Patofisiologi Gangguan Ejakulasi
Patofisiologi gangguan ejakulasi memiliki spektrum yang luas, terkait dengan kondisi yang menyebabkannya. Gangguan fase ejakulasi normal yang terdiri dari fase emisi dan ekspulsi terkait erat dengan proses patofisiologi gangguan ejakulasi. Demikian pula dengan gangguan neurotransmiter yang terlibat dalam proses fisiologi ejakulasi, seperti serotonin, asetilkolin, norepinefrin, dan dopamin juga berperan dalam proses patofisiologi gangguan ini.[5,6]
Ejakulasi Normal
Ejakulasi merupakan kejadian fisiologis jangka pendek yang terdiri dari 2 fase, yaitu fase emisi dan fase ekspulsi, kemudian diikuti oleh periode refrakter. Kejadian fisiologis ini dimodulasi oleh sistem saraf otonom.[7]
Fase emisi adalah fase yang melibatkan proses sekresi spermatozoa dari testis yang bercampur dengan cairan semen dari kelenjar seks tambahan (prostat, kelenjar Cowper, kelenjar bulbouretra) ke dalam uretra pars prostatika. Sedangkan fase ekspulsi adalah peristiwa yang dipicu oleh kontraksi ritmik intens dari otot-otot panggul dan sfingter uretra yang mengakibatkan pengeluaran semen melalui meatus uretra.
Ejakulasi normal merupakan proses koordinasi komponen simpatis, parasimpatis, dan somatik pada struktur anatomi. Proses koordinasi ini melibatkan beberapa neurotransmitter seperti noradrenalin, asetilkolin, oksida nitrat, serotonin, dan dopamin.[7]
Ejakulasi Dini atau Ejakulasi Prematur
Ejakulasi dini atau ejakulasi prematur adalah disfungsi seksual pria yang ditandai dengan ejakulasi yang selalu atau hampir selalu muncul sebelum atau sekitar 1 menit setelah penetrasi vagina. Patofisiologi ejakulasi dini adalah multifaktorial termasuk faktor neurobiologis dan faktor psikososial.[8,9]
Faktor Neurobiologis
Gangguan faktor neurobiologis yang menjadi penyebab gangguan ejakulasi terutama terkait dengan gangguan yang menghambat jalur serotonergik yang mengontrol ejakulasi, seperti hipersensitivitas reseptor 5-HT2C, hipersensitivitas reseptor 5-HT1A/5-HT1B, dan peningkatan ekspresi transporter serotonin.
Selain itu, gangguan beberapa kandidat gen juga telah diajukan sebagai salah satu faktor penyebab gangguan ejakulasi, yaitu gen 5-HT transporter promoter region (5-HTTLPR) dan gen dopamine transporter (DAT1).
Faktor neurologis lain yang mungkin berkontribusi terhadap patofisiologi gejala ini termasuk hipereksitabilitas refleks ejakulasi karena hipersensitivitas kelenjar, percepatan konduksi saraf, dan amplifikasi kortikal dari rangsangan genital.[8,9]
Faktor Psikososial
Teori yang paling umum terkait faktor psikososial adalah pengkondisian yang diikuti oleh pengalaman seksual awal yang terburu-buru, serta kurangnya teknik dan pengalaman yang tepat untuk mengendalikan ejakulasi. Beberapa faktor psikososial yang menyebabkan gangguan ejakulasi antara lain kurangnya kesadaran gairah seksual dan kecemasan terkait kemampuan seksual.[8,9]
Ejakulasi Tertunda, Anejakulasi, dan Anorgasmia
Ejakulasi tertunda merupakan bentuk ringan dari anorgasmia, dimana diperlukan stimulasi abnormal pada penis yang ereksi untuk mencapai orgasme dengan ejakulasi. Anorgasmia sendiri merupakan ketidakmampuan mencapai orgasme dan dapat menimbulkan anejakulasi.
Sedangkan anejakulasi merupakan ketiadaan total ejakulasi yang dapat disebabkan oleh kegagalan emisi semen dari vesikula seminalis, prostat, dan saluran ejakulat ke dalam prostat. Kondisi-kondisi tersebut dapat disebabkan oleh faktor psikogenik, faktor organik, faktor genetik, dan faktor neurobiologis.[8,10]
Faktor Psikogenik
Banyak faktor yang diduga berkontribusi terhadap patogenesis ejakulasi tertunda. Beberapa teori yang paling mendukung patogenesis antara lain:
- Stimulasi seksual yang tidak mencukupi, secara mental dan fisik
- Pola masturbasi yang tidak biasa dan fantasi seksual menyimpang
- Gangguan hasrat seksual yang tersamar, menurut teori ini terjadi gangguan seksual dimana pasien lebih suka masturbasi dibandingkan berhubungan seksual dengan pasangannya
- Perkembangan konflik psikis menjadi konflik psikodinamik[11,12]
Faktor Organik
Kondisi ejakulasi tertunda, anorgasmia, dan anejakulasi dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, penyakit komorbid seperti diabetes mellitus atau penyakit infeksi, atau setelah prosedur pembedahan. Termasuk juga karena mengonsumsi obat yang dapat mengganggu kontrol pusat ejakulasi atau kontrol perifer, meliputi suplai saraf simpatis ke vas deferens, collum vesica urinaria, dan suplai saraf eferen ke dasar panggul.[11,13]
Faktor Genetik
Penelitian menunjukkan bahwa polimorfisme nukleotida tunggal rs11568817 pada gen yang mengkode reseptor 5-HT1B terkait dengan waktu latensi ejakulasi intra vagina yang lebih singkat. Polimorfisme nukleotida tunggal pada gen reseptor oksitosin OXTR (rs75775) juga dikaitkan dengan pemendekan waktu latensi ejakulasi intra vagina.[11,13]
Faktor Neurobiologis
Teori neurobiologis dinamis diperkenalkan untuk menjelaskan patogenesis ejakulasi tertunda. Teori ini disebut juga sebagai teori distribusi ejakulasi. Pasien dengan ejakulasi tertunda dipercaya menderita kerentanan untuk berinteraksi dengan berbagai faktor risiko psikososial, lingkungan, budaya, dan medis, hingga mengalami ejakulasi tertunda.[11,13]
Ejakulasi Retrograde
Ejakulasi retrograde adalah ketiadaan total atau parsial dari ejakulasi antegrade sebagai akibat dari semen yang berbalik arah melalui leher kandung kemih menuju kandung kemih. Kondisi ini dapat terjadi karena gangguan koordinasi dan interaksi kompleks pada proses ejakulasi, terutama gangguan refleks penutupan leher kandung kemih saat proses ejakulasi antegrade.[14]
Penutupan kandung kemih dan emisi semen dimulai melalui sistem saraf simpatis dari ganglia simpatis lumbal dan saraf hipogastrik. Sekresi vesikula prostatika dan semen serta kontraksi otot bulbocavernosus, ischiocavernosus, dan otot dasar panggul yang diprakarsai oleh sistem saraf simpatis S2-S4 melalui saraf panggul. Faktor apapun yang mengganggu refleks ini akan menghambat kontraksi sfingter uretra interna di leher kandung kemih, yang menyebabkan aliran balik/retrograde semen ke dalam kandung kemih.[14]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri