Diagnosis Strongyloidiasis
Diagnosis infeksi akut strongyloidiasis dapat dicurigai pada pasien dengan manifestasi kulit berupa larva currens. Pada infeksi kronis, keluhan pasien dapat berupa gejala gastrointestinal, seperti perut kembung atau diare, atau gejala pernapasan, misalnya batuk kering kronis. Baku emas diagnosis adalah dengan pemeriksaan mikroskopik tinja untuk menemukan larva Strongyloides stercoralis.
Anamnesis
Anamnesis diperlukan untuk mengetahui gejala klinis, baik pada fase akut maupun kronis. Pada anamnesis, penting untuk mencari tahu faktor risiko pasien terinfeksi Strongyloides.
Infeksi Akut
Pada infeksi akut, masuknya larva cacing ke dalam kulit dapat menyebabkan keluhan gatal dan kemerahan pada kulit. Lesi kulit awal dapat diikuti dengan timbulnya edema dan urtikaria yang mungkin bertahan selama 3 minggu.
Setelah sekitar 1 minggu, batuk kering dapat terjadi. Pada minggu ke-3, dapat muncul keluhan saluran pencernaan, antara lain diare, nyeri abdomen, konstipasi, dan anoreksia.[6,7,12]
Infeksi Kronis
Strongyloidiasis kronis biasanya tidak disertai gejala atau hanya bergejala ringan. Gejala yang dialami dapat berupa gejala gastrointestinal, kulit, dan pernafasan. Gejala gastrointestinal yang dapat terjadi pada infeksi kronis berupa nyeri perut, nyeri ulu hati, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, gatal pada anus, dan penurunan berat badan.
Gejala kulit dapat berupa rasa gatal, serta munculnya lesi pada kulit. Lesi kulit patognomonik pada strongyloidiasis disebut sebagai larva currens, yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas akibat migrasi larva.
Gejala pernafasan dapat berupa nyeri dada, batuk kering kronis, hingga sesak. Gejala strongyloidiasis akut dan kronis dapat ditemukan pada strongyloidiasis berat, yang diikuti oleh gejala neurologis seperti nyeri kepala, kejang fokal, hingga penurunan kesadaran, serta dapat melibatkan multiorgan.[6,7,12]
Faktor Risiko
Riwayat faktor risiko infeksi Strongyloides perlu ditanyakan pada pasien. Pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV), maupun infeksi T-lymphotropic virus 1 berisiko lebih tinggi untuk terkena infeksi berat, seperti hiperinfeksi dan diseminasi.
Penurunan imunitas yang disebabkan oleh konsumsi obat, misalnya kortikosteroid, seperti dexamethasone, atau antikanker, seperti chlorambucil , serta kondisi medis lain, misalnya diabetes, malnutrisi, alkoholisme, juga dapat meningkatkan risiko infeksi strongyloidiasis berat.[6,10]
Pemeriksaan Fisik
Pada strongyloidiasis akut, pemeriksaan fisik dapat memberikan gambaran edema, urtikaria, dan petekie di lokasi masuknya larva Strongyloides stercoralis, biasanya pada kaki. Gambaran bronkopneumonia dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik saat masa larva bermigrasi di saluran pernapasan. Pasien dapat terlihat anemis saat larva masuk ke dalam mukosa usus.
Pada strongyloidiasis kronik, lesi kulit yang dapat ditemukan berupa larva currens. Larva currens merupakan lesi linear serpiginosa disertai urtikaria sebagai gambaran pergerakan cacing intradermal. Kecepatan pergerakan larva yang mencapai 5–10 cm/jam dan lokasi lesi biasanya pada bokong, selangkangan, perut, dan batang tubuh. Lesi akan hilang setelah 12–48 jam, tetapi dapat bersifat rekuren akibat autoinfeksi.[2,6,13]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding strongyloidiasis dipikirkan berdasarkan kemiripan manifestasi klinis, baik pada saluran gastrointestinal, pernapasan, atau kulit. Beberapa diagnosis banding, antara lain asma, kolitis ulseratif, dan cutaneous larva migrans. Untuk membedakan strongyloidiasis dari diagnosis banding lain, dapat dilakukan pemeriksaan tinja secara mikroskopik, untuk mencari larva rhabditiform.
Asma
Pada pasien strongyloidiasis terkadang ditemukan gejala dispnea dan wheezing, sehingga menyerupai asma. Namun, asma biasanya sudah terjadi sejak pasien masih kanak-kanak. Selain itu pada penderita asma biasa ditemukan riwayat dermatitis atopik atau rhinitis alergi yang menyertai, baik pada pasien atau keluarganya.[15]
Kolitis Ulseratif
Beberapa gejala kolitis ulseratif serupa dengan strongyloidiasis, antara lain diare, nyeri abdomen, dan demam. Namun, biasanya ulseratif kolitis juga disertai dengan gejala lain, misalnya perdarahan per rektum, dehidrasi akibat keluarnya cairan purulen pada rektum, kram perut, dan distensi abdomen. Diagnosis kolitis ulseratif dikonfirmasi dengan endoskopi dan biopsi untuk melihat mukosa kolon yang abnormal.[16]
Cutaneous Larva Migrans
Cutaneous Larva Migrans (CLM) merupakan lesi kulit akibat infeksi cacing tambang, yang memiliki efloresensi serupa dengan larva currens. Lesi sama-sama berbentuk serpiginosa, berwarna merah, dan terasa gatal. Namun, berbeda dengan larva currens, pertumbuhan lesi CLM lebih lambat, yaitu kurang dari 1–2 cm/hari, dan lesi banyak ditemukan pada ibu jari kaki. Selain itu, ada pasien CLM, biasanya tidak terjadi eosinofilia.[12,17]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam penegakan diagnosis strongyloidiasis adalah pemeriksaan tinja dan serologi.[6]
Sampel Tinja
Penemuan larva pada tinja, cairan duodenum, atau pada cairan jaringan lain dapat menegakkan diagnosis strongyloidiasis secara definitif. Tetapi, karena densitas larva umumnya rendah, pemeriksaan disarankan untuk dilakukan berulang. Beberapa metode yang dianjurkan untuk memeriksa sampel tinja secara mikroskopis adalah :
Microscopy after concentration, dengan teknik Baermann funnel dan formalin-ether concentration technique (FECT)
Microscopy after culture, dengan teknik yang disarankan adalah Harada-Mori filter paper culture dan kultur agar Koga
- Mikroskopi direk, dengan melihat apusan tinja dalam salin dan pewarnaan Lugol iodin secara langsung di bawah mikroskop [1,6]
Pemilihan penggunaan teknik di atas didasarkan atas ketersediaan di masing-masing fasilitas kesehatan. World Gastroenterology Organisation (WGO) merekomendasikan teknik Baermann funnel dan agar Koga karena memiliki sensitivitas yang lebih baik dibanding teknik lain.[1,6]
Serologi
Dibandingkan pemeriksaan tinja, tes serologi memiliki sensitivitas yang lebih besar. Namun, beberapa ahli masih meragukan spesifisitasnya karena adanya reaksi silang dengan parasit filarial, schistosomiasis, dan askariasis, serta sulit untuk membedakan antara kasus aktif dan infeksi terdahulu, karena antibodi bisa bertahan selama beberapa waktu.
Tes serologi yang paling mudah dan banyak digunakan adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tes ini dapat mendeteksi kadar serum imunoglobulin G terhadap larva filariformis.[6]
Polymerase Chain Reaction
Polymerase chain reaction (PCR) berpotensi membantu diagnosis strongyloidiasis. Namun, belum terstandarisasi, dan studi yang ada masih menunjukkan sensitivitas yang beragam. Pada PCR, akan ditemukan DNA cacing di sampel tinja.[6]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra