Epidemiologi Pleuritis
Data epidemiologi pleuritis merujuk pada masing-masing penyebabnya; untuk di Indonesia, prevalensi pleuritis akibat tuberkulosis (pleuritis TB) masih tergolong tinggi. Penyebab pleuritis masing-masing negara dapat berbeda, tergantung pada geografi, demografi, dan okupasi negara tersebut.
Global
Pleuritis hampir selalu menjadi kondisi sekunder, yakni disebabkan proses trauma atau sebagai bagian dari perjalanan penyakit lain. Oleh karena itu, data terkait epidemiologi global pleuritis primer tanpa komorbiditas sangat terbatas. Penyakit lain yang menyebabkan pleuritis ditentukan oleh berbagai macam faktor, seperti lokasi geografi, jenis pekerjaan, jenis komorbiditas, dan faktor pejamu lainnya.[1]
Indonesia
Epidemiologi pleuritis tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Pada banyak negara berkembang di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia, pleuritis yang disebabkan oleh tuberkulosis (pleuritis TB) masih cukup sering ditemukan.
Kang et al. pada studi epidemiologinya tahun 2020 melaporkan bahwa pleuritis TB menempati posisi pertama pada infeksi tuberkulosis di luar paru (50,15%) dan menjadi komorbiditas pada 65,31% penderita tuberkulosis paru. Sementara itu, prevalensi pleuritis TB di negara Barat hanya tidak sampai mencapai 1%.[5]
Berdasarkan studi oleh Naito et al. pada tahun 2017, pleuritis non-TB terdeteksi pada 14 dari 4.097 pasien yang mengalami efusi pleura (0,003%). Sebanyak 14 pasien diketahui memiliki faktor risiko, yaitu usia tua, perokok aktif maupun pasif, keganasan, diabetes mellitus, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang sehingga dicurigai dalam kondisi immunosuppressed.
Baik pleuritis TB maupun non-TB lebih banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan perempuan.[6-8]
Mortalitas
Faktor usia tua dan munculnya efusi pleura sangat berperan meningkatkan mortalitas pada pleuritis. Dalam penelitian Khal et al. yang dilakukan di Finlandia, dilaporkan bahwa tingkat mortalitas pada pleuritis yang disebabkan oleh infeksi bakteri adalah sebesar 8,4%. Pasien yang menderita pleuritis TB disertai tuberkulosis paru memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi, yakni sebesar 24%.[1,7,8]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja