Patofisiologi Gangguan Stres Akut
Patofisiologi gangguan stres akut atau acute stress disorder (ASD) belum diketahui secara pasti. Berbagai model telah dikembangkan untuk menjelaskan reaksi stres yang ditimbulkan sebagai respon terhadap peristiwa traumatik, dan mayoritas model yang ada berhubungan dengan teori pengondisian rasa takut (fear conditioning).
Secara umum, gangguan stres akut memiliki mekanisme yang serupa dengan post traumatic stress disorder (PTSD). Hanya saja, gangguan stres akut tidak akan berlangsung lebih dari 1 bulan, sementara pasien PTSD akan mengalami manifestasi klinis jauh lebih lama.
Fear Conditioning Theory
Rasa takut yang timbul saat terpapar peristiwa traumatik menyebabkan asosiasi yang kuat antara rasa takut dengan berbagai stimulus yang berhubungan dengan peristiwa traumatik tersebut. Sehingga, pasien akan menunjukkan respon ketakutan yang sama setiap kali terpapar dengan stimulus yang berhubungan peristiwa traumatik di masa lampau. Hal tersebut menimbulkan berbagai gejala intrusif seperti flashback dan reaktivitas fisiologis.[1,3]
Extinction Learning
Gangguan stres akut juga dianggap muncul akibat kegagalan individu dalam beradaptasi dengan rasa takut melalui mekanisme extinction learning. Jika proses extinction learning berjalan dengan baik, akan terjadi penurunan bertahap dalam respon yang ditimbulkan terhadap suatu stimulus terkondisi.
Pada kondisi normal, extinction learning akan membantu individu belajar menciptakan asosiasi baru terhadap stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatik di masa lampau, sehingga dapat menekan ekspresi rasa takut terhadap memori asli tentang peristiwa traumatik tersebut. Jika mekanisme ini gagal, seseorang akan terus mengalami ketakutan terhadap peristiwa traumatik di masa lampau.[1,3]
Teori Kognitif
Stres yang ditimbulkan setelah terpapar peristiwa traumatik dimodulasi oleh penilaian kognitif individu terhadap peristiwa traumatik yang dialaminya. Teori ini memodelkan bahwa respon terhadap trauma dipengaruhi oleh cara masing-masing individu menginterpretasikan pengalaman trauma yang dialaminya.
Teori ini juga menjelaskan bahwa peningkatan kewaspadaan pada saat terjadinya trauma menyebabkan memori tentang trauma dikode dengan dominan secara sensorik dan menyebabkan fragmen-fragmen memori terkonsolidasi secara tidak koheren di dalam ingatan seseorang. Proses tersebut menghasilkan ingatan yang terfragmentasi dan mendorong timbulnya perasaan dimana seorang individu seolah-olah mengalami kembali peristiwa traumatik di masa sekarang.[3]