak ditangani, gejala acute respiratory distress syndrome (ARDS) akan muncul. Syok sepsis juga dapat terjadi dan ditandai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi dengan tekanan darah sistol <90 mmHg walaupun sudah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.[5,9]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli