Indikasi Uji Tuberkulin
Indikasi uji tuberkulin, disebut juga tes Mantoux atau Tuberculin Skin Test (TST), adalah untuk mendiagnosis tuberkulosis pada anak, mengevaluasi tuberkulosis laten, dan menunjang diagnosis tuberkulosis ekstra paru.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk populasi yang rawan terkena infeksi tuberkulosis, seperti:
- Orang yang menghabiskan waktu banyak dengan orang yang memiliki penyakit tuberkulosi
- Orang-orang yang berada di negara yang memiliki kasus tuberkulosis tinggi, seperti Indonesia
- Orang-orang yang tinggal atau bekerja pada tempat yang berisiko tinggi, seperti penjara, rumah perawatan jompo, dan fasilitas tuna wisma
- Tenaga kesehatan yang merawat pasien yang berisiko tinggi terkena tuberkulosis
- Bayi, anak, dan remaja yang terpapar dewasa yang memiliki risiko tinggi memiliki tuberkulosis.
Pada pasien dengan tuberkulosis laten, tidak semua akan mengalami penyakit tuberkulosis. Pemeriksaan uji tuberkulin bisa bermanfaat mengevaluasi infeksi tuberkulosis laten pada pasien yang berisiko tinggi berkembang menjadi penyakit tuberkulosis, yakni:
- Orang dengan infeksi HIV
- Bayi, anak-anak, dan lansia
- Pengguna narkoba injeksi.
- Pasien imunokompromais.
Uji tuberkulin tidak dibutuhkan untuk orang dengan risiko rendah infeksi tuberkulosis.[2]
Tuberkulosis Pada Anak
Pedoman penanganan tuberkulosis pada anak di Indonesia memasukkan uji tuberkulin dalam sistem skoring untuk diagnosis tuberkulosis pada anak. Sistem skoring yang digunakan memiliki beberapa komponen, yang mencakup riwayat kontak, status gizi, demam, batuk kronis, pembesaran kelenjar getah bening, pembengkakan tulang, pemeriksaan rontgen toraks, dan uji tuberkulin.
Anak dengan skoring tuberkulosis kurang dari 6 direkomendasikan untuk tidak mendapatkan terapi, kecuali anak dengan skor 5 yang di antaranya memiliki kontak erat tuberkulosis dan 2 gejala klinis lain pada daerah yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan uji tuberkulin. Pada sistem skoring ini, uji tuberkulin memiliki skor yang paling tinggi selain kontak erat tuberkulosis dibandingkan dengan kriteria lainnya.[3]
Tuberkulosis Laten
Di Indonesia, diagnosis tuberkulosis laten dilakukan menggunakan uji tuberkulin atau IGRA (interferon gamma release assay). Diagnosis tuberkulosis laten juga harus diikuti upaya membuktikan tidak terdapat tuberkulosis aktif melalui anamnesis riwayat pengobatan, rontgen toraks, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan sputum mikrobiologi bila diperlukan.[9]
Tuberkulosis Ekstra Paru
Menurut pedoman nasional penanganan tuberkulosis di Indonesia, uji tuberkulin dapat digunakan untuk menunjang diagnosis tuberkulosis ekstra paru, termasuk tuberkulosis pada saraf pusat dan tulang. Pada pasien dengan gejala klinis mengarah ke tuberkulosis ekstra paru, pemeriksaan penunjang yang menyokong diagnosis mencakup uji tuberkulin, rontgen toraks, CT scan, dan MRI.[9]