Patofisiologi Disfungsi Ereksi
Patofisiologi disfungsi ereksi berhubungan dengan gangguan biologis (organik) dan psikososial, sehingga membuat penis tidak dapat ereksi maksimal dan menimbulkan dampak ketidakpuasan seksual.[1,5,9]
Pada pria sehat, ereksi terjadi karena respon terhadap rangsangan sentuhan, penciuman, dan penglihatan. Suplai aliran darah yang lancar, fungsi saraf tepi yang baik, dan mekanisme biokimia yang adekuat merupakan faktor mutlak yang dibutuhkan hingga ereksi dapat dimulai dan dipertahankan.
Terdapat dua mekanisme sistem saraf yang berlaku, yakni sistem saraf otonom yang berperan dalam ereksi serta orgasme, serta sistem saraf parasimpatik yang berperan untuk menginisiasi dan mempertahankan ereksi. Terjadinya kontraksi penis terjadi dari mekanisme RhoA–Rho kinase, dan faktor mediasi seperti noradrenalin, endothelin-1, neuropeptide Y, prostanoid, angiotensin II, serta hal lain yang belum dapat teridentifikasi.[10,17]
Sedangkan pada relaksasi penis, terdapat faktor mediasi relaksasi, seperti asetilkolin, nitric oxide, vasoactive intestinal polypeptide, pituitary adenylyl cyclase activating peptide, calcitonin gene related peptide, adrenomedullin, adenosine triphosphate, serta adenosine prostanoids.[10,17]
Faktor Organik
Gangguan organik bisa disebabkan oleh gangguan mekanisme nitric oxide dan penurun testosteron.
Gangguan Mekanisme Nitric Oxide
Gangguan mekanisme nitric oxide (NO) merupakan gangguan pada komponen saraf dan jaringan endotel. Dari berbagai percobaan klinis, pelepasan NO oleh ujung saraf dan pembuluh darah pada arteri penis akan menyebabkan terjadinya ereksi.
Produksi NO dilakukan oleh enzim NO synthase (NOS). Enzim NOS berperan penting mulai dari mekanisme perdarahan sampai sistem kekebalan tubuh. Terdapat 3 subtipe NO, yakni nNOS yang terdapat pada jaringan syaraf, iNOS yang diaktivasi oleh sistem imun makrofag, dan eNOS yang terdapat pada endotel pembuluh darah. Gangguan pada mekanisme nitric oxide akan menyebabkan disfungsi ereksi[1,17]
Penurunan Testosterone atau Hipogonadisme
Hormon testosteron berfungsi mengatur mood, vitalitas, fungsi kognitif, serta pengaturan komposisi otot dan tulang. Selain itu, testosteron juga memiliki fungsi vital pada gangguan seksual, seperti penurunan libido, kualitas ereksi yang buruk, gangguan ejakulasi, penurunan gairah seksual, dan penurunan respon ereksi secara spontan.
Telah dilakukan penelitian terkait hubungan keduanya, didapatkan hasil sekitar 40% pada laki–laki usia 45 tahun ke atas mengalami disfungsi ereksi dan penurunan testosteron.[4,6,14,23]
Saat ini, mekanisme hubungan antara rendahnya testosteron dan disfungsi ereksi masih tidak jelas. Hanya 2–21% pria dengan disfungsi ereksi disertai penurunan kadar testosteron, sementara itu 35–40% pria mengalami perbaikan ereksi saat dilakukan penggantian testosteron, sehingga hampir 65% tidak mengalami perbaikan.[6,15,16]
Faktor Psikososial
Disfungsi ereksi dapat dipengaruhi adanya gangguan psikis seperti stress, kelelahan, depresi, trauma psikis, dan rendahnya percaya diri. Berbagai macam gangguan psikis tersebut berkorelasi dengan neurotransmitter noradrenalin yang menghambat ereksi.[8,14,39]
Faktor Medikamentosa
Disfungsi ereksi terjadi sebagai efek samping obat–obatan. Obat antidepresi golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti paroxetine dan serotonin norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs) dapat mengurangi hasrat seksual sehingga menyebabkan disfungsi ereksi.
Obat antipsikotik, seperti risperidone, juga dapat berpengaruh pada libido pria karena dapat mengubah kualitas orgasme serta mampu menghambat terjadinya ereksi.[32–35]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli