Penatalaksanaan Strongyloidiasis
Obat lini pertama dalam penatalaksanaan strongyloidiasis adalah ivermectin. Semua pasien strongyloidiasis harus mendapat pengobatan, meskipun asimptomatik, sebab adanya risiko hiperinfeksi. Pemberian kortikosteroid, misalnya prednisone, sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperinfeksi yang mengancam nyawa.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah pilihan utama dalam penatalaksanaan strongyloidiasis. Ivermectin merupakan drug of choice pada strongyloidiasis akut dan kronik, strongyloidiasis hyperinfection syndrome, dan disseminated strongyloidiasis. Ivermectin dapat digunakan secara oral, rektal, maupun subkutan. Penggunaan rektal direkomendasikan pada pasien yang tidak bisa mentoleransi sediaan oral, misalnya karena ileus obstruksi atau malabsorpsi.
Pada strongyloidiasis fase akut maupun kronis, dosis ivermectin pasien dewasa adalah 200 μg/kg/hari per oral selama 2 hari. Pada pasien yang mengalami infeksi berat, dosis ivermectin adalah 200 μg/kg/hari hingga larva tidak ditemukan lagi pada sputum ataupun tinja selama 2 minggu. Terapi alternatif dapat menggunakan albendazole 400 mg per oral , sebanyak 2 kali/hari, selama 1 minggu.[1,7,13]
Terapi Suportif
Pasien dengan hiperinfeksi sangat menular dan harus dirawat di ruang isolasi karena dahak, feses, muntah, dan kotoran tubuh lainnya bisa mengandung larva infektif (filariform). Screening anggota keluarga dan tindakan pencegahan diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi. Terapi antibiotik, seperti ciprofloxacin atau ceftriaxone, harus diberikan jika ada bakteremia atau meningitis.
Untuk mengatasi wheezing, pasien dapat diberikan agonis beta, misalnya salbutamol. Pemberian kortikosteroid, misalnya dexamethasone, harus dihindari karena dapat menyebabkan hiperinfeksi yang mengancam jiwa, terutama pada pasien dengan penurunan imunitas, misalnya akibat infeksi human immunodeficiency virus (HIV) atau human T-cell leukemia virus type 1 (HTLV-1).
Intervensi bedah mungkin diperlukan dalam beberapa kasus akut abdomen, seperti peritonitis, karena obstruksi atau infark usus. Pasien dengan sindrom hiperinfeksi sering mengalami komplikasi sepsis, syok, dan acute respiratory distress syndrome (ARDS), sehingga harus menerima perawatan di fasilitas yang memiliki peralatan adekuat untuk manajemen intensif.[3,13]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra