Kontraindikasi dan Peringatan Empagliflozin
Kontraindikasi absolut dan peringatan khusus terhadap penggunaan empagliflozin pada pasien dengan riwayat reaksi hipersensitivitas, termasuk reaksi urtikaria atau anafilaksis setelah penggunaan empagliflozin.[1–3]
Kontraindikasi
Beberapa kontraindikasi dari penggunaan empagliflozin, antara lain gangguan ginjal berat (estimated glomerular filtration rate, eGFR <30 ml/ menit/ 1,73 m2), penyakit ginjal stadium akhir, pasien yang menjalani dialisis, pasien diabetes mellitus tipe 1, penderita ketoasidosis diabetik, laktasi, kehamilan, serta pasien dengan reaksi hipersensitivitas berat terhadap empagliflozin.[1–3,5]
Peringatan
Peringatan khusus terkait penggunaan empagliflozin perlu diperhatikan sehingga penggunaannya harus berhati-hati dan sesuai anjuran.
Hipotensi
Empagliflozin menyebabkan kontraksi volume intravaskular. Hipotensi simptomatik dapat terjadi setelah memulai terapi empagliflozin, terutama pasien dengan gangguan ginjal, geriatri, tekanan darah sistolik rendah, dan pengguna terapi diuretik. Direkomendasikan untuk melakukan analisis kontraksi volume sebelum memulai terapi, memperbaiki status volume jika diindikasikan, serta monitoring tanda dan gejala hipotensi setelah memulai terapi.[2,3,5]
Ketoasidosis
Ketoasidosis yang berpotensi fatal telah diidentifikasi pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 yang menerima terapi inhibitor sodium-glucose transporter-2 (SGLT2). Oleh karena itu, empagliflozin tidak diindikasikan untuk pengobatan pasien dengan diabetes mellitus tipe 1.[2,3,5]
Monitoring tanda dan gejala yang konsisten dengan metabolisme asidosis berat terlepas dari kadar glukosa darahnya. Ketoasidosis terkait terapi empagliflozin dapat memiliki kadar glukosa darah kurang dari 250 mg/dL. Jika dicurigai ketoasidosis, maka terapi empagliflozin harus dihentikan, dievaluasi, dan segera dilakukan terapi.
Sebelum memulai terapi, pertimbangkan beberapa faktor riwayat pasien yang mungkin mempengaruhi ketoasidosis, termasuk defisiensi insulin pankreas, pembatasan kalori, dan penyalahgunaan alkohol.[2,3,5]
Cedera Ginjal Akut dan Gangguan Fungsi Ginjal
Cedera ginjal akut telah teridentifikasi pada pasien yang menerima inhibitor SGLT2, termasuk empagliflozin karena efeknya dalam kontraksi volume intravaskular. Sebelum memulai terapi, pertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya cedera ginjal akut, termasuk hipovolemia, insufisiensi ginjal kronik, gagal jantung kongestif, dan pengobatan bersamaan dengan diuretik, angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin receptor blockers (ARB), dan non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID).
Pertimbangkan untuk menghentikan empagliflozin sementara dalam kondisi penurunan asupan oral (penyakit akut atau puasa) dan kehilangan cairan berlebih. Sangat direkomendasikan untuk monitoring tanda dan gejala cedera ginjal akut secara berkala.[2,3,5]
Urosepsis dan Pielonefritis
Terapi inhibitor SGLT2 meningkatkan risiko infeksi saluran kemih. Adanya laporan terkait infeksi saluran kemih yang serius termasuk urosepsis dan pielonefritis yang memerlukan rawat inap pada pasien yang menerima inhibitor SGLT2, salah satunya empagliflozin.[2,3,5]
Hipoglikemia
Insulin dan insulin secretagogues diketahui menyebabkan hipoglikemia. Risiko hipoglikemia meningkat ketika empagliflozin digunakan bersama insulin secretagogues (sulfonilurea) atau insulin. Oleh karena itu, pertimbangkan untuk mengurangi dosis insulin atau insulin secretagogues untuk mengurangi risiko hipoglikemia.[2,3,5]
Necrotizing Fasciitis
Necrotizing fasciitis pada perineum (gangren Fournier) telah dilaporkan pada pasien dengan terapi inhibitor SGLT2. Beberapa tanda dan gejalanya, meliputi nyeri, eritema, pembengkakan di area genital atau perineum, demam, dan malaise. Jika pasien dicurigai mengalami gangren Fournier, segera hentikan terapi inhibitor SGLT2 dan segera mulai terapi antibiotik spektrum luas dan debridemen bedah sesuai indikasi.[2,15]