Efek Samping dan Interaksi Obat Vaksin COVID-19 Pfizer
Efek samping vaksin COVID-19 Pfizer terdiri dari reaksi lokal dan sistemik. Data dari hasil uji klinik menunjukkan bahwa efek samping yang paling sering dilaporkan adalah nyeri pada tempat injeksi, kelelahan, dan sakit kepala.[1,2,4,7]
Efek Samping
Data mengenai keamanan vaksin COVID-19 Pfizer didapat dari hasil uji klinik dengan subjek dewasa berusia 16 tahun ke atas, dan subjek remaja usia 12‒15 tahun.
Efek Samping pada Dewasa
Pada subjek berusia 16 tahun atau lebih, efek samping lokal yang timbul adalah nyeri (84,1%), bengkak (10,5%), dan kemerahan (9,5%) pada area injeksi.
Sedangkan efek samping sistemik adalah:
- Kelelahan (62,9%) dan sakit kepala (55,1%)
- Nyeri otot (38,3%) dan nyeri sendi (26,3%)
- Menggigil (31,9%) dan demam (14,2%)
- Mual (1,1%) dan lemah (0,5%)
- Limfadenopati (0,3%)[1,2,4,7]
Beberapa ahli sempat menanyakan apakah vaksin COVID-19 meningkatkan risiko abortus spontan pada ibu hamil. Namun, hasil studi yang ada saat ini tidak menunjukkan bukti tentang hubungan vaksin COVID-19 dan abortus spontan.
Efek Samping pada Remaja
Uji klinik pada subjek berusia 12‒15 tahun menemukan bahwa efek samping yang dilaporkan lebih banyak daripada subjek dewasa. Efek samping lokal adalah nyeri (90,5%), bengkak (9,2%), dan kemerahan (8,6%) pada area injeksi. Efek samping sistemik yang dilaporkan adalah:
- Kelelahan (77,5%) dan sakit kepala (75,5%)
- Menggigil (49,2%) dan demam (24,3%)
- Nyeri otot (42,2%) dan nyeri sendi (20,2%)
- Limfadenopati (0,8%)
- Mual (0,4%)[1,2,4,7]
Pada penelitian yang melibatkan 2.260 subjek berusia 12‒15 tahun didapatkan bahwa profil keamanan dan efek samping vaksin Pfizer cukup bagus. Tidak didapatkan efek samping serius terkait pemberian vaksin. Hanya ada satu subjek yang mengundurkan diri dari penelitian karena mengalami demam dengan suhu lebih dari 40°C.[12]
Efek samping vaksin pada populasi yang lebih luas telah dilakuan berdasarkan database negara Israel. Ditemukan peningkatan risiko miokarditis, terutama pada golongan remaja dan dewasa muda (16−39 tahun). Namun, peningkatan risiko tersebut tidak sebanding dengan risiko yang sama akibat terinfeksi COVID-19.[33]
Gangguan Pembekuan Darah
Terdapat 20 laporan kasus terjadinya trombositopenia pasca vaksinasi COVID-19 Pfizer dan Moderna. Sebanyak 17 kasus tidak disertai riwayat trombositopenia sebelumnya. Sebagian besar pasien mengalami petekie, hematoma, dan perdarahan mukosa, seperti epistaksis serta perdarahan gusi atau vagina. Onset gejala antara 1‒23 hari pasca vaksinasi, median 5 hari. Jumlah leukosit pada sebagian besar pasien kurang dari 10 x 10⁹/L, median 2 x 10⁹/L.[9,13]
Miokarditis dan Perikarditis
Miokarditis dan perikarditis telah dilaporkan sebagai salah satu efek samping pasca vaksinasi COVID-19 jenis mRNA, baik Pfizer-BioNTech maupun Moderna. Studi Montgomery et al melaporkan dari total 2,8 juta dosis vaksinasi pada personel militer yang sehat di departemen pertahanan Amerika Serikat, dilaporkan 23 orang mengalami miokarditis.[31,32]
Miokarditis paling sering dilaporkan pada hari ke-3, sedangkan perikarditis pada hari ke-20 setelah penyuntikan. Sebagian besar terjadi pada laki-laki usia remaja atau dewasa muda (16 tahun ke atas), setelah pemberian dosis kedua. Sebagian besar kasus merespon baik terhadap tata laksana dan mampu mengalami perbaikan gejala yang cepat dengan istirahat.[31]
Interaksi Obat
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tidak merekomendasikan penggunaan ibuprofen, aspirin, atau paracetamol sebagai pencegahan efek samping vaksin COVID-19, karena efek obat tersebut terhadap imunogenisitas vaksin belum diketahui. Belum ada studi yang secara spesifik menilai hubungan antara penggunaan antipiretik/analgesik dengan imunogenisitas vaksin Pfizer.[1,2,4,14,15]
Namun, jika efek samping yang muncul sangat mengganggu pasien maka ketiga obat analgesik tersebut direkomendasikan oleh CDC untuk mengurangi kesakitan. Analgesik hanya dikonsumsi sebelum vaksinasi bila pasien sudah menggunakan obat tersebut secara regular sebelumnya untuk alasan lain. Pasien disarankan berkonsultasi terlebih dahulu ke dokter sebelum menggunakan obat-obat tersebut.[1,2,4,14,15]
Interaksi Kombinasi Vaksin COVID-19 (Mix-and-Match)
Terdapat beberapa studi terkait interaksi kombinasi atau mix-and-match vaksin COVID-19. Suatu studi kohort prospektif menilai reaktogenisitas dan imunogenisitas antara subjek yang mendapat vaksin AstraZeneca dilanjutkan dengan booster vaksin Pfizer (AstraZeneca/Pfizer), dibandingkan subjek yang mendapat dua dosis vaksin Pfizer (Pfizer/Pfizer). Penelitian ini dilakukan pada Desember 2020 ‒ Juni 2021 dan melibatkan 380 subjek.[17]
Hasil penelitian menemukan bahwa respon antibodi sama-sama meningkat pada kedua kelompok, dengan reaktivasi sel T yang lebih tinggi pada kelompok AstraZeneca/Pfizer. Disimpulkan juga bahwa vaksinasi menggunakan vaksin AstraZeneca/Pfizer dengan interval 10‒12 minggu dapat ditoleransi dengan baik.[17]
Uji klinik lebih besar terkait efikasi dan keamanan kombinasi berbagai vaksin COVID-19 saat ini masih dilakukan, yaitu mix and match of the Second COVID-19 Vaccine Dose for Safety and Immunogenicity (MOSAIC). Perkembangan terkait uji klinik tersebut dapat dilihat di ClinicalTrials.gov (Identifier: NCT04894435).[16]