Penggunaan pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Ribavirin
Penggunaan ribavirin pada kehamilan dihindari karena mempunyai efek samping teratogenik dan embriosidal yang signifikan pada uji hewan. FDA dan TGA memasukan ribavirin ke dalam kategori X. Sementara itu, penggunaan obat ini pada ibu menyusui belum diketahui keamanannya, keputusan untuk menyusui dipertimbangkan berdasarkan asas risiko dan manfaat.[7,8]
Penggunaan pada Kehamilan
Berdasarkan Food and Drug Administration (FDA), ribavirin masuk kategori X, di mana obat ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil, resiko melebihi potensi manfaat, dan adanya opsi obat yang lebih aman. Ribavirin terbukti menimbulkan efek embriosidal dan teratogenik pada semua spesies hewan yang diuji dengan obat ini.[7]
Tercatat adanya malformasi os cranium, palatum, mata, rahang, anggota gerak, tulang, dan gastrointestinal dalam studi yang dilakukan. Insidensi dan keparahan efek teratogenik meningkat dengan peningkatan dosis obat.[7]
Serupa, Therapeutic Goods Administration (TGA) juga memasukan ribavirin ke dalam kategori X, di mana obat ini menunjukkan bukti sebagai teratogenik dan embriosidal pada hampir seluruh spesies yang telah dites, meskipun belum ada data penelitian pada manusia.[11]
Terdapat laporan munculnya malformasi os cranium, palatum, mata, rahang, tulang dan traktus gastrointestinal pada studi hewan. Selain itu, peluang hidup janin juga terbukti menurun.[11]
Penggunaan pada Ibu Menyusui
Belum ada data penelitian efek obat ribavirin pada Ibu menyusui. Namun, pemberian inhalasi ribavirin diberikan langsung pada bayi untuk mengobati infeksi respiratory syncytial virus (RSV). Kadar ribavirin dalam ASI mungkin lebih sedikit dari dosis yang diberikan untuk pengobatan RSV ini, tetapi belum ada data jelas mengenai jumlah ekskresi obat ribavirin pada ASI.[12]
Adapun, virus hepatitis C tidak ditransmisikan melalui ASI. Berbagai penelitian membuktikan bahwa menyusui tidak meningkatkan risiko penularan hepatitis C dari ibu ke anak.[18]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini