Farmakologi Phenytoin
Secara farmakologi, phenytoin atau fenitoin bekerja sebagai antikonvulsan dengan cara meningkatkan efluks atau menurunkan influks ion natrium di membran neuron pada korteks motorik. Hal ini dapat menstabilisasi neuron dan mencegah hipereksitabilitas. Obat ini akan dimetabolisme di hati kemudian dieliminasi melalui urine.
Struktur kimia phenytoin terdiri dari cincin heterosiklik yang salah satu cabangnya berikatan dengan derivat hidantoin. Dalam sediaan obat, phenytoin biasanya berbentuk garam, yaitu phenytoin sodium.[1,2,7]
Farmakodinamik
Pada dosis terapeutik, phenytoin dapat menginaktivasi voltage channel natrium di neuron korteks motorik. Obat ini meningkatkan pengeluaran (efluks) dan menurunkan pemasukan (influks) natrium. Akibatnya, membran sel neuron menjadi lebih stabil. Efek phenytoin ini lebih efektif pada keadaan high–frequency repetition stimulation (keadaan neuron saat kejang) dibandingkan keadaan neuron yang normal.[2,4,5,8]
Phenytoin juga bekerja pada voltage channel natrium di jantung dengan mekanisme serupa. Obat ini dapat memperpanjang periode refrakter, memperpendek potensial aksi otot jantung, dan mensupresi otomatisasi pacemaker ventrikel. Obat ini awalnya juga digunakan sebagai terapi gangguan irama jantung tetapi saat ini sudah dihentikan karena telah banyak ditemukan antiaritmia lain dengan efek samping lebih minimal.[4]
Farmakokinetik
Phenytoin memiliki bioavailabilitas yang tinggi setelah pemberian peroral. Metabolisme utamanya terjadi di hati dan eliminasi utamanya terjadi melalui urinasi.
Absorbsi
Bioavailabilitas phenytoin adalah sekitar 95% (PO) tergantung pada ukuran partikel dan zat tambahan yang terkandung dalam sediaan. Jika diberikan secara peroral, onset phenytoin lambat dan bervariasi sesuai formulasinya. Onset pada neonatus dilaporkan lebih lambat. Plasma peak time phenytoin adalah 1,5–3 jam untuk sediaan lepas cepat dan 4–12 jam untuk sediaan lepas lambat.[5,7]
Distribusi
Pada orang dewasa, phenytoin berikatan dengan protein hingga 90–95%. Sementara itu, ikatan dengan protein pada bayi adalah >85% dan ikatan dengan protein pada neonatus adalah >80%.
Volume distribusi (Vd) pada orang dewasa adalah 0,6–0,7 L/kgBB, pada anak–anak adalah 0,7 L/kgBB, dan pada bayi adalah 0,7–0,8 L/kgBB. Sementara itu, volume distribusi pada neonatus cukup bulan adalah 0,8–0,9 L/kgBB dan pada neonatus prematur adalah 1–1,2 L/kgBB.[5,7]
Metabolisme
Phenytoin dimetabolisme di hati oleh enzim mayor CYP2C9 dan CYP2C19, serta enzim minor CYP3A4. Phenytoin akan menghasilkan metabolit berupa hydroxyphenytoin yang tidak aktif.[7]
Eliminasi
Waktu paruh phenytoin adalah 22 jam (peroral) dan 10–15 jam (intravena). Phenytoin akan diekskresikan melalui urine (>95% diekskresikan dalam bentuk metabolit).[5,7]
Resistensi
Resistensi obat antiepilepsi didefinisikan sebagai kegagalan mencapai kontrol kejang dengan pengobatan satu atau dua obat antiepilepsi dengan dosis harian yang sesuai, baik sebagai monoterapi maupun terapi kombinasi. Keadaan ini meningkatkan mortalitas hingga 5 kali lipat daripada populasi normal. Sekitar 70% resistensi terjadi pada epilepsi lobus temporal (TLE) dengan gejala kejang tipe kompleks parsial.[9,10]
Terdapat dua mekanisme yang diperkirakan dapat menyebabkan resistensi phenytoin, yaitu hipotesis transporter dan hipotesis target.
Hipotesis Transporter
Hipotesis ini merupakan mekanisme yang paling banyak digunakan untuk menjelaskan resistensi obat antiepilepsi. P–glycoprotein (Pgp) merupakan transporter efluks yang berfungsi untuk mengeluarkan zat–zat lipofilik (termasuk obat lipofilik) kembali ke aliran darah. Pgp dapat ditemukan di otak, usus, hati, ginjal, plasenta, dan testis.[9,10]
Ekspresi berlebihan Pgp di sawar darah otak menyebabkan phenytoin yang sudah berada di ruang ekstraseluler jaringan otak kembali lagi ke aliran darah. Akibatnya, penetrasi phenytoin ke otak menurun. Mutasi gen MDR1 dan MDR–1A yang mengkode Pgp juga dapat meningkatkan pengeluaran phenytoin.
Selain itu, Pgp yang terletak di usus dapat menurunkan bioavailabilitas phenytoin. Rendahnya penetrasi dan bioavailabilitas ini menyebabkan dosis terapeutik tidak tercapai dan terjadi kegagalan kontrol kejang. Peningkatan dosis phenytoin terbukti tidak efektif untuk mengatasi resistensi phenytoin.[9,10]
Hipotesis Target
Pada epilepsi, dapat ditemukan perubahan voltage channel natrium. Perubahan molekuler ini menyebabkan efek phenytoin terhadap inaktivasi voltage channel natrium tidak terjadi.[9,10]
Hingga saat ini, belum ada terapi definitif untuk mengatasi resistensi obat antiepilepsi. Beberapa pilihan terapi yang tersedia masih dipertanyakan efektivitasnya dan masih perlu dipelajari lebih lanjut. Contoh opsi terapi tersebut antara lain:
- Menambahkan terapi antiepilepsi dengan adenosin atau verapamil
- Mengubah pola makan menjadi diet ketogenik, medium chain triglyceride (MCT), modified Atkins diet (MAD), atau low glycemic index treatment (LGIT)
- Melakukan neurostimulasi yang meliputi stimulasi saraf vagus dan deep brain stimulation
- Melakukan pembedahan[10]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli