Epidemiologi Strongyloidiasis
Menurut data epidemiologi, prevalensi strongyloidiasis lebih tinggi di wilayah tropis dan subtropis. Strongyloidiasis merupakan penyakit endemis di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Global
Prevalensi strongyloidiasis secara global adalah sekitar 30–100 juta orang. Pada negara dengan tanah lembap dan kebiasaan jamban yang kurang baik prevalensi strongyloidiasis diperkirakan mencapai 40%. Prevalensi tertinggi dilaporkan terjadi pada negara-negara di Asia Tenggara, dengan seroprevalensi dilaporkan mencapai 40%.
Strongyloidiasis dapat terjadi pada semua usia. Namun, lebih sering ditemukan pada anak-anak, sebab anak-anak lebih sering bermain di atas tanah tanpa menggunakan alas kaki. Pasien lanjut usia dengan gangguan sistem imun juga lebih berisiko untuk terkena infeksi Strongyloides.
Infeksi pada negara selain tropis dan subtropis dapat terjadi dengan dukungan faktor sanitasi dan kondisi hidup yang buruk, sehingga prevalensi strongyloidiasis ditemukan tinggi pada imigran, pengungsi, wisatawan, veteran perang, dan pasien imunodefisiensi.[4,13,14]
Indonesia
Indonesia, sebagai bagian dari Asia Tenggara, merupakan negara endemik strongyloidiasis. Berdasarkan Kementerian Kesehatan tahun 2017, prevalensi cacingan masih sangat tinggi di Indonesia, yaitu bervariasi antara 2,5—62%. Namun, belum terdapat data epidemiologi nasional mengenai prevalensi strongyloidiasis di Indonesia.[8]
Mortalitas
Mortalitas strongyloidiasis disebabkan oleh infeksi yang berat seperti strongyloidiasis hyperinfection syndrome dan disseminated strongyloidiasis. Mortalitas diperkirakan mencapai 60–85%. Biasanya, diagnosis ditegakkan dengan terlambat akibat gejala klinis yang tidak spesifik pada pasien dengan gangguan sistem imun.
Sepsis merupakan komplikasi hiperinfeksi yang sering dijumpai, dan menyebabkan kematian pada 50% kasus. Strongyloidiasis diseminata terkadang salah didiagnosis sebagai acute respiratory distress syndrome.(ARDS).
Faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya infeksi berat Strongyloides, antara lain penggunaan kortikosteroid, misalnya dexamethasone, antikanker, seperti chlorambucil, infeksi, misalnya akibat Human T-cell lymphotropic virus type 1 (HTLV-1) atau human immunodeficiency virus (HIV), serta pada penerima transplantasi organ.[6,12,13]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra