Teknik Transplantasi Jantung
Teknik transplantasi jantung adalah dengan melakukan sayatan melalui sternum, mengeluarkan jantung resipien, dan menggantikannya dengan jantung donor. Selama operasi berlangsung, resipien menggunakan mesin cardiopulmonary bypass yang berfungsi menggantikan jantung dan paru pasien. Berbeda dengan transplantasi hati atau ginjal, donor pada transplantasi jantung harus dikonfirmasi mengalami kematian otak dan perlu dipastikan memiliki kinerja hemodinamik jantung yang baik tanpa kelainan anatomis bermakna.
Donor
Donor jantung potensial diidentifikasi dan dicocokkan dengan resipien. Di negara maju, pencocokan ini dilakukan oleh lembaga khusus, misalnya oleh United Network for Organ Sharing (UNOS) di Amerika Serikat. Di Indonesia, lembaga serupa belum tersedia dan transplantasi jantung belum pernah dilakukan.
Survei primer donor meliputi konfirmasi kematian otak, verifikasi persetujuan untuk donasi, golongan darah ABO, demografi, identifikasi kondisi komorbiditas potensial (termasuk perilaku risiko tinggi, riwayat penyalahgunaan zat, dan mekanisme kematian), kebutuhan resusitasi jantung paru (RJP), serta durasi dari inisiasi RJP sampai kembalinya tanda vital. Penilaian yang lebih spesifik untuk jantung mencakup kebutuhan dukungan inotropik, stabilitas hemodinamik, adanya trauma toraks, penanda enzim jantung serum, EKG, dan angiografi koroner.
Setelah evaluasi di atas lengkap, kinerja hemodinamik jantung, inspeksi jantung secara visual dan manual, serta evaluasi akhir jantung yang akan didonorkan dilakukan oleh ahli bedah yang akan melakukan prosedur transplantasi.[7]
Kriteria Donor
Secara umum, seseorang dapat menjadi donor jantung apabila memenuhi kriteria berikut:
- Usia di bawah 55 tahun
- Tidak ada riwayat trauma toraks atau penyakit jantung
- Tidak ada hipoksemia atau hipotensi memanjang
- Hemodinamik stabil, ditandai dengan mean arterial pressure >60 mmHg dan central venous pressure 8-12 mmHg
- Sokongan inotropik kurang dari 10 mg/kg/menit
- EKG, echocardiography, dan angiografi koroner dalam batas normal
HIV, hepatitis B, dan hepatitis C[7]
Echocardiography dilakukan segera pada donor. Jika fraksi ejeksi kurang dari 45% atau pasien membutuhkan dukungan inotropik, maka diperlukan echocardiography serial untuk evaluasi perubahan fungsi jantung. Pada donor dengan usia di atas 40 tahun atau donor yang lebih muda dengan faktor risiko penyakit arteri koroner prematur, pemeriksaan angiografi koroner diindikasikan.[17]
Pengaturan Waktu Prosedur
Penentuan waktu melakukan prosedur pada donor dan resipien sangat penting untuk meminimalisir waktu iskemik allograft dan waktu cardiopulmonary bypass resipien. Waktu iskemik donor harus kurang dari 6 jam, tetapi lebih disukai kurang dari 4 jam.
Sementara itu, operasi resipien harus dimulai cukup sebelum kedatangan jantung donor untuk meminimalisir waktu iskemik. Secara umum, diperlukan waktu setidaknya 1 jam dari sayatan kulit hingga kedatangan jantung donor untuk penerima yang belum pernah menjalani sternotomi sebelumnya. Pada pasien yang sudah menjalani sternotormi sebelumnya, periode ini dapat diperpanjang hingga 2 jam.[8]
Pandemi COVID-19
Pertimbangan tambahan untuk pemilihan donor transplantasi jantung harus diterapkan selama pandemi COVID-19. Penularan COVID-19 dari donor ke penerima transplantasi jantung belum didokumentasikan tetapi secara teori dimungkinkan. Oleh karena itu, donor harus menjalani penapisan paparan dan gejala serta tanda-tanda COVID-19 dan ditolak atau ditangguhkan sesuai dengan itu. Transplantasi harus dihindari dari donor PCR-positif.[16]
Persiapan Pasien
Pasien yang akan menjalani transplantasi jantung biasanya dievaluasi selama 2-3 hari oleh anggota tim transplantasi. Pasien akan diedukasi mengenai risiko dan manfaat transplantasi jantung pada kondisi klinis yang mereka alami. Evaluasi meliputi investigasi untuk menilai prognosis dan yang terpenting mengidentifikasi potensi kontraindikasi. Untuk sampai pada keputusan tentang kesesuaian pasien menerima transplantasi jantung, kasus perlu didiskusikan oleh tim multidisiplin di fasilitas kesehatan yang akan melakukan transplantasi.[6]
Pemeriksaan Laboratorium
Berikut pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan sebelum transplantasi jantung:
- Pemeriksaan darah lengkap: hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT)
- Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hepar, profil lipid, dan urinalisis
- Pemeriksaan untuk menilai kecocokan imunologi resipien dan donor: golongan darah, panel reactive antibody (PRA)
- Pemeriksaan skrining imunologi: panel hepatitis, anti-HIV, tes untuk virus lain (virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, herpes simplex virus), uji tuberkulosis
- Pemeriksaan terkait keganasan: prostate specific antigen (PSA), Pap smear[1]
Prosedur transplantasi perlu dipertimbangkan ulang jika kandidat positif hepatitis C, yang berhubungan dengan menurunnya tingkat kesintasan pasca transplantasi. Pasien HIV positif juga merupakan kontraindikasi transplantasi.[1,2]
Jika hasil skrining imunologis lainnya menunjukkan paparan di masa lalu, perlu dilakukan profilaksis sebelum prosedur. Jika ditemukan adanya infeksi aktif, infeksi tersebut harus ditangani dulu sebelum mempertimbangkan transplantasi.
Hasil PSA atau Pap smear yang positif harus ditangani terlebih dahulu sebelum melanjutkan evaluasi untuk transplantasi.[1]
Pencitraan
Echocardiography dilakukan untuk menentukan fraksi ejeksi dan memantau fungsi jantung pada kandidat. Pada kasus kardiomiopati, perlu dilakukan arteriografi koroner untuk menentukan apakah etiologi disfungsi jantung masih dapat ditangani dengan terapi konvensional, seperti coronary artery angioplasty, coronary artery bypass grafting (CABG), atau valvular repair.
Rontgen toraks dilakukan untuk menapis adanya kelainan toraks lain. Pada wanita, jika hasil mammogram bilateral menunjukkan abnormalitas, kandidat harus dirujuk untuk evaluasi dan terapi lebih lanjut sebelum melanjutkan evaluasi untuk transplantasi.[1,6]
Kapasitas Fungsional
Kapasitas fungsional dinilai dengan uji latihan sepeda atau treadmill dengan pengukuran ventilasi dan pertukaran gas. Pencapaian ambang anaerobik atau respiratory exchange ratio (RER) >1,05 menyiratkan latihan yang hampir maksimal. Pada pasien yang mencapai latihan maksimal, peak oxygen uptake (VO2 puncak) < 10 ml/kg/menit merupakan prediktor kuat dari prognosis yang buruk. Pasien yang memakai penyekat beta dengan VO2 puncak <12 ml/kg/menit, atau VO2 puncak <14 mL/kg/menit jika tidak dapat mentoleransi penyekat beta, dianggap sesuai untuk menjalani transplantasi jantung.
Selanjutnya, pada pasien yang tidak dapat mencapai latihan maksimal (RER <1,05), minute ventilation/carbon dioxide production slope >35 merupakan penanda prognosis buruk. Meskipun jarak yang ditempuh selama 6-minute walk test adalah metode sederhana untuk mengukur kapasitas fungsional pada pasien dengan gagal jantung, pemeriksaan ini bukan pengganti VO2 puncak dalam menilai prognosis pasien yang akan menjalani transplantasi jantung.[6]
Kateterisasi Jantung Kanan
Kateterisasi jantung kanan merupakan evaluasi wajib dan perlu diulang secara berkala setiap 3-6 bulan pada pasien dalam daftar tunggu. Kateterisasi jantung kanan memungkinkan pengukuran langsung tekanan atrium kanan, pulmonary capillary wedge pressure (PCWP), tekanan arteri paru dan saturasi oksigen vena campuran. Curah jantung juga diukur dengan termodilusi atau metode Fick yang dimodifikasi. Gradien tekanan transpulmonal dan resistensi vaskular pembuluh darah sistemik dan paru juga dihitung.
Peningkatan tekanan pengisian pada pasien yang sudah mendapat pengobatan optimal dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.[6]
Posisi Pasien
Pasien diposisikan supinasi di meja operasi.
Prosedural
Sebelum operasi, pasien dipuasakan, dan area dada dicukur serta dibersihkan dengan chlorhexidine 4%. Kru transplantasi berkoordinasi dengan badan transplantasi yang memilih donor jantung yang sesuai. Setelah terkonfirmasi bahwa donor jantung cocok dengan tubuh resipien, barulah anestesi umum dilakukan. Jantung resipien harus dikeluarkan dahulu sebelum jantung donor tersedia untuk meminimalisasi waktu iskemik.[4,8]
Kardiektomi Resipien
Langkah-langkah kardiektomi resipien transplantasi jantung adalah:
- Lakukan sternotomi medial dan bentuk pericardial cradle
- Isolasi dan diseksi aorta, arteri pulmonal, vena cava superior, dan vena cava inferior
- Jerat pita umbilikus dilewatkan di sekitar vena cava superior dan vena cava inferior
- Setelah pemberian heparin, aorta asendens distal, vena cava superior, dan vena cava inferior dikanulasi untuk cardiopulmonary bypass
- Lakukan inisiasi cardiopulmonary bypass
- Lakukan cross-clamped pada aorta resipien dan kencangkan jerat di sekitar vena cava
- Aorta dan arteri pulmonal dipisahkan tepat di atas katup semilunar
- Lakukan eksisi komplit atrium kanan
- Lakukan retraksi jantung secara inferior untuk memaparkan kubah atrium kiri, buka, dan lakukan pemanjangan insisi ke arah anulus katup mitral secara sirkumferensial[8]
Implantasi Jantung Donor
Jantung donor dikeluarkan dari wadah dan waktu ‘warm ischemic’ dimulai. Periksa jantung donor terkait adanya patensi foramen ovale, defek katup, ataupun anomali kongenital. Terdapat dua teknik prosedur transplantasi yang bisa dipilih yakni ortotopik dan heterotopik.[4,8]
Transplantasi Jantung Ortotopik:
Teknik ini lebih sering dilakukan. Dilakukan eksisi pada jantung resipien, menyisakan bagian cuff atrium kiri dan kanan. Jantung donor ditransplantasi dengan anastomosis:
- Atrium kanan donor dengan cuff atrium kanan resipien
- Atrium kiri donor dengan cuff atrium kiri, aorta, dan arteri pulmonal.
- Kemudian, vena cava resipien dianastomosis dengan atrium kanan donor[4]
Transplantasi Jantung Heterotopik:
Teknik ini lebih jarang dilakukan karena tingkat kesintasan yang inferior. Dalam teknik heterotopik, jantung resipien tidak dieksisi, dan jantung donor ditransplantasi ke dalam rongga thorax pasien. Anastomosis dilakukan antara atrium resipien dan donor. Aorta dan arteri pulmonal donor dianastomosis dengan aorta dan arteri pulmonal resipien.[4,8,9]
Imunosupresi
Strategi terapi imunosupresi dilakukan untuk mencegah respon imun resipien terhadap allograft donor dan membatasi toksisitas agen-agen imunosupresan. Regimen imunosupresan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu induksi, rumatan, dan tata laksana reaksi penolakan. Terapi induksi merupakan regimen imunosupresan yang diberikan perioperatif sebagai imunomodulator.[9]
Prinsip Imunosupresi
Beberapa prinsip umum perlu diperhatikan dalam mengatur regimen terapi imunosupresi. Perhatikan bahwa reaktivitas imun dan kecenderungan reaksi penolakan dilaporkan paling tinggi pada 3-6 bulan pertama setelah implantasi. Risiko akan menurun seiring waktu. Oleh karenanya, intensitas imunosupresi tertinggi digunakan segera setelah operasi dan menurun setelahnya.
Selain itu, dokter sebaiknya menggunakan dosis rendah dari beberapa obat dengan toksisitas yang tidak tumpang tindih. Penggunaan obat dalam dosis yang lebih tinggi atau lebih toksik dari jumlah obat yang lebih sedikit tidak disarankan.
Dokter juga perlu menghindari imunosupresi berlebihan. Imunosupresi yang berlebihan akan memaparkan pasien pada banyak risiko yang tidak diinginkan, termasuk kerentanan terhadap infeksi dan keganasan.[18,19]
Obat yang Digunakan dalam Terapi Induksi
Sekitar 40-50% dari program transplantasi jantung saat ini menggunakan strategi peningkatan imunosupresi (terapi induksi) selama periode awal pasca operasi. Pasca transplantasi, umumnya pasien diberikan imunosupresan rumatan yang terdiri dari 3 golongan obat, yakni inhibitor calcineurin, antimetabolit, dan kortikosteroid.
Contoh obat yang digunakan dalam terapi induksi adalah interleukin-2 (IL-2) receptor antagonist seperti basiliximab; polyclonal anti-thymocyte antibodies; dan alemtuzumab. Sementara itu, contoh obat yang diberikan pada terapi rumatan adalah siklosporin atau tacrolimus (inhibitor calcineurin); azathioprine dan mycophenolate mofetil (antimetabolit); serta methylprednisolone dan prednison.[9,18,19]
Follow Up
Setelah transplantasi, dilakukan biopsi endomiokardial untuk menilai adanya reaksi penolakan (allograft rejection). Pada bulan pertama, biopsi dapat dilakukan setiap minggu, lalu dikurangi seiring berjalannya waktu. Kunjungan follow-up dilakukan cukup sering pada bulan pertama, karena perlu dilakukan penyesuaian dosis imunosupresan. Frekuensi kunjungan dikurangi sesuai penilaian klinis dokter, sampai pada akhirnya pasien hanya perlu melakukan kunjungan setahun sekali.[1]
Beberapa pusat transplantasi melakukan angiografi koroner setiap tahun pasca transplantasi untuk memantau adanya allograft vascular disease.[1,9]