Penatalaksanaan Hernia Inguinalis
Penatalaksanaan hernia inguinalis ditentukan dengan melakukan triage pasien berdasarkan keparahan gejala ke dalam kelompok observasi (watchful waiting), atau pembedahan. Sebagai contoh, pasien laki-laki asimtomatik atau hanya bergejala minimal, dan pasien hamil dengan hernia inguinalis tanpa komplikasi dalam diobservasi. Pada praktek klinis dahulu, ditemukannya hernia merupakan indikasi untuk pembedahan.
Pembedahan elektif dilakukan guna mengurangi risiko hernia inkarserata, serta meningkatkan kenyamanan pasien dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Sedangkan pembedahan gawat darurat dilakukan pada kasus strangulasi maupun obstruksi. Pada hernia asimtomatik, dapat dilakukan observasi (watchful waiting). Namun, pasien hernia inguinalis yang bergejala, misalnya memiliki tonjolan hernia yang besar, atau mengalami hernia berulang, dianjurkan untuk melakukan pembedahan elektif.[16]
Observasi pada Rawat Jalan
Pada kasus hernia asimtomatik, atau bergejala minimal, serta tidak menyebabkan hendaya aktivitas berarti, observasi berkala dilakukan dengan rawat jalan (watchful waiting). Pada observasi, perlu dievaluasi perkembangan ukuran hernia, serta kemungkinan inkarserata atau strangulata.
Mayoritas pasien yang asimtomatik akan mengalami gejala, paling sering berupa nyeri, dan akan membutuhkan pembedahan. Jika terdapat perkembangan penyakit atau kecurigaan akan hernia inkarserata, dapat dipertimbangkan untuk penjadwalan operasi elektif.[4]
Persiapan Rujukan
Pada hernia inguinalis, terdapat beberapa kondisi yang memerlukan rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut maupun ahli bedah.
Kriteria Rujukan
Beberapa kriteria rujukan ke fasilitas tingkat lanjut dapat mempertimbangkan:
- Hernia inkarserata, obstruksi, atau strangulasi merupakan kegawatdaruratan bedah dan memerlukan tindakan pembedahan segera
- Hernia reponibilis dengan gejala maupun ukuran yang besar dapat dirujuk untuk penjadwalan operasi elektif
- Hernia inguinalis asimtomatis maupun dengan gejala minimal dapat dilakukan observasi secara berkala, tetapi memerlukan rujukan segera bila terjadi progresi penyakit
- Pasien dengan nyeri maupun benjolan pada regio inguinalis dengan manifestasi klinis yang tidak jelas dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
- Pasien pasca operasi dengan komplikasi seperti nyeri kronis yang memerlukan evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut [16]
Pembedahan
Tata laksana pembedahan umumnya melibatkan prosedur seperti herniotomi, yaitu pembuangan kantung hernia, herniorafi, yaitu herniotomi disertai repair dinding posterior dari kanalis inguinalis, atau hernioplasti, yang merupakan herniotomi disertai penguatan dinding posterior kanalis inguinalis dengan mesh sintetis.
Pembedahan dengan menggunakan mesh direkomendasikan sebagai pilihan utama, baik secara open surgery maupun laparoskopi. Laparoskopi umumnya ditujukan pada kasus hernia berulang, atau pada kasus hernia bilateral.[4,12]
Open Surgery dengan Mesh
Beberapa jenis teknik yang digunakan pada open surgery, antara lain transinguinal pre-peritoneal (TIPP), transrectal pre-peritoneal (TREPP), dan Lichtenstein. Pada berbagai negara, termasuk negara dengan sumber daya terbatas, teknik Lichtenstein merupakan teknik yang paling sering digunakan, dan paling banyak diteliti.[12]
Teknik pembedahan terbuka (open surgery) dengan mesh umumnya menggunakan bahan polypropylene. Material mesh tergolong terjangkau, mudah didapat, nonabsorbable dan efektif mencegah rekurensi. Namun, beberapa komplikasi terkait penggunaan mesh polypropylene pernah dilaporkan yaitu berupa sensasi benda asing dan nyeri kronis pasca operasi. Alternatif lain adalah mesh polyester, namun lebih jarang digunakan karena dapat terdegradasi seiring berjalannya waktu.[6]
Pedoman dari HerniaSurge merekomendasikan penggunaan mesh sintetis monofilament, berpori besar, sekitar 1–1,5 mm. Mesh sebaiknya berkekuatan (burst strength) 16 Nm2. Pemakaian low weight mesh mungkin bermanfaat secara jangka pendek untuk mengurangi nyeri postoperatif, tetapi dilaporkan berhubungan dengan rekurensi dan nyeri kronis.[12]
Nyeri kronis merupakan komplikasi yang sering terjadi pascaoperasi terbuka hernia, dan dilaporkan mencapai 16%. Hal ini diduga berhubungan dengan berat mesh yang digunakan, serta cara fiksasi mesh. Penggunaan lem diketahui dapat menurunkan nyeri kronis pascaoperasi terbuka, dibandingkan penjahitan.[20,21]
Laparoskopi
Teknik laparoskopi meliputi totally extraperitoneal (TEP) dan transabdominal preperitoneal patch (TAPP). Pada kedua teknik ini, mesh berukuran besar akan diletakkan menutupi orifisium myopectineal, sehingga dapat memperbaiki hernia direk, maupun indirek. Luaran klinis pada TEP dan TAPP dilaporkan hampir seimbang.
Beberapa uji klinis juga telah membandingkan luaran operasi dengan teknik total ekstraperitoneal dan teknik Lichtenstein. Sebuah metaanalisis pada tahun 2020 mendapatkan bahwa teknik TEP dan TAPP berhubungan secara bermakna dengan penurunan nyeri postoperatif, waktu kembali beraktivitas yang lebih cepat, nyeri kronis, hematoma, dan infeksi luka operasi, dibandingkan Lichtenstein tension-free repair.
Laparoskopi dihubungkan dengan durasi pemulihan yang lebih singkat, waktu kembali beraktivitas yang lebih cepat, nyeri yang lebih ringan, dan rekurensi yang lebih rendah dibandingkan dengan operasi terbuka.[12,22]
Transabdominal Preperitoneal Procedure (TAPP):
Pada prosedur ini operasi hernia dilakukan melalui pendekatan intraperitoneal, dengan melakukan insisi pada peritoneum dimulai dari medial ligamen umbilikalis ke arah lateral menuju spina iliaka anterior superior. Setelah penempatan mesh, perlu dilakukan penutupan peritoneum kembali.
Teknik TAPP menggunakan 3 laparoscopic ports yang diletakkan pada umbilikus, serta area yang dilewati linea midklavikula setinggi umbilikus pada sisi kiri dan kanan abdomen. TAPP dapat digunakan pada hernia bilateral, defek hernia yang besar, atau pada kasus hernia rekuren setelah open surgery.[8,12]
Total Extraperitoneal Procedure (TEP):
Pada teknik TEP, operasi hernia dikerjakan tanpa melakukan infiltrasi intraperitoneal. Hal ini akan mencegah terjadinya cedera pada viseral intraperitoneal, dan organ-organ di dalamnya. Adhesi intraperitoneal juga dapat dicegah menggunakan teknik ini, sehingga diseksi lebih cepat dan mudah.
Laparoscopic ports pada TEP akan diletakkan pada garis dari os pubis ke arah umbilikus. Kelemahan dari TEP adalah terbatasnya visualisasi dan ruang gerak saat melakukan diseksi.[8,12]
Follow Up
Pasien yang menjalani TEP dapat dipulangkan dari rumah sakit pada hari operasi. Namun, pasien sudah harus dapat berkemih sebelum dipulangkan, karena kadang terjadi retensi urin. Mungkin terdapat ekimosis pada bagian dasar penis dan edema sementara pada testis. Obat-obatan analgesik, misalnya kombinasi paracetamol atau obat antiinflamasi nonsteroid, seperti diklofenak, mungkin dibutuhkan 2–3 hari pascaoperasi.
Dalam 1 minggu pertama pascaoperasi sebaiknya pasien tidak mengangkat beban melebihi 4,5 kg. Pada minggu kedua pascaoperasi, maksimal beban yang dapat diangkat adalah 9 kg. Selanjutnya, pasien diperbolehkan mengangkat beban sesuai kebutuhan. Aktivitas fisik yang melelahkan sebaiknya dihindari dalam 4–6 minggu pascaoperasi. Biasanya, pasien dapat kembali bekerja dalam 1–2 minggu setelah tindakan.
Setelah TEP maupun TAPP, pasien disarankan untuk kontrol dalam 1–2 minggu untuk memeriksa luka bekas operasi dan kondisi umum pasien. Selain itu, dibutuhkan juga follow up jangka panjang, sebab rekurensi hernia mungkin baru terjadi dalam 6–12 bulan setelah operasi.[7,8,12]
Terapi Medikamentosa
Nyeri, terutama yang bersifat akut, kerap berhubungan dengan strangulasi, yang membutuhkan pembedahan segera, sehingga pemberian anti nyeri diberikan dalam rangka menurunkan keparahan gejala, bukan menunda operasi. Obat-obatan yang dapat digunakan, antara lain obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti diklofenak, COX-2 inhibitor, seperti celecoxib, dan paracetamol.[4,7,16]
Jika dicurigai terjadi hernia strangulasi, segera rujuk pasien ke dokter spesialis bedah, dan berikan antibiotik sebagai profilaksis tindakan bedah, misalnya gentamicin atau ampicillin.[7,8]
Terapi Suportif
Terapi suportif pada hernia inguinalis ditujukan untuk meningkatkan kenyamanan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari, serta menurunkan risiko inkarserata, terutama pada pasien asimtomatis maupun dengan gejala minimal.
Pada pasien hernia reponibilis, dapat disarankan untuk meminimalkan kegiatan yang dapat meningkatkan tekanan intraabdominal seperti batuk, mengangkat beban berat, olahraga angkat beban, atau mengedan. Selain itu, penggunaan hernia truss dan ikat pinggang juga dapat meringankan gejala.[9,16]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra