Pendahuluan Mutisme Selektif
Mutisme selektif adalah salah satu bentuk gangguan cemas dengan awitan pada masa kanak-kanak, yang juga bisa berkembang sampai dewasa. Mutisme selektif cukup langka dan biasanya terjadi pada anak-anak yang memasuki usia sekolah. Kondisi ini ditandai dengan kegagalan konsisten untuk berbicara dalam setting sosial tertentu (misalnya sekolah atau lapangan bermain), meskipun memiliki kemampuan untuk berbicara dengan nyaman dalam setting lain yang lebih familiar (misalnya rumah).[1,2]
Penegakan diagnosis mutisme selektif didasarkan pada kriteria diagnosis dalam DSM 5 atau ICD 11. Penegakan diagnosis dilakukan dengan wawancara dan menggunakan instrumen yang diisi oleh orang tua dan guru. Gangguan ini relatif jarang ditemukan, namun bisa berdampak terhadap prestasi akademik di sekolah dan kemampuan interaksi sosial anak.[2]
Pada anak dengan mutisme selektif, kondisi setidaknya terjadi selama 1 bulan dan tidak termasuk bulan pertama anak masuk sekolah. Anak umumnya tampak seperti anak lain seusianya dan tidak memiliki defek fisik atau mental lainnya. Selain itu, anak dengan mutisme selektif sering mengalami gangguan cemas pada masa kanak lain, seperti gangguan cemas perpisahan dan fobia sosial.[3]
Penatalaksanaan untuk mutisme selektif lebih mengedepankan penggunaan intervensi psikososial, yaitu cognitive behavioural therapy (CBT). Farmakoterapi bisa diberikan bila dianggap bermanfaat dengan menggunakan antidepresan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)dan monoamine oxidase inhibitors (MAOI), seperti fluvoxamine and fluoxetine. Walaupun demikian, penggunaannya belum didasari oleh bukti ilmiah yang adekuat.[2,4]
Prognosis mutisme selektif cukup beragam. Beberapa anak terus mengalami mutisme prototipikal hingga masa dewasa. Namun, pada kebanyakan kasus gejala akan membaik secara perlahan seiring dengan usia walaupun sikap diam di lingkungan sosial dan kecemasan sosial dapat menetap.[5]