Patofisiologi Toxoplasmosis
Patofisiologi toxoplasmosis pada populasi imunokompeten bersifat asimtomatik akibat adanya proteksi dari sistem imun. Pada bayi dan pasien imunokompromais, toxoplasmosis akan menyebabkan terjadinya abses dan inflamasi dari jaringan lokal. Hal ini menyebabkan terjadinya komplikasi dan gejala toxoplasmosis, baik toxoplasmosis kongenital, toxoplasmosis okular, maupun toxoplasmosis serebral.
Transmisi
Toksoplasma masuk ke dalam tubuh manusia dalam bentuk oosit (stadium infektif) dan di usus halus kemudian berubah menjadi bentuk takizoid yang kemudian dapat menginvasi berbagai jaringan tubuh, seperti otot, otak, hati, paru dan plasenta. T. gondii yang masuk ke dalam sel epitel usus kemudian bereplikasi. Penyebaran kuman T. gondii dalam tubuh manusia adalah melalui migrasi antar jaringan secara langsung ataupun melalui darah, serta “menumpang” pada leukosit atau dikenal juga dengan prinsip Kuda Trojan.[2]
Plasenta, otak dan mata merupakan target utama dari patogen pada toxoplasmosis di manusia. Hal ini diduga karena profil imunologis dari organ tersebut yang dapat menarik patogen.[3] Interleukin 1 (IL-1) kemungkinan besar berperan dalam proses migrasi leukosit dari pembuluh darah ke jaringan inflamasi. IL-1 ditemukan lebih banyak jumlahnya pada pasien dengan toxoplasmosis okular dibandingkan dengan toxoplasmosis tanpa gejala.[4]
Imunitas selular yang dimediasi oleh limfosit T, makrofag dan sitokin-sitokin spesifik lainnya dapat menekan infeksi dari T. gondii. Pada penderita imunokompromais, seperti HIV-AIDS, kelemahan sistem imun dapat membuat peningkatan patogenisitas dan severitas dari toxoplasmosis sebagai infeksi oportunis.[5]
Toxoplasmosis Kongenital
Ibu hamil yang mengalami toxoplasmosis primer saat kehamilannya dapat menularkan secara vertikal kepada janin. Frekuensi kejadian transmisi vertikal toxoplasmosis ini meningkat seiring bertambahnya usia gestasi yaitu 25% pada trimester pertama, 54% pada trimester kedua dan 65% pada trimester ketiga.
Tingkat keparahan dampak transmisi vertikal toksoplasma berbanding terbalik dengan usia kehamilan. Transmisi pada saat embriogenesis jarang terjadi, namun bila terjadi dapat memberikan dampak keparahan yang besar, sedangkan transmisi pada trimester ketiga sering membuat bayi lahir tanpa gejala, namun bila tidak ditatalaksana gejala akan timbul di kemudian hari.[6,7]
Toxoplasmosis kongenital memiliki manifestasi klinis yang beraneka ragam, termasuk dapat timbul tanpa gejala. Keterlibatan susunan saraf pusat adalah ciri dari infeksi toxoplasmosis kongenital. Infeksi yang dapat timbul antara lain korioretinitis, kalsifikasi intrakranial dan hidrosefalus. Ketiga hal ini dikenal dengan trias klasik dari toxoplasmosis kongenital.[6]
Toxoplasmosis Okular
Toxoplasmosis okular yang merupakan retinokondroiditis dapat timbul secara akuisata (didapat) dan reaktivasi dari toxoplasmosis kongenital. Toxoplasmosis yang menyerang retina ini merupakan penyebab tersering dari infeksi uveitis posterior. Mekanisme pasti terjadinya kerusakan retina pada toxoplasmosis okular masih belum diketahui. Respon imun diduga menjadi kunci dari patogenesis ini.[8]
Penelitian oleh Zamora, et al menunjukkan bahwa kultur T. gondii pada bentuk takizoit menginvasi sel endotel dari retina manusia lebih banyak secara signifikan dibandingkan dengan sel endotel dari kulit. Sel endotel kulit diambil sebagai pembanding karena keduanya adalah mikrovaskular dan kulit hampir tidak pernah menjadi target infeksi klinis dari T. gondii.[9]
Adanya kesesuaian antara sel endotel vaskular retina dengan parasit dalam tingkat molekuler dan sitokin merupakan kemungkinan mengapa infeksi pada mata dapat terjadi. Reaktivasi dan infeksi dari parasit ini dapat terjadi pada orang dengan imunokompeten maupun imunokompromais.[10]
Takizoit dapat mencapai retina melalui migrasi dari otak melalui saraf optikus, monosit yang terinfeksi atau sel dendrit pada sawar darah retina, dan infeksi pada endotel retina.[9]
Parasit T. gondii yang menyerang pada mata akan membuat peradangan pada retina (retinitis) dan koroid (koroiditis). T. gondii dalam bentuk takizoit kemudian berubah menjadi bradizoit dan menghasilkan kista. Kista ini dapat bertahan inaktif dan apabila pecah, dapat terjadi reaktivasi dari retinitis.[10]
Pasien dengan korioretinitis pada kondisi imunokompromais biasanya disertai juga dengan toxoplasmosis yang menyerang sistem saraf pusat. Lesi yang timbul pada retina biasanya bersifat unilateral dan nekrotik. Pada pasien imunokompromais, lesi pada retina tampak berbatas jelas dan berwarna kuning-keabuabuan, sedangkan pada pasien imunokompeten lesi tampak lebih jelas batasnya.[11]
Toxoplasmosis Serebral
Infeksi serebral didapatkan dari 2 tempat masuknya patogen ke otak, yaitu sawar darah-otak atau secara tidak langsung melalui infeksi pleksus koroid ke liquor cerebrospinalis (LCS). Pada pasien AIDS dengan toxoplasmosis serebral akut, plexus koroid ditemukan terjadi infeksi, sehingga kemungkinan LCS juga terlibat dalam transmisi parasit ini.[2]
Pada kondisi CD4 di bawah 200 sel/mikroliter, terutama pada kondisi di bawah 50 sel/mikroliter, infeksi sistem saraf pusat oleh Toksoplasma sering ditemukan.[5]
Infeksi akuisata yang akut pada manusia imunokompeten secara umum bersifat asimtomatik, self-limiting dan/atau dapat berakhir sebagai infeksi kronis (fase laten). Pada individu yang mengalami penurunan sistem imun (imunokompromais), seperti pada pasien AIDS, reaktivasi dari infeksi kronis ini dapat menjadi kondisi infeksi sistem saraf pusat yang akut dan fulminan.[12]
Toxoplasmosis dapat menyerang berbagai bagian dari sistem saraf pusat. Manifestasi klinisnya antara lain abses serebri baik fokal maupun multifokal, dan ensefalitis difusa. Pada pasien AIDS, sering ditemui abses terjadi pada basal ganglia, sehingga sering bermanifestasi pada gangguan motorik. Ensefalitis dapat timbul secara subakut dan memiliki manifestasi klinis seperti gangguan kesadaran dan kognitif serta kejang.[11]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja