Penatalaksanaan Priapismus
Penatalaksanaan priapismus bertujuan untuk menghentikan ereksi berkepanjangan dan mencegah disfungsi ereksi di masa depan. Penatalaksanaan yang dibutuhkan akan berbeda antara priapismus iskemik, priapismus noniskemik, dan stuttering priapismus. Bila priapismus bersifat sekunder akibat penyakit lain seperti penyakit sickle cell, penyakit yang mendasari tersebut juga harus ditangani.[2,6]
Priapismus Iskemik
Priapismus iskemik merupakan suatu kegawatdaruratan. Oleh karena itu, terapi harus bersifat agresif untuk mencegah disfungsi ereksi. Tindakan aspirasi korpus dan injeksi agen simpatomimetik secara intrakavernosa merupakan terapi lini pertama. Apabila aspirasi dan injeksi simpatomimetik gagal mengatasi priapismus, tindakan bedah diperlukan.[5]
Aspirasi Korpus
Sebelum melakukan aspirasi korpus, lakukan blok saraf penis dorsalis dengan lidokain 1% atau bupivakain. Setelah anestesi dilakukan, siapkan jarum ukuran 19 pada spuit 10 mL dan aspirasi korpus kavernosus pada sisi lateral penis secara tegak lurus pada posisi jam 2 atau jam 10. Sebanyak kurang lebih 20–30 mL darah diaspirasi sembari memijat ujung penis.
Pada priapismus iskemik, aspirasi akan menunjukkan darah yang kehitaman. Aspirasi dilakukan hingga terlihat darah teroksigenasi yang berwarna merah cerah. Apabila darah sulit diaspirasi, lakukan irigasi dengan cairan normal saline untuk membantu evakuasi darah.[3,6]
Injeksi Agen Simpatomimetik Intrakavernosa
Apabila aspirasi sendiri tidak mampu mengatasi priapismus, lakukan injeksi agen simpatomimetik, contohnya phenylephrine, efedrin, epinefrin, atau norepinefrin. Phenylephrine paling sering dipilih karena profil keamanan yang baik. Phenylephrine sebanyak 1 ampul (1 mL:1000 mcg) diencerkan dengan saline normal 9 mL dan diinjeksikan 0,3–0,5 mL ke korpus kavernosus. Injeksi diberikan selang 10–15 menit hingga terlihat hasil yang diinginkan atau tercapai dosis maksimal 1 mg.
Pemberian agen simpatomimetik harus disertai dengan pemantauan efek samping seperti hipertensi, nyeri kepala, takikardia, dan aritmia. Beberapa kontraindikasi obat simpatomimetik meliputi hipertensi tidak terkontrol atau riwayat konsumsi obat golongan monoamine oxidase inhibitor.[3,6,10]
Simpatomimetik lebih sulit menunjukkan hasil pada priapismus yang telah berlangsung >6 jam karena sudah terjadi asidosis pada korpus. Priapismus yang berlangsung >24 jam memiliki potensi kerusakan otot polos ireversibel yang tinggi. Meskipun demikian, aspirasi dan injeksi agen simpatomimetik tetap harus dicoba. Apabila tetap tidak terjadi perubahan, maka dilakukan tindakan bedah.[2,3]
Pembedahan
Shunt merupakan salah satu tindakan bedah yang dilakukan ketika aspirasi dan injeksi simpatomimetik gagal meresolusi priapismus. Tujuan shunt adalah membuat drainase darah dari korpus kavernosus menuju korpus spongiosum atau menuju vena saphena melalui fistula iatrogenik. Beberapa shunt yang dapat dilakukan adalah percutaneous distal shunting, open distal shunting, dan proximal shunting.[2]
Semua tindakan bedah priapismus memerlukan insisi yang menyebabkan paparan kolagen pada faktor koagulasi dan menyebabkan pembekuan darah. Bekuan darah ini dapat menyebabkan priapismus di kemudian hari sehingga pemberian antikoagulan perioperatif biasanya dilakukan sebagai pencegahan.[4]
Percutaneous Distal Shunting:
Percutaneous distal shunting lebih mudah dilakukan dan memiliki risiko komplikasi yang lebih kecil. Oleh karena itu, tindakan ini umumnya dilakukan lebih dulu. Shunt ini dapat dilakukan dengan teknik Winter atau Ebbehoj.[2,3,10]
T-Shunt:
Teknik yang relatif baru adalah teknik T-shunt yang merupakan suatu distal shunting. Keunggulan T-shunt adalah membuat koneksi yang lebih baik dari glans penis menuju korpus kavernosus. Tindakan ini dilaporkan efektif mengeluarkan darah dari korpus pada kasus priapismus lama (>3 hari).[2,6]
Open Distal Shunt:
Pada kasus di mana percutaneous distal shunt tidak efektif, dilakukan open distal shunt. Open distal shunt atau teknik Al-Ghorab merupakan teknik tradisional yang lebih agresif dibandingkan percutaneous distal shunt. Teknik ini efektif pada kasus priapismus refrakter dan juga efektif mencegah priapismus di masa depan.[2,3,10]
Open Proximal Shunt:
Open proximal shunt dilakukan pada kasus priapismus refrakter yang tidak membaik dengan open distal shunt. Quackle shunt adalah shunt korporo-spongiosum yang menghubungkan korpus kavernosus proksimal dengan korpus spongiosum. Grayhack shunt dilakukan dengan menciptakan anastomosis vena saphena atau vena dorsalis profunda dan korpus kavernosus. Open proximal shunt memiliki risiko komplikasi fistula uretra-kavernosa, pembentukan trombus, emboli paru, dan striktur uretra.[3,6,10]
Implantasi Penis Prosthesis:
Implantasi penis prosthesis pada kasus priapismus refrakter yang telah mengalami nekrosis otot polos dan disfungsi ereksi bertujuan untuk membantu kenyamanan aktivitas seksual pasien dan memperbaiki bentuk penis. Implantasi prosthesis lebih mudah dilakukan pada masa awal priapismus refrakter di mana belum terjadi fibrosis. Pada kasus fibrosis berat, dapat dipertimbangkan operasi rekonstruksi bersamaan dengan pemasangan prosthesis untuk hasil lebih memuaskan.[2]
Priapismus Noniskemik
Sebagian besar kasus priapismus noniskemik menghilang dengan sendirinya sehingga umumnya hanya memerlukan observasi. Kompres dingin pada penis dapat membantu mempercepat penyembuhan, terutama pada anak-anak. Aspirasi dan injeksi agen simpatomimetik tidak disarankan.[3,6]
Meskipun 60–70% kasus priapismus noniskemik sembuh sendiri, terdapat 30% kasus yang membutuhkan tindak lanjut. Tindakan yang bisa dilakukan meliputi angiografi penis dan embolisasi atau ligasi arteri. Embolisasi dapat menggunakan bahan permanen (microcoils, partikel polyvinyl, lem acrylic) dan temporer (bekuan autolog).
Secara umum, embolisasi dengan materi temporer, misalnya bekuan darah autolog, lebih aman dan ideal karena hanya menyebabkan gangguan aliran darah sementara hingga fistula tertutup. Materi permanen dapat bertahan lebih lama dan memiliki angka rekurensi yang lebih rendah, tetapi berkaitan dengan disfungsi ereksi permanen setelah intervensi, terutama pada kasus fistula bilateral.[4,6,10]
Stuttering Priapismus
Tujuan utama terapi stuttering priapismus adalah untuk mencegah rekurensi priapismus di masa mendatang. Pilihan terapi farmakologi yang dapat diberikan pada stuttering priapismus adalah terapi hormon, digoxin, gabapentin, baclofen, dan terbutaline. Akan tetapi, terapi-terapi ini masih membutuhkan uji klinis lebih lanjut.
Agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dan inhibitor 5-alpha reductase digunakan untuk menurunkan kadar testosteron dan mengurangi ereksi. Terapi ini dilaporkan sukses pada beberapa pasien dengan stuttering priapismus, tetapi hingga saat ini keamanan dan efikasinya belum banyak dievaluasi dalam studi klinis. Terapi hormon tidak boleh diberikan pada pasien yang belum matur.[3,4,10]